Pemerintah Indonesia diharapkan memiliki strategi untuk mengkompensasi harga bahan bakar minyak untuk mengantisipasi kemungkinan lonjakan harga minyak mentah dunia.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk pertama kalinya sejak 2014, harga minyak mentah jenis Brent tembus ke level 105 dollar AS per barel pada Kamis (24/2/2022) menyusul serangan militer Rusia ke Ukraina. Pemerintah Indonesia diharapkan memiliki strategi tepat sebagai respons melonjaknya harga minyak mentah dan potensi dampaknya bagi harga bahan bakar minyak atau BBM di dalam negeri.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa saat dihubungi di Jakarta, mengatakan, sebelum krisis Rusia-Ukraina memanas, pasar minyak mentah dunia sudah cukup ketat yang terlihat dari adanya tren kenaikan harga sejak tahun lalu. Kemungkinan tren ini berlanjut atau tidak akan tergantung pada perkembangan hubungan Rusia-Ukraina.
Intensitas perang yang lebih masif antara Rusia-Ukraina bakal menyebabkan harga minyak mentah berada di level yang lebih tinggi. Pasalnya, Rusia memasok 10 persen minyak dunia sehingga produksinya amat menentukan keseimbangan pasokan dan permintaan minyak global.
Pemerintah Indonesia, imbuh Fabby, harus memastikan agar pasokan BBM dan minyak mentah tidak terganggu dalam beberapa bulan ke depan. Indonesia, yang sejak 2004 tercatat sebagai negara pengimpor bersih (net importer) minyak, masih bergantung pada impor BBM dan minyak mentah untuk kebutuhan dalam negeri. Dari konsumsi BBM nasional 1,4-1,5 juta barel per hari, kemampuan produksi minyak Indonesia kurang dari 700.000 barel per hari.
“Di sisi lain, pemerintah perlu menghimbau pengguna BBM untuk menghemat pemakaian BBM dan menyesuaikan harga BBM non-subsidi untuk mengendalikan konsumsi,” kata Fabby.
Sementara itu, menurut analis Makroekonomi Bank Danamon Irman Faiz, lonjakan harga minyak mentah saat ini akibat ekspektasi dari suplai minyak Rusia yang akan berkurang signifikan. Situasi ini diperkirakan akan mencapai puncaknya pada triwulan II-2022. Hal ini disebabkan juga stok minyak mentah dunia saat ini dalam posisi (ketat) terbatas.
Lonjakan harga minyak mentah saat ini akibat ekspektasi dari suplai minyak Rusia yang akan berkurang signifikan.
Dalam konteks Indonesia, lanjut Irman, dampak yang harus diperhatikan pemerintah adalah neraca minyak dan gas (migas). Tahun lalu, neraca migas mengalami pelebaran defisit akibat kenaikan harga minyak mentah dunia, meski harganya masih di bawah 100 dollar AS per barel. Kondisi itu tertolong oleh neraca nonmigas Indonesia yang surplus sehingga dapat mengkompensasi defisit migas dan membuat rupiah stabil.
Lebih jauh, menurut Irman, yang perlu dikhawatirkan adalah harga BBM dalam negeri. Beberapa tahun ini, PT Pertamina (Persero) menahan harga Pertalite (RON 90) agar daya beli masyarakat kecil tetap terjaga. Dampaknya, kesenjangan harga BBM dalam negeri dengan harga minyak mentah ditanggung oleh Pertamina.
“Pemerintah harus menyiapkan mitigasi risiko jika harga minyak mentah terus melonjak. Semacam penyangga untuk kompensasi harga minyak domestik harus disiapkan. Tujuannya agar tidak muncul inflasi yang mendadak,” ucap Irman.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui, lonjakan harga minyak mentah menekan struktur fiskal APBN. Pasalnya, lonjakan harga tersebut turut menaikkan besaran subsidi energi di tengah usaha pemerintah mengetatkan fiskal untuk pemulihan ekonomi dari pandemi. Lonjakan harga minyak mentah menyebabkan subsidi energi pada Januari 2022 mencapai Rp 10,2 triliun atau naik drastis dari Januari 2021 yang sebesar 2,3 triliun.