Kebutuhan hunian yang terus bertambah mendorong perlunya solusi untuk keterjangkauan hunian bagi masyarakat menengah bawah di perkotaan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN Nixon LP Napitupulu menyebutkan kelompok masyarakat menengah ke bawah memiliki kendala dalam pemilikan rumah. Segmen masyarakat itu tidak tergolong ke dalam kelompok penerima subsidi perumahan, namun mereka sulit menjangkau harga rumah tinggal di perkotaan. Sementara itu, pasar hunian vertikal di perkotaan cenderung lesu selama pandemi.
Menurut Nixon, Opsi sewa-beli hunian vertikal dinilai dapat menjembatani konsumen menengah bawah tersebut untuk menjangkau hunian di perkotaan. Kendala konsumen dalam membayar uang muka rumah, biaya administrasi, dan pajak dijembatani dengan sewa hunian selama beberapa tahun untuk selanjutnya dapat membeli hunian yang disewa itu.
Selama masa sewa, konsumen mulai mengangsur uang muka pembelian rumah, sertifikat, hingga balik nama. Apabila opsi beli tidak dilanjutkan, maka hunian sewa dikembalikan atau diperdagangkan ke pasar.
“Kita tawarkan dulu calon pembeli untuk menyewa unit properti vertikal, lalu berlanjut ke opsi beli unitnya setelah menyewa beberapa tahun. Opsi sewa beli juga bisa mendorong pembelian rumah, khususnya rumah vertikal yang sedang stagnan,” kata Nixon dalam pembukaan BTN Anniversary Virtual Property Expo, dalam rangkaian HUT BTN ke-72, Selasa (22/2/2022).
Nixon menambahkan, tahun ini merupakan waktu yang tepat untuk membeli rumah, karena pemerintah masih memberikan sejumlah insentif, seperti suku bunga acuan yang rendah, pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP), dan pelonggaran rasio pinjaman terhadap nilai (LTV) rumah yang dibeli.
“Pertumbuhan ekonomi tahun ini diharapkan semakin pulih, sehingga daya beli masyarakat diharapkan semakin membaik. Melalui pameran properti virtual, masyarakat dapat mengeksplorasi rumah yang dibutuhkan,” ujarnya.
Kendala konsumen dalam membayar uang muka rumah, biaya administrasi, dan pajak dijembatani dengan sewa hunian selama beberapa tahun untuk selanjutnya dapat membeli hunian yang disewa itu.
BTN Virtual Expo yang berlangsung 22 Februari-31 Maret 2022 diikuti 75 pengembang yang menawarkan 175 proyek rumah subsidi dan nonsubsidi. Proyek rumah itu meliputi 35 apartemen dan 140 rumah tapak di beberapa kota, seperti DKI Jakarta dan sekitarnya, Surabaya, Makasar, Bali, Manado, Bandung, Jawa Timur, serta Lampung. Jumlah pengunjung selama pameran ditargetkan 1,5 juta pengunjung, meningkat dibandingkan tahun 2021 sebanyak 1 juta pengunjung.
Direktur Consumer and Comercial Lending BTN, Hirwandi Gafar, menambahkan, pihaknya menawarkan keringanan suku bunga kredit dan skema pembiayaan selama pameran. Transaksi penjualan properti selama BTN Virtual Expo ditargetkan Rp 2,5 triliun. “Kami berharap pameran dapat menaikkan animo masyarakat untuk melihat properti sebagai sektor yg menarik, disamping kebutuhan memiliki rumah,” ucapnya.
Kebutuhan terus bertambah
Terkait kebutuhan perumahan di Indonesia, menurut Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Herry Trisaputra Zuna, saat ini kekurangan rumah hunian mencapai 11 juta unit. Sedangkan, setiap tahun, kebutuhan rumah bertambah 700.000 unit. Tantangan kebutuhan perumahan membutuhkan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan.
Salah satu solusi pemenuhan kebutuhan rumah di perkotaan, imbuh Herry, adalah hunian vertikal. Solusi diperlukan untuk mendorong hunian terjangkau, baik tenor pinjaman dan skema pembiayaan. Selain itu, ekosistem pembiayaan perumahan perlu ditunjang dengan komitmen pengembang menyediakan rumah berkualitas.
Sementara itu, Deputi Komisioner Bidang Pengerahan Dana Tapera Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Eko Ariantoro, mengemukakan, Tapera diharapkan dapat mendorong pemilikan rumah bagi masyarakat. Tahun 2022, BP Tapera menargetkan penyaluran dana pembiayaan untuk 335.000 rumah, sejumlah 200.000 rumah di antaranya berupa fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Dengan penyaluran FLPP melalui BP Tapera, pengelolaan dana Tapera diharapkan menjadi lebih efektif dan efisien. Namun, peserta Tapera bukan hanya masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi juga non-masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). “Masyarakat non-MBR dari kalangan milenial jumlahnya sangat banyak. Diperlukan kolaborasi (pembiayaan) dengan pemangku kepentingan,” ujarnya.