KRL Solo-Jogja, Era Baru Transportasi Antarkota di Indonesia
KRL Solo-Jogja menjadi jaringan kereta rel listrik kedua di Indonesia yang berada di luar wilayah Jabodetabek.
Keberadaan infrastruktur transportasi diperlukan untuk meningkatkan pembangunan dan ekonomi warga. Munculnya kereta rel listrik di luar Jabodetabek memberi harapan pemerataan pembangunan di seluruh Nusantara.
Orientasi pengembangan transportasi perkotaan melalui kereta rel listrik (KRL) terlihat dari diperluasnya cakupan kerja institusi yang menangani KRL di Indonesia. Pada 2017, pemerintah melalui PT KAI (Persero) membentuk anak perusahaan, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), yang ditugaskan menjadi operator sarana KRL. Perusahaan ini merupakan pengembangan dari PT KAI Commuter Jabodetabek.
Perubahan tersebut menandai transformasi perluasan rentang jangkauan layanan. Seiring dengan perubahan nama tersebut, layanan komuter tidak hanya di wilayah Jabodetabek, tetapi juga memproyeksikan rentang jangkauan hingga seluruh wilayah Indonesia. Perluasan jangkauan pada 2017 mulai merambah Stasiun Rangkasbitung dan Stasiun Cikarang.
Mulai Oktober 2020, PT KCI juga mengoperasikan kereta api lokal di wilayah Daop I Jakarta dan Daop VI Yogyakarta. Dalam tahap awal kereta api lokal yang dikelola KCI adalah KA Lokal Merak Jaya relasi Rangkasbitung-Merak dan KA Prambanan Ekspres relasi Kutoarjo-Yogyakarta-Solo Balapan.
Seiring selesainya pembangunan elektrifikasi jalur Yogya-Solo yang dimulai sejak 2019, PT KCI mengoperasikan KRL Yogya-Solo. Masyarakat Solo, Jogja, dan sekitarnya dapat menikmati perjalanan KRL untuk berkomuter yang mulai diuji coba 1 Februari 2021. Dalam targetnya, KRL ini resmi dioperasikan pada 10 Februari 2021.
Elektrifikasi jalur Solo-Jogja merupakan babak baru dari sejarah panjang nadi transportasi warga antardua kota ini. Dengan menambah perhentian di stasiun ”perdesaan”, hadirnya KRL diharapkan mampu mendorong geliat ekonomi warga di sekitarnya.
Teknologi elektrifikasi merupakan pemutakhiran kereta api yang untuk saat ini dapat dianggap paling wahid. Ditilik dari segi teknologi, kereta uap merupakan generasi pertama. Kemudian dilanjutkan oleh kereta diesel dan diteruskan kereta listrik pada generasi ketiga.
Secara teknis, KRL memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kereta rel diesel (KRD) dalam pengoperasiannya sebagai angkutan ulang-alik. Merujuk dari Rail Engineer, bobot KRL lebih ringan dibandingkan dengan KRD. Aspek ini memengaruhi kemampuan akselerasi kereta.
KRL dapat berakselerasi dan berhenti dengan lintasan yang lebih pendek daripada KRD. Beban KRD yang lebih berat akan sulit untuk bergerak dan berhenti. Keunggulan KRL ini menyumbang pada akumulasi waktu tempuh yang akan lebih singkat dengan lebih banyak perhentian dibandingkan denganKRD.
Bobot yang ringan juga memungkinkan KRL melaju dengan kecepatan lebih tinggi. Sebagai perbandingan, untuk menempuh Solo-Jogja, KA Prameks membutuhkan waktu tempuh 88 menit dengan enam stasiun perhentian. Kecepatan rata-rata yang dicapai 70 hingga 80 kilometer per jam.
Sementara KRL Solo-Jogja yang berhenti di 11 stasiun hanya butuh waktu tempuh 68 menit dengan jarak yang sama. Kereta listrik mampu mencapai kecepatan jelajah 90 kilometer per jam. Hal ini berdampak signifikan dari segi kemanfaatan kereta.
Dari sisi sebaran stasiun, KRL Solo-Jogja juga menawarkan konektivitas dengan kawasan-kawasan perdesaan. Sebanyak 5 dari 11 stasiun yang dilayani KRL Solo-Jogja merupakan stasiun ”perdesaan”. Lima stasiun tersebut adalah Gowok, Delanggu, Ceper, Srowot, dan Prambanan.
