Kenaikan harga minyak mentah dunia yang diperkirakan tembus 100 dollar AS per barel bakal menekan harga jual BBM dalam negeri. Pemerintah harus cermat merespons situasi ini.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Komisi VII DPR pernah mendesak pemerintah untuk menurunkan harga jual bahan bakar minyak pada Mei 2020 atau di masa-masa awal pandemi Covid-19. Desakan itu muncul lantaran harga minyak mentah terperosok begitu dalam, bahkan hingga minus 40 dollar AS per barel untuk jenis WTI. Sementara jenis Brent sempat ada di bawah 20 dollar AS per barel.
Lantas, apa jawaban Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif kala itu? Menurut Arifin, apabila harga BBM diturunkan lantaran harga minyak mentah dunia merosot, akan susah dinaikkan ketika harga minyak mentah pulih. Tentu saja dengan tak menurunkan harga jual BBM, pada saat harga minyak mentah murah, badan usaha sektor hilir meraih untung besar.
Jawaban di atas mencerminkan strategi pemerintah terhadap harga jual BBM, khususnya yang disubsidi, seperti premium dan biosolar. Pemerintah, sejak April 2016, sekuat tenaga menahan harga kedua jenis bahan bakar tersebut kendati harga minyak mentah terus fluktuatif hingga sekarang. Hingga kini, harga keduanya tak berubah, yakni Rp 6.450 per liter untuk premium dan Rp 5.150 per liter untuk biosolar.
Kini, harga minyak sedang tinggi atau bisa disebut yang tertinggi sejak 2014. Berdasarkan catatan Bloomberg hingga Senin (14/2/2022) sore, minyak mentah jenis Brent dipasarkan di harga 94 dollar AS per barel. Harga tersebut mengonfirmasi tren kenaikan harga, yakni pada tutup tahun 2021 di level 75 dollar AS per barel dan pada awal tahun ini sebesar 85 dollar AS per barel.
Permintaan minyak yang naik seiring pemulihan ekonomi sejumlah negara dari pandemi Covid-19 mengerek harga minyak di pasar. Tak hanya minyak, komoditas lain yang harganya turut terkatrol adalah gas alam dan batubara. Selain faktor fundamental, tensi tinggi Rusia-Ukraina yang didukung NATO turut memengaruhi sentimen pasar. Bahkan, sejumlah analis memperkirakan harga minyak mentah bisa tembus ke 100 dollar AS per barel apabila pecah perang antara Rusia dan Ukraina yang didukung NATO.
Lantas, bagaimana sebaiknya menyikapi perubahan drastis harga minyak mentah dunia terhadap kebijakan harga jual BBM dalam negeri? Yang patut diingat adalah Indonesia sejak 2004 telah berstatus sebagai negara pengimpor bersih (netimporter) minyak. Sempat tercatat sebagai anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), situasi yang dialami Indonesia kini berbalik. Indonesia bergantung pada impor.
Dari kebutuhan BBM nasional sebanyak 1,4 juta barel per hari sampai 1,5 juta barel per hari, kemampuan produksi dalam negeri hanya 700.000-an barel per hari. Bahkan, diperkirakan, kemampuan itu terus merosot pada tahun-tahun mendatang. Realisasi produksi minyak 2021 yang sebesar 660.000 barel per hari masih di bawah target APBN sebanyak 705.000 barel per hari.
Dengan ketergantungan pada impor plus harga minyak yang begitu dinamis, sangat wajar apabila harga jual BBM perlu penyesuaian terhadap pergerakan harga minyak mentah. Pemerintah tak punya ketahanan fiskal yang tangguh untuk terus-menerus memberi subsidi pada BBM dan elpiji. Pemerintah juga tak bisa seterusnya mengandalkan utang untuk menambal subsidi bahan bakar.
Di masa lalu, pemerintah pernah menetapkan batas atas dan batas bawah harga BBM yang disesuaikan dengan pergerakan harga minyak mentah setiap tiga bulan. Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak 2014, harga premium sempat naik tiga kali dan turun empat kali. Sementara harga solar bersubsidi (biosolar) naik dua kali dan turun lima kali. Naik-turun harga itu terjadi pada periode November 2014-April 2016. Lantas sejak April 2016 itulah harganya tak pernah berubah hingga kini.
Lantaran harga tetap, sementara harga minyak (dan gas alam) mentah naik turun, besaran subsidi energi (BBM dan elpiji) juga fluktuatif. Pada 2015, subsidi BBM dan elpiji sebesar Rp 60,8 triliun dan sempat merosot menjadi Rp 43,7 triliun pada 2016. Subsidi kembali naik menjadi Rp 47 triliun pada 2017 dan melonjak signifikan menjadi Rp 97 triliun pada 2018. Pada 2019 dan 2020, subsidi masing-masing Rp 68,3 triliun dan Rp 47,7 triliun. Sementara realisasi subsidi BBM dan elpiji pada 2021 sebesar Rp 83,7 triliun. Tahun ini, pemerintah menargetkan besaran subsidi Rp 77,5 triliun.
Pemerintah perlu menata ulang kebijakan harga jual BBM dan elpiji. Bukannya harus menyerahkan pada mekanisme pasar bebas, tetapi tetap dibutuhkan kebijakan terukur. Untuk BBM, misalnya, penetapan harga batas atas dan batas bawah bisa diterapkan untuk mengurangi beban subsidi. Sementara untuk elpiji bersubsidi, perlu dikaji ulang mekanisme subsidi pada barang, yang menyebabkan elpiji 3 kilogram yang disubsidi negara kerap salah sasaran, dan diganti dengan subsidi pada orang.
Mekanisme harga di atas sekaligus dibarengi dengan edukasi kepada publik bahwa harga energi yang diimpor dan suatu saat pasti habis lantaran terus dikuras harus dimanfaatkan dengan bijak. Selain itu, pemanfaatan energi terbarukan, yang di dalam negeri potensinya melimpah ruah, harus terus dioptimalkan. Kebijakan harga yang populis, tetapi membebani fiskal negara, termasuk beban utang yang diwariskan, sudah tak relevan lagi.