Kerusakaan Lingkungan Berpotensi Picu Krisis Keuangan
Perubahan iklim terbukti telah memicu berbagai bencana alam yang menciptakan kerugian besar dan berpotensi menimbulkan krisis keuangan dan ekonomi. Ke depan, penerapan prinsip berkelanjutan mesti jadi prioritas.
JAKARTA, KOMPAS — Praktik dunia usaha yang ekspansif tanpa mengindahkan pengelolaan lingkungan yang tepat diyakini bisa memicu gejolak keuangan bahkan berpotensi menimbulkan krisis ekonomi. Perubahan iklim memicu berbagai bencana alam yang bisa menciptakan kerugian yang sangat besar. Namun, menjalankan bisnis keberlanjutan dengan memperhatikan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola bisa menjadi solusi.
”Berbagai ekspansi usaha yang berlebihan menciptakan pemanasan global. Apalagi, perusahaan yang tak memperhatikan kaidah lingkungan telah memicu banjir besar, longsor, badai besar, dan bencana lainnya,” tutur Global Finance Practice Leader World Wildlife Fund (WWF) International Margaret Kuhlow dalam seminar rangkaian acara G-20 bertajuk, ”Building Resilient Sustainable Finance”, Jumat (18/2/2022).
Data WWF menyebutkan, pada 2017 total kerugian akibat bencana di seluruh dunia mencapai 320 miliar dollar AS dan dari jumlah itu hanya 130 miliar dollar AS yang diasuransikan. Belum lagi dampak imateriil lain, seperti dampak sosial.
Taifun dan banjir yang kerap kali terjadi di Thailand, Filipina, dan Kamboja mengerek naik kredit macet (non performing loan/NPL) dan membangkrutkan banyak usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) di negara-negara itu.
Penduduk di pesisir pantai dari berbagai wilayah di dunia juga sudah mulai meninggalkan tempat tinggalnya akibat meningkatnya tinggi permukaan air laut. Potensi kegiatan ekonomi dari daerah itu pun hilang. Warga yang tinggal di sana pun makin terserat ke dalam garis kemiskinan.
Data Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) menyebutkan, pada 2030 akan ada 13 juta orang yang akan kehilangan mata pencariannya karena kenaikan temperatur global. ”Apabila ini terus terjadi, bukan tidak mungkin akan ada krisis ekonomi dan keuangan yang dipicu dari bencana alam akibat pemanasan global,” ujar Kuhlow.
Bisnis berkelanjutan
Kuhlow menjelaskan, belum terlambat untuk mencegah semua itu terjadi. Salah satu solusi yang ditawarkannya adalah mengajak dunia usaha, baik di sektor riil maupun finansial, untuk menjalankan usahanya berbasis berkelanjutan dengan memenuhi prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (environtmental, social, governance/ESG).
Berdasarkan risetnya, lanjut Kuhlow, apabila dunia usaha tidak membuat perubahan dan tetap menjalankan bisnisnya seperti biasa, pada 2050 dunia akan kehilangan produk domestik bruto (PDB) sebesar 10 triliun dollar AS. Namun, apabila dunia mau beralih menjalankan bisnis dengan prinsip ESG, pada 2030 akan ada kenaikkan PDB dunia sebesar 10 triliun dollar AS.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti menjelaskan, isu pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan salah satu agenda utama dari presidensi Indonesia pada G-20 tahun ini. Isu ini, lanjut Destry, sangat penting dan relevan tak hanya untuk masyarakat hari ini, tetapi juga untuk generasi mendatang.
Baca Juga: Hentikan Rivalitas, Fokus Pemulihan Situasi Dunia
Perubahan iklim telah memicu berbagai bencana, seperti banjir, longsor, dan kebakaran hutan. Ini membuat harga air bersih dan kebutuhan pokok lainnya ikut naik. ”Ini berpotensi mendisrupsi kebijakan moneter dan stabilitas keuangan,” ujar Destry.
Pada awal November tahun lalu, pemimpin dunia dalam pertemuan Conference of Parties ke-26 (COP-26) sepakat untuk bersama-sama mengurangi emisi hingga nol pada 2050.
Di Indonesia, kesadaran untuk menjalankan usaha berkelanjutan berdasarkan prinsip ESG sudah mulai dirintis. Director of Sustainable Development Danone Indonesia Karyanto Wibowo menyatakan, pihaknya mengalokasikan belanja modal khusus untuk pengembangan ekonomi hijau. Itu antara lain untuk mengembangkan pemanfaatan sumber daya energi baru terbarukan dan terus berinovasi untuk menciptakan botol air minum yang bisa didaur ulang 100 persen.
Dari industri jasa keuangan juga tumbuh kesadaran untuk memberikan pembiayaan yang berorientasi pada ESG. Kesadaran ini coba dirintis oleh Indonesia Sustainable Finance Initiative (ISFI). Chairman Representative ISFI Ahmad Solichin Lutfiyanto menjelaskan, terbentuk sejak 2018, kini ISFI memiliki 15 anggota yang terdiri dari 13 perbankan, 1 lembaga keuangan nonbank, dan 1 lembaga swadaya masyarakat.
”Tujuan kami adalah bagaimana mendorong kesadaran prinsip ESG di industri jasa keuangan serta bagaimana memberdayakan industri ini untuk menciptakan bisnis berkelanjutan,” ujar Solichin.