Sebelumnya, wilayah-wilayah tersebut tidak dilayani KA Prameks yang beroperasi di jalur Solo-Yogyakarta. KA Prameks hanya melayani Stasiun Solobalapan, Purwosari, Klaten, Maguwo, Lempuyangan, dan Yogyakarta.
Beberapa stasiun yang akan dilayani KRL juga memiliki nilai sejarah. Pada masa penjajahan Belanda, Stasiun Delanggu digunakan untuk mengangkut karung goni untuk menyuplai pabrik-pabrik gula di sekitar Keresidenan Surakarta. Demikian pula Stasiun Ceper yang juga terletak di Klaten yang dahulu memiliki percabangan jalur rel ke Pabrik Gula Ceperbaru.
Konektivitas dengan kawasan perdesaan membuat kehadiran KRL Solo-Jogja tidak semata hanya sebagai moda transportasi. Direktur Utama PT KCI Wiwik Widayanti menyampaikan, dengan adanya kereta baru, diharapkan dapat membantu peningkatan ekonomi warga, khususnya yang berada di sekitar wilayah stasiun.
PT KCI dalam proyek elektrifikasi menyasar stasiun-stasiun kecil ”perdesaan” yang sebelumnya tak terlayani. Harapannya, dengan hadirnya kemudahan transportasi, dapat meningkatkan geliat kehidupan masyarakat sekitar stasiun apa lagi di tengah kesulitan akibat pandemi.
Cikal bakal
Kereta ulang-alik Solo-Jogja sudah menjadi sandaran transportasi masyarakat sejak dibangun jalur kereta satu setengah abad silam. Pada 1 Januari 1873, dibuka jalur kereta di wilayah Vorstenlanden, daerah yang dikenal sebagai bagian dari Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta (Kompas, 28/2/2014).
Adalah Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) yang membuat jalur kereta penghubung kota kerajaan tersebut. Proyek pengerjaan rel Solo-Jogja sejatinya masih kesatuan proyek jalur kereta Semarang-Kedu-Surakarta-Yogyakarta.
Masa pembangunan jalur kereta ini berbarengan dengan kejayaan ekonomi Hindia Belanda dari hasil kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel). Muncul kebutuhan akan moda angkut yang lebih andal untuk membawa hasil perkebunan, seperti tembakau dan gula. Komoditas ekspor sering rusak di gudang lantaran tidak dapat dengan cepat dikirim ke pelabuhan.
Alasan lain pembuatan jalur kereta adalah untuk kepentingan transportasi militer. Pada fase awal ditujukan untuk mobilisasi pasukan yang ada di Benteng Militer Willem I di Ambarawa, Jawa Tengah. Jejak sejarah tersebut menunjukkan bahwa rel kereta Solo-Jogja pada mulanya tidak diniatkan untuk mengangkut penumpang.
Kereta rel listik (KRL) dapat berakselerasi dan berhenti dengan lintasan yang lebih pendek daripada kereta rel diesel (KRD).
Hingga era 1960-an, ular besi di Indonesia mayoritas masih ditarik oleh lokomotif bertenaga uap. Secara bertahap dilakukan modernisasi dengan mengimpor lokomotif atau kereta bermesin diesel.
Omar Mohtar dan Tri Wahyuning Mudaryati dalam penelitian bejudul ”Peranan Kereta Rel Diesel Kuda Putih Bagi Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Yogyakarta-Surakarta 1963-1980” merekam jejak KRD pertama di Indonesia yang melayani ulang-alik Solo-Jogja.
Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) mengimpor KRD sebanyak 8 kereta dari pabrik Glossing und Schöler GmbH bikinan Jerman pada tahun 1963. Kereta berbadan bahan stainless steel ini memiliki bentuk menyerupai bus sehingga memiliki sebutan railbus.
Oleh masyarakat kereta ini lebih dikenal dengan nama Kuda Putih karena terdapat gambar kuda putih di atas ruang masinis. Rangkaian kereta Kuda Putih terdiri atas dua kereta yang dapat memuat 50 penumpang duduk dan 10 penumpang berdiri pada setiap kereta.
