Realisasi serapan insentif gas industri tidak pernah mencapai 100 persen karena terkendala tahapan birokrasi yang panjang serta pasokan gas yang terbatas.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri penerima insentif harga gas bumi tertentu memperkirakan realisasi serapan insentif gas industri tahun ini dapat meningkat seiring dengan membaiknya kinerja dan utilisasi industri. Namun, kendala utama berupa birokrasi pengajuan yang rumit serta suplai gas yang terbatas di sejumlah titik perlu terlebih dulu diatasi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, realisasi serapan insentif gas industri sepanjang tahun 2021 mencapai 81,08 persen. Jumlah itu setara dengan 1.006,23 miliar british thermal unit day (BBTUD) dari total alokasi sebesar 1.241 BBTUD.
Sejak insentif harga gas bumi tertentu (HGBT) senilai 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) untuk industri diterapkan April 2020 lalu, realisasi penyalurannya belum pernah mencapai 100 persen. Sepanjang April-Desember 2020, alokasi pasokan gas bumi untuk sektor industri tertentu yang terserap adalah 76,8 persen.
Wakil Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Widjaja saat dihubungi, Minggu (23/1/2022), mengatakan, realisasi serapan gas industri tidak pernah bisa mencapai 100 persen karena proses pemberian alokasi gas industri seharga 6 dollar AS per MMBTU itu harus melalui banyak tahapan administratif yang rumit dan berliku.
Ia mengatakan, tahap pertama, industri harus mengajukan diri sebagai penerima manfaat ke asosiasi terkait. Berikutnya, asosiasi mengumpulkan data dan meneruskan pengajuan itu melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) milik Kementerian Perindustrian. Menurut Achmad, proses verifikasi di SIINas untuk memastikan status perusahaan pengaju tersebut bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Setelah lolos verifikasi SIINas, Kementerian Perindustrian memberikan cap rekomendasi dan meneruskan pengajuan itu ke Kementerian ESDM. Setelah itu, Kementerian ESDM meneruskannya ke PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) selaku pemasok gas dengan terlebih dulu berkoordinasi dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
”Nah, ketika PGN mau mengimplementasikan, itu pun perlu mendapat persetujuan dari Kementerian Keuangan selaku yang memegang keuangan negara. Jadi, karena ini prosesnya berantai berliku-liku, insentif itu tidak bisa 100 persen diimplementasikan,” kata Achmad.
Menurut dia, jika kendala administratif itu bisa diurai menjadi lebih sederhana, realisasi serapan gas industri akan meningkat mendekati 100 persen. Sebab, rata-rata utilisasi industri saat ini sudah mulai mendekati kondisi normal seiring dengan membaiknya kondisi penanganan pandemi dan perekonomian nasional. Dengan utilisasi yang meningkat itu, kebutuhan gas untuk produksi otomatis meningkat.
Jika insentif gas murah tersebut terserap dengan maksimal oleh industri, dampaknya pada perekonomian nasional bisa lebih optimal meski di satu sisi pemerintah harus merelakan menurunnya pemasukan negara dari sektor minyak dan gas bumi (migas). ”Sebenarnya, kan, multiplier effect ini yang dibutuhkan oleh negara. Begitu industri bertumbuh, ekonomi akan berputar, pemerintah juga dapat pajak dari industri,” ujar Achmad.
Jika insentif gas murah terserap dengan maksimal oleh industri, dampaknya pada perekonomian bisa lebih optimal.
Achmad berharap tahapan administratif itu bisa dipangkas dan mempermudah perusahaan industri. Misalnya, industri tidak perlu harus mengajukan diri lewat asosiasi dan Kemenperin terlebih dulu, tetapi bisa langsung tercatat sebagai penerima manfaat selama berstatus pelanggan PGN.
Sementara itu, Kementerian ESDM bertugas memastikan penyaluran gas sesuai dengan alokasi yang sudah ditetapkan dan Kemenperin bertugas mengawasi penyerapan gas agar dipakai dengan optimal. ”Kalau memang tercatat sebagai pelanggan PGN dan berstatus industri, tidak mungkin meleset insentifnya,” ujar Achmad.
Suplai gas
Kendala utama lainnya di luar birokrasi adalah suplai gas, sebagaimana dirasakan industri keramik. Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan, serapan ke produsen keramik di wilayah Jawa Timur masih terkendala suplai gas dari PGN. Oleh karena itu, pemanfaatan insentif gas industri di sektor keramik belum bisa optimal.
Kementerian ESDM mencatat, realisasi serapan gas industri di sektor keramik pada 2021 mencapai 67,32 persen, dengan volume 87,91 BBTUD dari total alokasi 130,59 BBTUD. Namun, Asaki mencatat, realisasi serapan sepanjang 2021 sebenarnya mencapai 85 persen dari alokasi tersebut.
Dengan utilisasi industri pada 2021 di level 75 persen dan target utilisasi 85 persen pada 2022, serapan gas seharusnya bisa lebih tinggi tahun ini. Kendati demikian, problem pasokan gas di Jawa Timur diperkirakan menurunkan tingkat penyerapan gas industri pada semester awal tahun ini. Sebagai informasi, sebanyak 40 persen anggota Asaki berada di Jawa Timur.
Edy mengatakan, gangguan suplai gas PGN di Jawa Timur memaksa industri keramik hanya memakai 50-75 persen dari total alokasi gas mulai Januari ini. ”Kami sudah dapat konfirmasi dari PGN bahwa gangguan akan berlangsung sampai Mei-Juni 2022. Ini sangat disayangkan di tengah industri keramik yang sedang mencoba rebound ,” katanya.
Gangguan suplai gas PGN di Jawa Timur memaksa industri keramik hanya bisa memakai 50-75 persen dari total alokasi gas mulai Januari ini.
Saat ini, kelanjutan kebijakan insentif HGBT senilai 6 dollar AS per MMBTU bagi industri sedang dibicarakan lintas kementerian/lembaga. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), penerimaan negara dari sektor migas menurun 1,2 miliar dollar AS pada 2021 akibat kebijakan gas industri tersebut.
Penerimaan negara diperkirakan turun lebih jauh tahun ini apabila industri penerima harga gas khusus ditambah sesuai dengan usulan Kemenperin. Di sisi lain, tingkat serapan gas industri yang belum mencapai 100 persen juga menjadi salah satu catatan evaluasi.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kemenperin Eko Cahyanto mengatakan, pihaknya tetap akan mempertahankan usulan memperluas kebijakan harga gas murah bagi industri. Tak hanya tujuh sektor yang sekarang menerima insentif tersebut, tetapi diperluas ke 13 sektor lainnya sesuai dengan rencana awal.
”Prinsipnya jangan ada yang tertinggal, semua harus dapat harga yang sama. Memang, ada kepentingan pemerintah untuk pendapatan negara langsung dari hulu, tetapi kami melihatnya lebih ke hilir. Dengan harga gas kompetitif, industri akan tumbuh, lapangan kerja semakin banyak,” kata Eko.