B-20 Diharapkan Jadi Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Inklusif
Pasca-presidensi G-20, iklim berusaha global diharapkan dapat lebih berpihak terhadap pertumbuhan dunia usaha dalam negeri.
JAKARTA, KOMPAS — Amanat yang diemban Indonesia sebagai presiden G-20 diharapkan bisa memberi dampak pada peningkatan daya saing iklim berusaha di tengah persoalan pandemi Covid-19 demi mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
Upaya dalam mewujudkan harapan tersebut akan dioptimalkan dalam gelaran pertemuan para perwakilan komunitas bisnis di semua negara anggota, yang disebut forum B-20.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sekaligus Ketua Dewan Penasihat B-20 Indonesia, Arsjad Rasjid, Rabu (26/1/2021), mengatakan, pertemuan perdana atau inception meeting B-20 dilaksanakan selama dua hari, 27-28 Januari 2022, di Jakarta dengan tema ”Kemajuan Inovatif, Inklusif, dan Pertumbuhan Kolaboratif”.
Ia menambahkan, forum ini menurut rencana dihadiri oleh 1.500 delegasi negara-negara anggota G-20 yang terdiri dari para pemimpin bisnis perusahaan multinasional, organisasi dan komunitas bisnis, serta petinggi dan pemangku kebijakan dari semua negara anggota G-20.
Pada forum perdana B-20, Presiden Joko Widodo dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto akan turut hadir untuk menyampaikan pidato kunci.
Arsjad menegaskan, salah satu hal penting dari inception meeting B-20 tahun ini adalah hadirnya petinggi dan delegasi dari negara G-20 yang memberikan pandangan serta masukan mengenai rekomendasi kebijakan yang mesti dipertimbangkan dalam rangka pemulihan ekonomi pascapandemi.
Adapun petinggi delegasi lain yang akan turut hadir menjadi pembicara utama di antaranya mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair serta pendiri sekaligus Ketua Eksekutif Forum Ekonomi Dunia, Klaus Schwab.
Baca juga : Harapan Publik pada Presidensi G-20
Arsjad menjelaskan, Blair akan membahas hal penting seputar kesehatan global untuk mengakhiri pandemi saat ini dan bagaimana upaya bersama untuk mencegah munculnya pandemi di masa yang akan datang. Sementara Schwab akan membahas mengenai peran penting kolaborasi dan inovasi berbagai pemangku kepentingan untuk mengatasi permasalahan global.
Selain itu, akan turut hadir peneliti dari Institut Riset Asia di National University of Singapore, Kishore Mahbubaniyang. Ia akan memberikan kata pengantar di acara ini mengenai perubahan konteks geopolitik akibat pandemi serta implikasi dari perubahan ini terhadap iklim usaha serta rekomendasi kebijakan apa yang harus diperhatikan oleh grup B-20.
”Pemerintah berharap forum B-20 menjadi titik lompatan Indonesia keluar dari krisis ekonomi mengingat para delegasi akan memberikan rumusan dan masukan mengenai pemulihan ekonomi di masa pandemi,” ujarnya.
Tantangan ekonomi
Sebelumnya dalam Indonesia Economic Outlook 2022 yang diselenggarakan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Arsjad menyampaikan, pada tahun ini akselerasi program vaksinasi dan peningkatan protokol kesehatan yang simultan menjadi kunci untuk meningkatkan prospek ekonomi jangka pendek.
Namun, di luar persoalan pandemi, para pelaku usaha global juga akan menghadapi sejumlah tantangan pada tahun ini. yaitu tren kenaikan tarif pengangkutan barang lintas negara, potensi konflik politik Rusia-Ukraina dan China-Taiwan yang dapat memengaruhi ekonomi dunia, serta isu perubahan iklim.
”Kadin Indonesia berharap inception meeting B-20 akan melahirkan gagasan yang dapat diaktualisasikan menjadi kebijakan konkret yang dapat mengatasi persoalan-persoalan global,” ujarnya.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Hipmi Mardani H Maming menilai terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi pelaku usaha pada tahun 2022, yang ia harap tidak luput dalam pembahasan forum B-20.
Tantangan tersebut salah satunya adalah kebijakan moneter negara besar di dunia, terutama tapering off dan kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan bank sentral AS, The Fed, yang bisa menyebabkan keluarnya modal serta melemahkan nilai tukar mata uang negara berkembang.
”Selain itu, yang jelas masih ada ketidakpastian pandemi Covid-19 dengan varian-varian baru yang terus bermunculan yang harus diwaspadai agar tidak merusak momentum kebangkitan ekonomi global,” ujarnya.
