Penerimaan Masyarakat Jadi Tantangan Transisi Energi
Konsensus nasional terkait transisi energi diperlukan agar tercapai kesepakatan nasional. Transisi energi ini bakal siap jika rumusan sudah tepat, baik konsep, kompetensi, maupun konektivitasnya, pada masyarakat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsep, kompetensi, dan konektivitas, termasuk penerimaan masyarakat dalam transisi energi dari fosil ke energi terbarukan, perlu dimatangkan dalam upaya menuju bebas emisi pada 2060. Pola pikir masyarakat yang selama ini terbiasa dengan penggunaan energi termurah juga mesti diubah.
Hal itu dikatakan Menteri Pertambangan dan Energi 1978-1988 Subroto dalam webinar nasional ”Siapkah Indonesia Menuju Transisi Energi?” yang digelar Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Sabtu (5/2/2022). Menurut dia, pokok-pokok kesiapan Indonesia dalam transisi energi masih perlu dikaji.
Pada konsep, ujar Subroto, perlu dibuat peta jalan yang melibatkan pemerintah sebagai satu kesatuan serta semua pemangku kepentingan. Terkait kompetensi, perlu dikaji secara mendalam bagaimana modal dan kesiapan tenaga kerja. Dalam konektivitas, penyebarluasan kepada masyarakat perlu lebih digencarkan.
”(Penerimaan dari masyarakat) itu yang menjadi tantangan utama. Saat ini, (dalam) transisi energi belum tercapai konsensus nasional. Ini yang perlu segera kita capai. Jadi, ada kesepakatan nasional. Transisi energi ini siap kalau kita sudah merumuskan dengan baik konsep, kompetensi, dan konektivitasnya,” kata Subroto.
Di samping itu, lanjut Subroto, mindset atau pola pikir bangsa perlu diubah. Hal tersebut menyangkut ketersediaan energi terbarukan dan keterjangkauannya oleh masyarakat luas.
”Selama ini, mindset kita ’pokoknya pakai energi termurah, yang dapat dibayar’. Ini yang perlu dikoreksi. Jangan membuat satu paradigma seperti itu. Pemerintah harus meningkatkan kemampuan. Begitu juga (pemanfaatan) pendanaan untuk pemindahan transisi energi,” kata Subroto.
Menurut data Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), target penyediaan listrik dari energi terbarukan terus meningkat. Dari 9.427 megawatt (MW) pada 2017 menjadi 11.804 MW pada 2022. Itu mencakup hibrida, bayu, surya, bioenergi, panas bumi, dan air. Angka itu belum termasuk pengembangan PLTS Atap.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan, ada sejumlah tantangan dalam transisi energi. Saat ini 89 persen energi nasional masih pada energi fosil dan sisanya, 11 persen, dipenuhi energi terbarukan. Kendati juga ekspor, Indonesia juga masih mengimpor minyak dan gas. Apabila pemanfaatan EBT menurun, importasi bisa meningkat.
Dalam kelistrikan, kapasitas terpasang, yakni 73 gigawatt (GW). Sebesar 88 persen dengan fosil termasuk batubara, sedangkan 12 persen energi terbarukan. ”Ini kontradiktif dengan upaya-upaya penurunan karbon. Di satu sisi ingin turunkan emisi, tetapi di sisi lain pemanfaatan batubara luar biasa,” kata Surya.
Menurut dia, hingga 2025, energi fosil masih akan sangat dominan di Indonesia. Baru pada periode 2025-2050, pengembangan energi terbarukan bakal lebih agresif. Namun, terbatasnya pendanaan dan SDM bisa menjadi kendala kendati sudah ada komitmen nasional, yakni penurunan emisi karbon 29 persen pada 2030.
Pengembangan energi terbarukan, ujar Surya, tak mungkin sepenuhnya dilakukan pemerintah. ”Namun, perlu menarik berbagai pihak, termasuk untuk finansial. Sebab, tidak mudah mendapatkan 100 miliar dollar AS (hingga 2025), apalagi dari APBN. Perlu disiapkan beberapa skenario agar berbagai pihak ikut mendukung,” ucapnya.
Percepatan
Direktur Perencanaan Kementerian dan Pengembangan Infrastruktur EBTKE Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM Hendra, Iswahyudi mengemukakan, pemerintah terus mendorong peningkatan energi terbarukan menuju target 23 persen pada 2025.
Sejumlah upaya yang dilakukan seperti penyelesaian Rancangan Peraturan Perpres Harga Energi Terbarukan, penerapan Peraturan Menteri ESDM PLTS Atap, dan mandatori bahan bakar nabati. Selain itu, pemberian insentif fiskal dan non-fiskal untuk energi terbarukan, kemudahan perizinan, dan mendorong permintaan energi listrik.
Peta jalan yang sudah disusun, yakni penurunan emisi 198 juta ton CO2 pada 2025, kemudian meningkat menjadi 314 juta ton C02, 475 juta ton CO2 pada 2035, 796 juta ton CO2 pada 2040, 956 juta ton CO2 pada 2050, dan 1.526 juta ton CO2 pada 2060. Termasuk di dalamnya memensiunkan PLT berbahan bakar fosil dan pembangunan PLT energi terbarukan.
”Tentu ini perlu disinergikan dengan kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, dan para pemangku kepentingan,” ujar Hendra.
Catatan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, investasi di bidang energi terbarukan mencapai lebih dari 1 miliar dollar AS setiap tahun. Pada 2021 dialokasikan 1,51 miliar dollar AS, meningkat dari 2020 yang 1,36 miliar dollar AS. Adapun investasi terkait transisi energi di dunia mencapai lebih dari 500 miliar dollar AS pada 2020.
Praktisi hulu migas, Tumbur Parlindungan, mengatakan, availability (ketersediaan), affordability (keterjangkauan), dan sustainability (keberlanjutan) energi menjadi kunci untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut, menurut dia, perlu diutamakan sebelum ke transisi energi.
”Caranya, efisiensi energi dulu yang kita harus tempuh baru menjalankan peta jalan. Sebab, transisi energi ini perjalanan panjang. Enggak mungkin dalam 50 tahun kita sampai,” ucapnya.
Pakar Hukum energi sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, mengatakan, kebijakan hukum pro transisi energi antara lain UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Tercakup di dalamnya, peta jalan pajak karbon dan peta jalan pasar karbon.
Juga ada Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tetang Pajak Karbon. Namun, yang penting ialah konsistensi dalam implementasinya. ”PP Konservasi Energi sejak 2009, PP No 79/2014 (Kebijakan Energi Nasional) juga dari zaman Presiden SBY. Apakah kebijakan energi nasional ini sudah sesuai target. Jauh. Ini yang menjadi pekerjaan rumah kita,” ujar Redi.