Tantangan menanti Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat untuk mewujudkan percepatan pemenuhan perumahan rakyat, Kolaborasi dan terobosan menjadi kunci.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
Pemerintah melalui Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat pada tahun ini menargetkan penyaluran fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP sebanyak 200.000 rumah kepada masyarakat berpenghasilan rendah, serta pembiayaan 109.000 rumah dengan suku bunga tetap 5-7 persen per tahun untuk pegawai negeri sipil.
Sejak beralihnya pengelolaan dana FLPP dari yang sebelumnya dikelola Badan Layanan Umum Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (BLU PPDPP) ke BP Tapera mulai 22 Desember 2021, muncul harapan besar terhadap percepatan penyediaan perumahan rakyat. Badan yang ditunjuk sebagai operator investasi pemerintah (OIP) itu juga bertugas memupuk dan mengelola dana peserta Tapera.
Hingga akhir 2021, peserta aktif Tapera sebatas aparatur sipil negara (ASN) yang berjumlah 3,9 juta orang. Dari jumlah itu, sekitar 600.000 atau 20 persen ditaksir belum memiliki rumah. Peserta Tapera terdiri dari masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan juga non-MBR.
Kebutuhan rumah di Tanah Air disadari terus bertambah, sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memperkirakan laju penambahan kebutuhan rumah mencapai 600.000-700.000 per tahun. Pasar perumahan yang kini didominasi generasi milenial dan generasi Z sangat besar, namun hunian masih sulit terjangkau.
Kekurangan (backlog) kepemilikan perumahan saat ini mencapai 11 juta unit, sedangkan backlog berdasarkan keterhunian sekitar 7,6 juta unit. Backlog kepemilikan perumahan didominasi MBR dan sektor informal. Meski keberpihakan pembiayaan terhadap sektor informal terus didengungkan pemerintah, nyatanya pekerja sektor informal masih dipandang “sebelah mata” dalam akses ke perbankan.
Dari data Badan Pusat Statistik, pekerja sektor informal mencakup 7 kategori, yakni berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, berusaha dibantu buruh tetap, buruh/karyawan, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di non pertanian dan pekerja keluarga/tidak dibayar.
Di samping MBR dan sektor informal, terdapat pula segmen masyarakat berpenghasilan menengah bawah yang juga terimpit dalam memiliki rumah. Dari segi pendapatan, segmen ini bukan tergolong penerima subsidi perumahan, namun pendapatan yang dimiliki masih jauh dari kemampuan membeli rumah di perkotaan. Populasi segmen menengah “terjepit” ini di perkotaaan kian bertambah, akan tetapi belum terlihat solusi dan inovasi pembiayaan untuk menggarap potensi besar ini.
Ditengah ketimpangan akses kepemilikan perumahan, masyarakat berperan sebagai penyedia utama perumahan. Sebanyak 70 persen masyarakat, termasuk sektor informal, membangun rumahnya sendiri dan hanya sebagian kecil membeli dari pengembang. Pengembang terbesar saat ini adalah komunitas masyarakat yang membangun rumah secara swadaya.
Terobosan BP Tapera dinantikan dalam menjalankan misi besar percepatan pemenuhan perumahan rakyat. Kolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan, baik lembaga/institusi pemerintah terkait, pengembang, perbankan, badan usaha/perusahaan, hingga pekerja sangat dibutuhkan untuk mengurai benang kusut pemenuhan kebutuhan dasar papan.
Selama 1 Januari-24 Februari 2022, BP Tapera merealisasikan FLPP sejumlah 527 unit dengan nilai Rp 57,69 miliar atau 0,26 persen dari target penyaluran FLPP tahun ini sebesar Rp 23 triliun. Sedangkan, daftar calon penerima subsidi FLPP yang menunggu verifikasi kelayakan dari perbankan berkisar 150.000 unit.
Selain FLPP, BP Tapera juga mendapat mandat menyalurkan bantuan pembiayaan perumahan, berupa kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pembangunan rumah (KBR) dan kredit renovasi rumah (KRR) sejumlah 109.000 unit untuk PNS peserta Tapera.
Pemanfaatan dana Tapera untuk PNS yang bersumber dari dana Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum-PNS) menuntut adanya transparansi. Apalagi, sebagian dana Tapera juga dikelola lewat instrumen investasi. Peserta yang tidak mendapat alokasi pembiayaan perumahan wajib mendapatkan kejelasan dana imbal hasil investasi.
Pemerintah telah menargetkan jumlah rumah tangga yang menghuni rumah layak meningkat dari 56,65 persen tahun 2020 menjadi 70 persen tahun 2024. Upaya mengatasi masalah perumahan rakyat tidak lagi cukup dengan kerja keras, tetapi juga gebrakan kolaboratif mulai dari pembiayaan hingga penyediaan. Tak kalah pentingnya, ekosistem pembiayaan perumahan perlu ditunjang dengan komitmen penyediaan rumah berkualitas.