Pemerintah Disarankan Fokus Menegakkan Kewajiban Pemenuhan DMO Batubara
Untuk mengatasi kisruh tersendatnya suplai batubara ke pembangkit listrik, pada jangka pendek, pemerintah diharapkan fokus menegakkan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penegakan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation/DMO dan harga DMO batubara untuk pembangkit listrik merupakan hal mendesak yang harus dilakukan pemerintah sekarang. Sembari memastikan hal itu, pemerintah diharapkan secara bertahap menata ketentuan DMO untuk keperluan transisi energi jangka panjang.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menyampaikan hal itu saat dihubungi di Jakarta, Jumat (14/1/2022) petang. Letak persoalan yang akhir-akhir ini terjadi yaitu krisis pasokan batubara untuk pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN dan produsen listrik independen (IPP).
Permasalahan itu, menurut dia, harus diatasi dengan solusi mengamankan pasokan DMO batubara untuk sektor kelistrikan. Caranya, izin ekspor dikaitkan dengan kepatuhan kewajiban pemenuhan DMO. Perusahaan tambang batubara yang akan melaksanakan ekspor harus dicek terlebih dulu kepatuhannya. Pemerintah seharusnya bisa melakukannya setiap bulan.
Permasalahan berikutnya berkaitan dengan kepatuhan terhadap harga DMO batubara untuk sektor kelistrikan yang ditetapkan 70 dollar AS per ton. Dia mengakui, ada disparitas dengan harga batubara di pasar internasional. Apabila harga internasional masih tinggi pada 2022, pemerintah bisa melakukan penyesuaian. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, negara berhak mengatur produksi, penjualan, dan harga.
”Jadi, pemerintah tidak bisa begitu saja mencabut DMO, baik secara pemenuhan kewajiban 25 persen maupun secara harga. Apalagi, pemerintah mengeluarkan wacana membentuk badan layanan umum (BLU) batubara. Wajar jika anggota Komisi VII DPR pun menolak wacana itu,” kata Fabby.
Pada saat bersamaan, pemerintah beberapa kali menyebut soal transisi energi. Salah satunya akan diterapkan dengan memensiunkan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Di dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional disebutkan, mulai tahun 2019, produksi batubara akan dikendalikan maksimal sebesar 400 juta ton, kecuali kebutuhan domestik melebihi 400 juta ton.
Jika mengikuti kebijakan tersebut, katanya, pemerintah semestinya konsisten. Sembari menegakkan kewajiban pemenuhan pasokan DMO dan harga DMO untuk sektor kelistrikan pada jangka pendek, pemerintah perlu mulai membuat peta jalan mereformasi kebijakan DMO.
Dibuka
Di webinar ”Kebijakan Publik: Di Balik Kebijakan Ekspor Batubara Indonesia” yang digelar Narasi Institute, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRES) Marwan Batubara memiliki pandangan senada. Untuk kondisi sekarang, IRES berharap pemerintah tegas membuka nama-nama perusahaan tambang batubara yang tidak memenuhi kewajiban DMO per 31 Desember 2021, bukan setelah larangan ekspor dikeluarkan.
Harga DMO batubara untuk sektor kelistrikan yang sebesar 70 dollar AS per ton juga harus dipertahankan. Dengan harga itu, perusahaan tambang masih bisa untung. ”Pemerintah semestinya punya kekuatan memaksa pemenuhan kewajiban DMO, tetapi (hal itu) tidak dijalankan. Saya khawatir pernyataan pemerintah yang mencabut izin perusahaan tambang batubara karena tak patuh DMO cuma retorika. Bisa saja, pencabutan itu malah menyasar perusahaan yang sudah lama tidak melakukan eksplorasi, bukan kepada perusahaan yang lalai,” katanya.
Marwan mengatakan, masih ada PLTU bagian dari proyek nasional 35.000 megawatt (MW) yang akan selesai dibangun dua-tiga tahun mendatang. Sementara pada saat bersamaan, sesuai Perpres Rencana Umum Energi Nasional, produksi batubara setelah 2019 dikendalikan maksimal 400 juta ton. Ini berarti masih akan membutuhkan kebijakan kewajiban pemenuhan DMO batubara untuk kelistrikan.
Guna mengawal kepatuhan kewajiban pemenuhan DMO batubara sektor kelistrikan, baik secara pasokan 25 persen maupun secara harga 70 dollar AS, Marwan berpendapat masyarakat sipil harus ikut serta. Pada tahun 2018 saat harga DMO batubara sektor kelistrikan ditetapkan 70 dollar AS, dia mengatakan sempat muncul penolakan dari salah satu kementerian. Namun, aspirasi masyarakat sipil, terutama dari kalangan akademisi kuat, sehingga harga DMO tersebut tetap berjalan.
Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB University Didin S Damanhuri, yang hadir dalam webinar sama, berpendapat, sikap pemerintah mengatasi krisis pasokan batubara untuk kelistrikan akhir-akhir ini memperlihatkan ketidaktegasan dalam penegakan aturan DMO batubara. Dia melihat ada oligarki politik dan ekonomi yang cenderung memperkaya segelintir perusahaan tambang batubara. Akibatnya, masyarakat yang dirugikan.
”Sejak reformasi terjadi booming perdagangan komoditas. Semakin banyak pemain ekspor komoditas. Indonesia bisa mengalami malapetaka jika struktur ekonomi tidak sehat, tergantung ekspor, dan susah melakukan hilirisasi komoditas,” katanya.
Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyampaikan, ada 47 perusahaan tambang batubara yang sudah memenuhi kewajiban DMO 100 persen, 32 perusahaan memenuhi DMO 75-100 persen, dan 25 perusahaan memenuhi DMO 50-75 persen. Kemudian, ada 428 perusahaan tambang batubara yang sama sekali belum memenuhi kewajiban DMO. Kementerian ESDM berupaya melakukan klasifikasi.
Menurut dia, perusahaan tambang batubara yang tidak memenuhi kewajiban DMO akan diterapkan sanksi berupa denda. Denda dihitung dari selisih harga di internasional—DMO dikali volume ekspor. Kementerian ESDM juga telah meminta PLN memperbaiki sistem kontrol suplai batubara ke pembangkit listrik yang terkoneksi langsung dengan sistem kementerian.
”PLN sudah menyebutkan suplai batubara ke PLTU sudah aman. Kami bersama lintas kementerian/lembaga terus berkoordinasi agar stok batubara ke PLTU terus aman sehingga bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk rakyat dan negara,” kata Arifin.