Tarif Kereta Komuter Diusulkan Naik, Pertimbangkan Kemampuan Publik
Tarif kereta komuter diusulkan naik setelah tujuh tahun tanpa penyesuaian. Hasil survei menunjukkan peningkatan kemampuan membayar. Namun, faktor lain dinilai perlu jadi pertimbangan, seperti situasi pandemi Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah hampir tujuh tahun tanpa penyesuaian, tarif kereta komuter diwacanakan naik. Berdasarkan hasil survei dan berbagai analisis, tarif untuk 25 kilometer pertama diusulkan naik dari Rp 3.000 menjadi Rp 5.000 per orang lalu untuk 10 kilometer berikutnya tetap Rp 1.000 per orang.
Namun, meski usul kenaikan telah dilengkapi berbagai pertimbangan, termasuk besaran subsidi yang harus ditanggung pemerintah per tahun, wacana kenaikan itu dinilai belum tepat dengan kondisi saat ini. Terlebih, di masa pandemi Covid-19, kebutuhan hidup terus meningkat tidak diimbangi dengan pendapatan masyarakat.
Kajian penyesuaian tarif kereta komuter itu mengemuka dalam diskusi publik ”Pelayanan Baru dan Penyesuaian Tarif Commuter Line” yang digelar di Jakarta, Rabu (12/1/2022). Hasil survei PT Kereta Commuter Indonesia, Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA), Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menunjukkan, kenaikan tarif komuter perlu dibarengi peningkatan pelayanan yang semakin optimal.
Direktur Operasional PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Wawan Apriyawan menyatakan, selama 2016-2021, jumlah perjalanan kereta rel listrik terus meningkat, yakni dari 882 menjadi 1.005 perjalanan. Selama masa pandemi Covid-19, KCI tetap menambah layanan dan menjalankan berbagai penugasan meski volume penumpang turun dari sekitar 1 juta penumpang per hari menjadi 518.000 per hari (Januari 2022).
Pada tahun 2013, kata Wawan, tarif kereta rel listrik (KRL) ditetapkan Rp 3.000 per orang untuk lima stasiun pertama selanjutnya Rp 1.000 untuk tiga stasiun berikutnya. Lalu pada tahun 2015, tarif diubah, yakni Rp 2.000 per orang untuk 25 kilometer pertama, kemudian Rp 1.000 per orang untuk 10 kilometer berikutnya.
Pada tahun 2016, tarif naik Rp 1.000 sehingga untuk perjalanan 25 kilometer pertama menjadi Rp 3.000 dan 10 kilometer berikutnya tetap Rp 1.000 per orang, serta tarif terjauh Rp 12.000 per orang. Pada tahun 2017, besaran tarif masih sama. Hanya berbeda pada tarif terjauh, yakni menjadi Rp 13.000 per orang.
”Tahun 2021, tarifnya masih sama sebesar Rp 3.000 untuk 25 kilometer pertama dan Rp 1.000 untuk 10 kilometer berikutnya. Tahun 2019, tarif masih tetap sama, tetapi kemampuan membayar atau ability to pay (ATP) dan keinginan membayar atau willingness to pay (WTP) sudah mencapai Rp 3.500. Kemudian, tahun 2021, ATP dan WTP sudah mencapai Rp 5.000 sehingga ada gap antara tarif existing dan ATP/WTP,” ujarnya.
Baca juga: Menjaga Kereta Komuter Tetap Melaju
Pengurus KRL Mania, Gusti Raganata, mengatakan, hasil survei bisa saja menunjukkan rekomendasi kenaikan tarif tidak terelakkan dengan berbagai pertimbangan, mulai dari tidak pernah terjadi kenaikan tarif hingga perhitungan tingkat inflasi sejak tahun 2016. Namun, wacana menaikkan tarif perlu mempertimbangkan kebutuhan masyarakat karena belakangan ini harga kebutuhan pokok meningkat.
”Kenaikan kebutuhan pokok ini harus menjadi pertimbangan secara sosial ekonomi terkait rencana kenaikan tarif kereta ini. Sebab, kenaikan tarif akan berpengaruh pada pengeluaran pekerja atau masyarakat pengguna kereta setiap bulannya,” ujar Gusti.
Yustica Eka Noor Ida, penumpang Prameker Yogyakarta, menilai momentum kenaikan tarif di masa pandemi Covid-19 ini merupakan kebijakan yang tidak populis sehingga perlu menjadi pertimbangan KCI untuk pelayanan Daerah Operasional VI Yogyakarta. Wacana kenaikan sebaiknya tidak dilakukan dalam waktu dekat.
”Situasi di lintas Yogyakarta ini sangat berbeda dengan Jabodetabek. Terkait isu upah minimum provinsi (UMP), UMP di Yogyakarta saja masih di bawah Rp 2 juta. Hasil survei sederhana, misalnya, pekerja yang bekerja selama enam hari mencapai Rp 400.000 per bulan. Jika dihitung tarif parkir berlangganan sebesar Rp 240.000 per bulan sehingga total pengeluarannya Rp 640.000 per bulan, belum termasuk biaya pengeluaran bensin,” kata Ida.
