Daging Ayam Rp 40.000 Per Kilogram, Pedagang di Indramayu Merugi
Harga daging ayam yang mencapai Rp 40.000 per kilogram telah berdampak pada pedagang di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Mereka berharap, pemerintah segera mengendalikan lonjakan harga komoditas itu.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
INDRAMAYU, KOMPAS — Sejumlah pedagang daging ayam di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mengeluhkan lonjakan harga komoditas tersebut hingga Rp 40.000 per kilogram. Selain memberatkan konsumen, harga tersebut juga dinilai merugikan pedagang. Mereka meminta pemerintah mengendalikan harga daging ayam.
Di Pasar Karangampel, misalnya, harga daging ayam menyentuh Rp 40.000 per kg, Minggu (16/1/2022). Padahal, harga acuan daging ayam yang ditetapkan pemerintah, menurut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 terkait harga acuan pembelian, di tingkat konsumen adalah Rp 35.000 per kg.
Ahmad Aris (27), salah seorang pedagang, menjelaskan, kenaikan harga terjadi sebulan terakhir. ”Tadinya, saya pikir harganya naik karena tahun baru seperti biasanya. Harga telur juga begitu. Eh, ternyata harganya masih tinggi. Padahal, harga telur sudah turun. Harga telur dan ayam itu biasanya tidak jauh beda,” katanya.
Harga telur di tingkat konsumen saat ini sekitar Rp 24.000 per kg, turun dibandingkan akhir Desember 2021 yang melebihi Rp 30.000 per kg. Aris tidak tahu penyebab kenaikan harga daging ayam. Namun, lanjutnya, lonjakan harga itu sudah terjadi di tingkat perusahaan pemasok ayam dan distributor. Ayam itu dikirim dari Kuningan, Jabar, dan sekitarnya.
Ia mencontohkan, awal November 2021, harga ayam hidup di rantai distributor sekitar Rp 18.800 per kg. Namun, saat ini, hargaya berkisar Rp 24.000-Rp 26.000 per kg. Dengan harga ayam hidup Rp 24.000 per kg, Aris seharusnya mendapatkan selisih sekitar Rp 14.000 per kg jika menjualnya seharga Rp 40.000 per kg.
”Ternyata, saya rugi karena timbangan saat beli dan jual ayam itu beda,” ucapnya. Bobot ayam hidup, katanya, akan susut sekitar 3 ons ketika jadi ayam potong. Sebagian besar konsumen juga membeli ayam kurang dari 1 kg dan hanya bagian tertentu. Padahal, beberapa bagian ayam potong lebih murah. Kepala ayam, misalnya, Rp 10.000 per kg.
Bingung juga, kalau ayam dijual di atas Rp 40.000 per kg, nanti enggak ada yang beli. Mau mengurangi belanja, nanti pelanggan saya enggak kebagian. (Aris)
Itu sebabnya, kenaikan harga ayam juga berdampak pada pedagang. Aris mencontohkan, dengan harga ayam hidup di distributor Rp 24.000 per kg, ia mengeluarkan modal sekitar Rp 7,5 juta untuk membeli sekitar 3 kuintal ayam. Setelah daging ayam itu dijual habis dengan harga Rp 40.000 per kg, ia rugi Rp 200.000.
”Sebelumnya, saya rugi Rp 2,5 juta. Total kerugian saya selama harga ayam naik sudah Rp 22 juta. Bingung juga, kalau ayam dijual di atas Rp 40.000 per kg, nanti enggak ada yang beli. Mau mengurangi belanja, nanti pelanggan saya enggak kebagian,” ungkapnya. Ia berharap harga ayam di distributor bisa sekitar Rp 15.000 per kg.
Bansos tunai
Emi Uyung (51), pedagang lainnya, terpaksa mengurangi jumlah daging ayam yang akan dijual. Sebelum harga melonjak, ia membeli ayam dari distributor lebih dari 1 kuintal. ”Sekarang, hanya 50 kg. Enggak berani ambil banyak (ayam). Risikonya besar, ruginya besar. Kalau sepi (pembeli), ya enggak laku,” ungkapnya.
Emi menambahkan, pedagang juga merugi karena sejumlah bantuan sosial (bansos) dari pemerintah berupa sembako, bukan uang tunai. Bansos tersebut berupa telur ayam, daging ayam, beras, dan buah-buahan. ”Kalau ada bansos, (pasar) sepi. Mending dikasih duit. Warga bisa ke pasar, belanja,” ujarnya.
Kenaikan harga daging ayam di tingkat konsumen juga terjadi di sejumlah daerah di Jabar. Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, Minggu, rata-rata harga komoditas itu di Jabar Rp 39.250 per kg. Ayam juga menjadi salah satu komoditas penyumbang inflasi di Jabar.