Situasi pandemi Covid-19 yang masih berlangsung berpotensi membuat sejumlah pelaku industri hotel dan restoran kesulitan membayar tunggakan ataupun kembali memperoleh kredit modal kerja dari perbankan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan sosial yang masih berlangsung karena pandemi Covid-19 membuat industri perhotelan dan restoran kembali diliputi ketidakpastian. Situasi ini berpotensi membuat sejumlah pelaku industri hotel dan restoran kesulitan membayar tunggakan ataupun kembali memperoleh kredit modal kerja dari perbankan.
Ketua Umum Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) Sunarso mengatakan, sampai November 2021, rasio kredit bermasalah (NPL) industri hotel dan restoran mencapai 5,7 persen atau jauh di atas NPL total industri yang sekitar 3,22 persen. Sementara rasio NPL industri hotel dan restoran pada Himbara mencapai 4 persen atau di atas NPL total Himbara yang mencapai 3,6 persen.
NPL merupakan kondisi pinjaman dengan debitor gagal melakukan pembayaran yang dijadwalkan untuk jangka waktu tertentu.
”Sektor industri hotel dan restoran mengandalkan pergerakan orang. Pertumbuhan industrinya (sekarang) tergantung dengan ada tidaknya regulasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat,” ujar Sunarso saat menghadiri Rapat Kerja Nasional II Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) yang berlangsung secara híbrida, Rabu (9/2/2022), di Jakarta.
Hingga Desember 2021, Sunarso menyebutkan, Rp 22,8 triliun atau 44 persen dari total kredit industri hotel dan restoran telah direstrukturisasi karena pandemi Covid-19. Restrukturisasi kredit paling banyak terjadi di Jawa, Bali, dan Sumatera.
Ketentuan restrukturisasi mengacu kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 40 Tahun 2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Sesuai POJK ini, restrukturisasi kredit diperbolehkan asal nasabah kesulitan membayar pokok, debitor masih memiliki prospek usaha yang baik, serta dinilai mampu memenuhi kewajiban setelah kredit mengalami restrukturisasi.
Bank dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan memperbaiki kualitas kredit ataupun menghindari peningkatan pembentukan penyisihan penilaian kualitas aset (PPKA) tanpa memperhatikan kriteria debitor. Kemudian, sesuai POJK Nomor 42/POJK.03/2017 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan atau Pembiayaan Bank bagi Bank Umum, Sunarso mengatakan, bank dilarang melakukan plafondering kredit. Plafondering kredit adalah praktik penyelesaian kredit bermasalah dengan menggabungkan bunga dan denda ke dalam kredit baru.
Sebesar Rp 22,8 triliun atau 44 persen dari total kredit industri hotel dan restoran telah direstrukturisasi karena pandemi Covid-19.
”Sektor industri hotel dan restoran sekarang kehilangan demand, lalu muncul pertanyaan, yaitu bisa tidak (sektor industri hotel dan restoran) dapat penambahan kredit di tengah kondisi sekarang? Kalau kredit lamanya direstrukturisasi dan ditambah kredit, itu namanya plafondering. Itu tidak boleh,” katanya.
Dia memandang prospek bisnis hotel dan restoran yang dikelola oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih positif. Sesuai riset BRI, misalnya, Indeks Ekspektasi Bisnis UMKM pada triwulan IV-2021 berkisar 129,6. Dengan nilai indeks di atas 100, bisa dikatakan UMKM masih optimistis melihat situasi makroekonomi pada triwulan I-2022.
”Kuncinya adalah melewati gelombang varian Omicron dan menghadapi kondisi Lebaran 2022. Cashflow pelaku industri hotel dan restoran akan tecermin di tengah situasi tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Ahmad Siddik Badruddin menyampaikan, selain melihat performa masa lalu dan kemungkinan regulasi di dalam negeri pada jangka panjang, perbankan juga memperhatikan kebijakan pariwisata dari pemerintah negara lain. Untuk industri hotel dan restoran di Bali, misalnya, sektor industri di sana dikunjungi mayoritas oleh wisatawan mancanegara (wisman). Di tengah kemunculan varian Omicron, perbankan akan memantau kebijakan negara asal wisman yang biasa datang ke Bali.
“Perbankan tetap memberikan kredit kepada sektor industri hotel dan restoran. Selama pandemi Covid-19, kami belajar ada calon ataupun debitor yang punya tingkat bertahan tinggi, pemilik dan pemegang saham mau menyelamatkan bisnisnya, serta punya strategi manajemen yang efektif. Perbankan juga amat menekankan bisnis hotel dan restoran yang memiliki kemampuan adaptasi bisnis yang tinggi,” kata Siddik.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B Sukamdani mengatakan, relaksasi pinjaman periode 2022–2023 tetap berjalan. Hanya saja, sudah muncul kekhawatiran terkait ketidakmampuan pelaku sektor industri ini membayar beban utang apabila pandemi masih berlangsung.
Hariyadi berpendapat, pemerintah perlu melakukan intervensi menghadapi potensi risiko itu. Misalnya, dengan memungkinkan suku bunga rendah dalam jangka panjang.
”Mungkin bisa melalui ekuitas dari sisi perbankan dan nonbank dapat mengonversi utang. Intinya, kami harap ada cara-cara lain untuk membantu pelaku industri hotel dan restoran yang kesulitan,” ujarnya.
Hariyadi menambahkan, sejumlah negara lain telah lebih siap menghadapi badai varian Omicron. Di Indonesia, kegiatan usaha pariwisata tetap diperbolehkan buka meski sudah berlaku kembali pembatasan kegiatan masyarakat. Hal itu akan membantu proses pemulihan industri hotel dan restoran. PHRI memperkirakan pemulihan baru benar-benar bisa optimal dan kembali ke situasi tahun 2019 pada 2023.
Berdasarkan data BPS, kunjungan wisman pada 2019 mencapai sekitar 16 juta orang, tahun 2020 sekitar 4 juta jiwa, dan 2021 sekitar 1,5 juta kunjungan. Tingkat penghunian kamar (TPK) hotel klasifikasi bintang per Desember 2019 mencapai 59,39 persen. Pada Desember 2020 merosot jadi 40,79 persen, dan Desember 2021 sebesar 51,57 persen.