Dasar penetapan tarif
Kepala Subdirektorat Penataan dan Pengembangan Jaringan Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api Direktorat Jenderal Perkeretaapian Arif Anwar mengatakan, tarif KRL Jabodetabek ini masih didasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 354 Tahun 2020, yaitu jarak 1-25 kilometer pertama Rp 3.000 dan selanjutnya per kilometer naik sebesar Rp 1.000. Sementara subsidi tahun 2017-2021 cenderung meningkat.
”Sebenarnya, tarif yang dibutuhkan oleh operator mencapai Rp 14.981 untuk memenuhi biaya operasionalnya. Namun, tarif yang dikeluarkan oleh pemerintah hanya Rp 3.000. Selisih tarif yang diberikan pemerintah sebesar Rp 11.981 per orang,” jelas Arif.
Dari data DJKA, nilai subsidi pemerintah berupa public service obligation (PSO) tahun 2017 mencapai Rp 1,26 triliun, tahun 2018 sebesar Rp 1,29 triliun, tahun 2019 mencapai Rp 1,30 triliun, tahun 2020 sebesar Rp 1,55 triliun, dan tahun 2021 sebanyak Rp 1,99 triliun.
Arif mengatakan, pemerintah memahami angkutan kereta sangat dibutuhkan masyarakat untuk menunjang perekonomian, termasuk masyarakat ekonomi lemah. Konsekuensinya, penentuan tarif harus sesuai kemampuan dan kemauan masyarakat. Jika penetapan tarif lebih rendah daripada yang dihitung oleh penyelenggara sarana perkeretapian, maka ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyubsidi dalam bentuk PSO.
Baca juga: Gerak Cepat Kereta Listrik Indonesia
Dari hasil survei dan berbagai analisa, DJKA mengusulkan penyesuaian tarif untuk 25 kilometer pertama dari Rp 3.000 dinaikkan menjadi Rp 5.000 per orang. Kemudian, tarif untuk 10 kilometer berikutnya tetap Rp 1.000 per orang. Hal ini masih berupa usulan yang perlu dipertimbangkan.
Nunuy Nurdjanah, Peneliti Madya Pusjaka Badan Litbang Perhubungan, menyebutkan, angkutan kereta masih menjadi moda transformasi pilihan, terutama bagi warga Jabodetabek. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, sebanyak 11,1 persen dari 29 juta penduduk Jabodetabek atau sekitar 3,7 juta orang adalah komuter. Kemudian 80,5 persen komuter melakukan perjalanan dengan menggunakan kereta.
Dari hasil survei, kata Nunuy, sebelum Covid-19, moda transportasi KRL menjadi pilihan masyarakat mencapai 31,0 persen, disusul sepeda motor 25,4 persen, Transjakarta 15,7 persen, ojek daring 10,8 persen, angkutan umum lainnya 8,3 persen, dan mobil pribadi 3,8 persen.
Sementara selama pandemi Covid-19, seiring berbagai kebijakan pembatasan penumpang, posisi KRL bergeser menjadi 17,8 persen. Posisi pertama ditempati sepeda motor 37,9 persen, lalu ojek daring 13,6 persen, Transjakarta 9,0 persen, mobil pribadi 5,9 persen, angkutan umum 4,0 persen, dan taksi online 3,3 persen.
Nuraini dari Badan Litbang Perhubungan menambahkan, dengan banyaknya perubahan dalam kurun waktu 4-5 tahun, ditambah inflasi dan kenaikan upah minimum provinsi (UMP), kenaikan tarif KRL tidak bisa dinaikkan begitu saja. Perlu ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, antara lain, kemampuan dan kesediaan pengguna dalam membayar tarif KRL.
Dari hasil kajian Balitbang Perhubungan, kenaikan tarif biasanya diiringi penolakan masyarakat, khususnya pengguna KRL. Dengan adanya kenaikan tarif, hal ini dapat mendorong kemandirian operator agar tidak bergantung pada PSO sehingga dapat mengurangi beban anggaran negara. Demikian juga, operator dapat menjaga keseimbangan operasional dan pelayanan sehingga mendorong operasional dalam pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Dari hasil perhitungan Balitbang Perhubungan, nilai ATP di 25 kilometer pertama diperoleh angka Rp 4.988 dan ATP di 10 kilometer berikutnya Rp 2.125. Titik potong penyesuaian tarif di 25 kilometer adalah Rp 5.400. Artinya, responden pengguna KRL masih mempunyai keinginan membayar (ATP) hingga tarif Rp 5.400 pada 25 kilometer pertama sehingga terdapat kenaikan tarif sebesar Rp 2.400 dari tarif semula.
Ketua YLKI Tulus Abadi menambahkan, dari hasil survei YLKI, dengan mendasarkan pertimbangan ATP, WTP, tingkat kepuasan pengguna, dan berbagai kelebihan pada moda transportasi komuter, PT KCI memiliki ruang untuk menaikan tarif dasar kereta sebesar Rp 2.000. Artinya, kenaikan tarif hanya pada 25 kilometer pertama menjadi Rp 5.000 per orang.
”Berdasarkan data yang ada, sebanyak 95,5 persen pengguna yang disurvei tetap akan menggunakan moda transportasi kereta meskipun tarifnya dinaikkan. Alasannya, kurangnya pilihan alternatif moda transportasi yang lebih murah,” ujar Tulus.
Baca juga: KRL Solo-Jogja, Era Baru Transportasi Antarkota di Indonesia