Sekali angkut, KRD Kuda Putih dapat mengantar lebih kurang 120 penumpang. Pada masa baktinya, kereta ini melayani 10 perjalanan Solo-Jogja setiap harinya. Ongkos yang dikenakan sebesar Rp 80 dengan waktu tempuh lebih kurang satu jam (Kompas, 15 April 1971).
Armada Kuda Putih berangsur pensiun pada pengujung tahun 1970-an. Masa baktinya benar-benar usai pada dekade 80-an. Dalam periode 1980 hingga 1993 tidak ada kereta khusus yang melayani jalur komuter Solo-Jogja.
Generasi penerus
Barulah pada 20 Mei 1994 diluncurkan kereta Prambanan Ekspres dengan rangkaian empat kereta kelas bisnis yang ditarik lokomotif diesel. Pada perkembangan selanjutnya, jumlah rangkaian kereta Prameks terdiri atas empat hingga lima kereta.
Melihat animo masyarakat yang tinggi untuk berkomuter menggunakan kereta, Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) mengadakan rangkaian KRD pada tahun 1998. Berselang delapan tahun kemudian, PT Kereta Api Indonesia menurunkan kereta rel listrik diesel (KRDE) untuk menggantikan KRD yang sudah usang dan sering mengalami kendala teknis.
Hingga tahun 2020, rerata harian penumpang yang diangkut oleh Prameks sejumlah 10.000 orang. Pada jam-jam tertentu, terutama di waktu berangkat dan pulang kantor, jumlah penumpang yang diangkut kerap melebihi kapasitas.
Kajian Direktorat Jenderal Perkeretaapian menyebutkan, pembuatan jalur elektrifikasi di koridor Yogya-Solo berdasar analisis proyeksi penduduk yang hampir mencapai 10 juta. Dengan pertimbangan tersebut, diperkirakan pada 2021 potensi pertumbuhan penumpang kereta api jalur Yogya-Solo sebesar 5.921.890 orang penumpang. Jumlah tersebut diproyeksikan terus meningkat sebesar 29.320.769 penumpang pada 2035.
Hal ini menunjukkan bahwa KA Prameks sudah menjadi andalan masyarakat Solo dan Jogja untuk bepergian. Kendaraan umum lain yang tersedia hanya bus antarkota antarprovinsi (AKAP). Perjalanan menggunakan bus memakan waktu hingga 2 jam, sedangkan KA Prameks dapat tiba di tujuan akhir dalam waktu sekitar 1 jam saja.
Hadirnya KRL sebagai pengganti KA Prameks adalah langkah perkembangan yang signifikan. Pada akhir 2020 jaringan elektrifikasi telah rampung dibangun antara Solo dan Jogja. Nantinya jaringan juga dibangun hingga Kutoarjo. Tujuannya supaya jalur Prameks dapat sepenuhnya dilayani oleh KRL.
KRL Solo-Jogja menjadi jaringan kereta listrik kedua di Indonesia yang berada di luar wilayah Jabodetabek. Artinya, ke depan terbuka kemungkinan dibangun jaringan rel listrik antar kota di wilayah lain di penjuru Indonesia.
Seperti proyek pembukaan kembali jalur kereta mati yang menghubungkan Cibatu dan Garut di Jawa Barat. Nantinya jalur ini akan terhubung hingga wilayah DKI Jakarta.
Di Jawa Tengah mulai digagas reaktivasi jalur KA Semarang-Magelang-Yogyakarta. Tujuannya untuk mempermudah akses penumpang dan barang dari dan ke ibu kota Provinsi Jawa Tengah serta pelabuhan Tanjung Mas. Dampak yang diharapkan adalah meningkatkan geliat ekonomi dan pariwisata khususnya di kawasan Borobudur sebagai destinasi superprioritas.
Reaktivasi jalur KA selalu dilirik salah satunya karena sulit dilakukan pelebaran jalan raya. Salah satu faktornya adalah kondisi medan pegunungan atau perbukitan. Upaya revitalisasi dan pemutakhiran transportasi berbasis rel memang selayaknya terus diupayakan.
Angkutan massal yang satu ini sudah terbukti keandalannya. KRL Jabodetabek bisa jadi model dan diaplikasikan di banyak daerah di Indonesia. Semakin lancar arus mobilitas warga diharapkan meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Wisata Rakyat di Ujung Jalur Kereta