Publik mengira lebih banyak orang yang membutuhkan pekerjaan dibandingkan yang keluar di tengah situasi sekarang ini. Ternyata sebaliknya.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Beberapa hari lalu kita mendengar bahwa sejumlah karyawan di perusahaan teknologi memilih mengundurkan diri setelah sempat bekerja dua-tiga bulan. Kita juga mendengar teman di sekitar kita memilih keluar dari pekerjaan. Amerika Serikat sedang mengalami masalah pelik. Mereka menyebut tengah terjadi pengunduran diri besar-besaran (great resignation) karena angka pengunduran diri berkisar 9-19 persen di berbagai sektor usaha.
Secara mudah kita akan menuduh mereka yang keluar dari perusahaan karena alasan gaji semata. Orang juga mengira, perusahaan-perusahaan lama banyak ditinggalkan, sementara perusahaan teknologi tidak mengalami masalah ini. Kita juga mungkin akan menduga perusahaan teknologi menjadi tempat berlabuh mereka yang keluar dengan segala tawarannya. Semua dugaan ini banyak yang meleset.
Mari kita melihat masalah yang tengah terjadi di Amerika Serikat. Total pekerja yang mengundurkan diri selama pandemi sampai November tahun lalu sebanyak 4,5 juta orang. Angka yang sangat tinggi terjadi di tengah situasi ekonomi yang masih sulit. Publik mengira lebih banyak orang yang membutuhkan pekerjaan dibandingkan yang keluar di tengah situasi sekarang ini. Ternyata sebaliknya. Fakta ini semakin menunjukkan persoalan pengunduran diri para karyawan bukan hanya soal gaji.
Tiga peneliti yang menulis di dalam sebuah artikel di MIT Sloan Management Review mengungkapkan, dari lima alasan utama orang mengundurkan diri dari perusahaan selama survei April-Oktober 2021 tak satu pun menyebut soal kompensasi. Lima alasan utama itu adalah perusahaan buruk dalam merespons kasus Covid-19, perusahaan gagal mengakui kinerja karyawan, tingkat yang tinggi di dalam inovasi, reorganisasi di dalam perusahaan, dan yang terbanyak adalah adanya kultur beracun di perusahaan. Alasan yang terakhir ini 10,4 lebih kuat dibanding soal kompensasi.
Analisis lebih lanjut yang dilakukan para peneliti di dalam artikel yang berjudul Toxic Culture Is Driving the Great Resignation menyebutkan, penyebab utama yang berkontribusi terhadap kemunculan kultur beracun di perusahaan adalah kegagalan perusahaan mempromosikan keragaman, kesetaraan, dan inklusi; pekerja merasa tidak dihargai; dan perilaku tidak etis oleh beberapa karyawan.
Kombinasi itu menyebabkan karyawan memilih keluar dari perusahaan sekalipun pada masa pandemi yang sulit. Pada masa pandemi banyak orang cenderung berpikir untuk mengamankan pekerjaannya. Tidak sedikit yang berpikir, masih bisa bekerja saja sudah untung. Akan tetapi, mereka yang menghadapi kultur beracun di perusahaan memilih tidak berada di zona nyaman. Mereka memutuskan keluar dari situasi yang mengganggu.
Kajian lain tentang penyebab karyawan memilih keluar dari perusahaan banyak ditemukan. Secara umum, sangat sedikit yang menyinggung masalah kompensasi. Mereka lebih menyoroti ke hal-hal yang terkait dengan komunikasi dan kenyamanan di tempat kerja. Beberapa menyoroti tentang fasilitas kesehatan dan kenyamanan di tempat bekerja. Karyawan juga melihat bagaimana cara perusahaan membuat mereka lebih bahagia pada saat pandemi dan keseimbangan hidup diterapkan di perusahaan.
Untuk menghadapi masalah ini, beberapa peneliti dan eksekutif perusahaan mengajukan beberapa usulan. Kecenderungan karyawan yang keluar dalam jumlah besar mengharuskan kita untuk mengambil pendekatan berbasis data. Tidak cukup hanya dengan asumsi. Malah sangat berbahaya jika hanya menggunakan asumsi. Data akan memperlihatkan tidak hanya berapa banyak orang yang berhenti, tetapi siapa sebenarnya yang memilih untuk mengundurkan diri, mengapa orang memilih pergi, serta pada saat yang kita bisa memastikan apa yang dapat dilakukan untuk mencegahnya.
Ahli manajemen sumber daya manusia Ian Cook di dalam Harvard Business Review tulisan bulan September tahun lalu menyebutkan tiga hal yang perlu dilakukan oleh para eksekutif perusahaan dalam menghadapi masalah seperti saat ini. Ketiganya adalah masalah utama di perusahaan yang menjadi penyebab orang meninggalkan perusahaan, memastikan penyebab utama orang memilih keluar dari perusahaan, dan mengembangkan program yang bisa menahan karyawan untuk bertahan di tempat kerja.
Rekomendasi lainnya muncul dari Content and Partnerships Lead, Strategic Intelligence, World Economic Forum Abhinav Chugh di laman World Economic Forum. Ia menyebutkan, dengan kenyataan itu perusahaan seharusnya mulai mengevaluasi kembali orientasi masa depan mereka mengingat dunia kerja yang baru. Sejumlah faktor harus dipertimbangkan agar sistem di dalam korporasi diarahkan untuk memastikan pekerjaan yang layak dan bermartabat untuk semua.
Berbagai perusahaan tengah memahami aspek-aspek baru di dalam kerja. Namun, kadang ada hal yang mengganggu dan tak dipahami perusahaan. Secara radikal seorang yang ahli dalam hal kolaborasi, Jason Fried dalam sebuah penampilan di Ted Talk mengatakan, masalah sebenarnya adalah apa yang disebut M&Ms alias Manager and Meetings. Interupsi oleh bos dan rapat berkali-kali adalah masalah yang mengganggu dan malah tidak menyelesaikan masalah di kantor modern saat ini. Untuk itu, kurangi interupsi dan rapat.