Presiden Joko Widodo dalam pidatonya saat Pertemuan Pertama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara-negara G-20 menekankan pentingnya kolaborasi untuk menangani isu-isu global.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN KUNCORO MANIK
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pandemi Covid-19 belum berakhir dan ekonomi dunia masih terguncang. Dalam situasi seperti ini, tidak ada satu negara pun yang bisa bangkit sendiri. Kelompok negara 20 atau G-20 diajak menghentikan rivalitas serta bersama-sama membangun konektivitas untuk mengatasi masalah inflasi yang terus meningkat, kenaikan harga pangan, hingga kelangkaan kontainer.
”Dalam situasi seperti ini bukan saatnya untuk rivalitas, bukan saatnya untuk membuat ketegangan baru yang mengganggu pemulihan dunia. Apalagi yang membahayakan keselamatan dunia sebagaimana yang terjadi di Ukraina saat ini,” ujar Presiden Joko Widodo dalam Pertemuan Pertama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara-negara G-20 yang digelar secara daring, Kamis (17/2/2022).
Presiden Jokowi mengajak untuk fokus bersinergi, berkolaborasi, menyelamatkan, dan membangkitkan serta memulihkan situasi dunia. Ini penting karena semua negara saling terkoneksi dan tidak ada yang terisolasi. ”Kebangkitan satu kawasan akan membangkitkan kawasan yang lainnya, sebaliknya keruntuhan satu kawasan akan ikut meruntuhkan kawasan yang lainnya,” ujar Presiden.
Situasi ketidakpastian global ini sudah mulai disuarakan sejak sebelum pandemi Covid-19. Ketika berpidato di IMF Worldbank Annual Meeting pada tahun 2018, Presiden Jokowi menyebut sempat mengatakan bahwa the winter is coming. ”Dan, saat ini winter yang berat benar-benar datang,” ujar Presiden Jokowi.
Ketidakpastian global ini harus dihadapi dengan sinergi dan kolaborasi. ”Kita harus bekerja sama mengendalikan inflasi yang cenderung meningkat. Kita harus mengantisipasi kelangkaan dan kenaikan harga pangan. Kita harus mengatasi kelangkaan kontainer dan rantai logistik lainnya. Kita harus mencegah terjadinya kelaparan,” tuturnya.
Presiden Jokowi menegaskan bahwa negara-negara G-20 memiliki tugas untuk melakukan beberapa transformasi, antara lain percepatan transisi menuju ekonomi hijau, percepatan transformasi digital yang merata dan terjangkau, serta dukungan terhadap kebangkitan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pertemuan antara menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari negara-negara G-20 ini diyakini bisa merumuskan langkah-langkah kebijakan fiskal dan moneter yang saling bersinergi antarnegara.
”Untuk menyelesaikan permasalahan kita bersama, permasalahan dunia. Kita harus berkolaborasi untuk menangani isu-isu global tersebut dengan capaian-capaian yang nyata dan terukur untuk mengatasi dan mencegah masalah agar pertumbuhan ekonomi dunia lebih inklusif dan berkelanjutan,” kata Kepala Negara.
Dengan semangat ”Recover Together, Recover Stronger”, Indonesia mendorong pembahasan agenda-agenda prioritas dunia. ”Kita harus memperkuat penguatan arsitektur kesehatan global. Kita harus memfasilitasi dan membiayai transisi energi menuju ekonomi hijau dan mempercepat transformasi ekonomi digital,” ujar Presiden Jokowi.
Pemulihan global
Menurut Presiden Jokowi, Indonesia sangat antusias dalam menjalankan peran presidensi G-20 untuk berkontribusi kepada dunia. Indonesia akan mendorong sinergi dan kolaborasi, termasuk sinergi dan kolaborasi antara menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari negera G-20 dalam merumuskan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat untuk mengatasi permasalahan dunia.
”Saya menaruh harapan besar tehadap menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20. Saya berharap pertemuan ini akan menghasilkan langkah sinergis dan kolaboratif yang konkret yang segera bisa dilaksanakan dan segera tampak hasilnya,” kata Presiden Jokowi.
Ketika membuka pertemuan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa ekonomi global terus menunjukkan pemulihan. Namun, dalam proses pemulihan tersebut ada beberapa faktor yang memengaruhi lajunya.
”Ini termasuk harga pangan dan energi yang lebih tinggi, potensi kenaikan suku bunga, ancaman varian Covid-19 yang baru, gangguan rantai pasokan, bencana alam akibat perubahan iklim, dan meningkatnya ketegangan geopolitik,” kata Sri Mulyani.
Setelah mengalami kontraksi sebesar 3,3 persen pada 2020, IMF memproyeksikan ekonomi global akan tumbuh sebesar 5,9 persen pada 2021, meski kemudian terkoreksi menjadi 4,4 persen pada 2022.
”Ekonomi global telah pulih, tetapi yang pasti proses pemulihan ini tidak merata dan tidak mudah,” ujar Sri.
Munculnya varian baru Omicron juga berkontribusi pada meningkatnya ketidakpastian dalam ekonomi global. Selain itu, perbedaan kapasitas untuk mengatasi pandemi Covid-19 termasuk realisasi vaksinasi di banyak negara merupakan faktor utama yang menyebabkan pemulihan yang tidak merata. ”Faktor-faktor ini tentu saja akan membentuk lanskap ekonomi global ke depan,” ujarnya.
Penyelenggaraan Presidensi G-20 pertama di Indonesia yang dilaksanakan di tengah kondisi pandemi juga penuh dengan tantangan. Forum G-20 menjadi komitmen Indonesia untuk bersinergi dan berkolaborasi dengan negara-negara anggota G-20 untuk menghadapi ketidakpastian global. ”Ini juga untuk memperluas dan memperkuat proses pemulihan global dan untuk memastikan kita pulih bersama dan pulih lebih kuat,” kata Sri Mulyani.