Daya saing
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia sekaligus ketua penyelenggara B-20, Shinta W Kamdani, mengatakan, pasca-presidensi G-20, iklim berusaha global diharapkan dapat lebih berpihak terhadap pada pelaku usaha dalam negeri.
Saat ini, lanjutnya, iklim berusaha di Indonesia sudah lebih baik seiring dengan pandemi Covid-19 yang melandai dan ekonomi yang makin pulih. Ia meyakini, forum B-20 dapat menjadi batu loncatan untuk mempercepat pemulihan ekonomi RI.
Apalagi, pelaku usaha yang terlibat dalam B-20 umumnya adalah pimpinan perusahaan multinasional yang berpotensi menggerakkan investasi di dalam negeri. ”Ini bukan sekadar urusan menyelenggarakan event, tetapi juga diharapkan bisa meningkatkan arus investasi ke Indonesia. Sayang sekali kalau kita tidak maksimal memanfaatkan forum ini untuk mempromosikan daya saing iklim usaha dan potensi investasi kita,” kata Shinta.
Seperti diketahui, realisasi investasi pada tahun 2022 ditargetkan mencapai Rp 1.200 triliun, naik 33 persen dibandingkan dengan target realisasi investasi tahun 2021 sebesar Rp 900 triliun.
”Kalau dilakukan dengan terkoordinasi dan konsisten, kami cukup yakin forum ini bisa mendukung pencapaian target investasi kita tahun ini,” ujar Shinta.
Baca juga : Presidensi G-20: Bukan Sekadar Giliran
Secara khusus, forum B-20 akan mengusung pemberdayaan serta peningkatan daya saing UMKM dan pebisnis perempuan. Menurut dia, isu pemberdayaan dan fasilitasi UMKM akan dibahas di hampir seluruh gugus tugas B-20.
”Isu utamanya antara lain dukungan pembiayaan dan simplifikasi ketentuan perdagangan agar UMKM lebih mudah memenuhi standar internasional serta pembangunan kapabilitas dan daya saing UMKM,” kata Shinta.
Pemberdayaan UMKM
Komitmen pemerintah untuk memberdayakan dan meningkatkan daya saing UMKM sebenarnya sudah tertuang lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Regulasi itu salah satunya mengharuskan adanya kerja sama investasi besar dengan UMKM lokal dalam rantai pasok.
Kendati demikian, menurut Shinta, undang-undang tersebut hanya membuka peluang bekerja sama. Pada praktik di lapangan, masih ada kendala berupa kapabilitas UMKM yang masih perlu ditingkatkan untuk masuk dalam rantai pasok usaha besar.
”Kita tidak bisa hanya bergantung pada UU Cipta Kerja. Harus ada mekanisme lain yang memfasilitasi dan menjembatani gap kapabilitas itu,” kata Shinta.
Forum B-20 pun akan ikut menggaungkan model rantai pasok yang inklusif agar perusahaan besar lebih tertarik dan mendapat insentif untuk melibatkan UMKM dalam rantai pasok usahanya. Ia berharap usulan dan inisiatif yang dibahas pada B-20 itu dapat diadopsi oleh pemerintah dan pemimpin negara-negara anggota G-20.
”Ini semua aspek komplementer terhadap pencapaian tujuan inklusivitas UMKM dalam rantai pasok global, yang detailnya tidak ada dalam UU Cipta Kerja,” katanya.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun berharap forum G-20 dapat menjadi momentum untuk meningkatkan akses pemberdayaan dan pemasaran bagi UMKM yang selama dua tahun terakhir ini berdarah-darah akibat terdampak pandemi.
Namun, UMKM juga harus bisa memanfaatkan peluang tersebut. ”Pelaku UMKM harus siap dari sisi keuangan, kualitas, dan produksi. Bukan hanya datang memamerkan produk saja, tetapi lingkungannya harus siap,” ujar Ikhsan.
Lebih lanjut, ia berharap forum B-20 bisa memperkuat program pemerintah untuk melibatkan UMKM dalam rantai pasok investasi besar. Sejauh ini, belum semua usaha mikro dan kecil siap bekerja sama dengan perusahaan besar. Program itu juga belum bersifat wajib sehingga investor besar telanjur memiliki preferensi rekan usaha lain untuk dilibatkan dalam rantai pasok.
Ia pun berharap forum B-20 dapat mempertegas komitmen investasi besar untuk lebih melibatkan UMKM dalam rantai pasoknya. Namun, komitmen itu harus diikuti dengan peraturan yang lebih mengikat.