Pemerintah Bentuk Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah
Pemerintah membentuk satuan tugas guna mengawal dan mengawasi proses pengembalian dana anggota koperasi bermasalah. Delapan koperasi simpan pinjam menjadi sorotan dan diharapkan segera menyelesaikan kewajibannya.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah membentuk Satuan Tugas Penanganan Koperasi Bermasalah. Tim lintas kementerian dan lembaga ini akan mengawal dan mengawasi proses pengembalian dana anggota koperasi simpan pinjam yang telah ditempuh melalui perjanjian damai atau homologasi putusan sidang penundaan kewajiban pembayaran utang.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, secara virtual di hadapan sejumlah perwakilan lembaga hukum di Jakarta, Selasa (11/1/2022), mengatakan, selama ini pihaknya sebenarnya sudah memberikan kesempatan kepada koperasi untuk melaksanakan perjanjian damai sesuai putusan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
”Namun, dalam perkembangannya, kami memiliki kepentingan untuk melakukan pengawasan lebih sistematis untuk memastikan putusan PKPU dijalankan secara benar, karena putusan PKPU akan berlangsung antara tahun 2021 hingga 2026,” ujarnya.
Tenggat pengembalian dana anggota dinilai memiliki waktu yang sangat panjang. Sejauh ini, ternyata masih ada koperasi bermasalah yang belum memenuhi harapan anggota koperasi sesuai putusan tersebut. Selain itu, belum ada kejelasan mengenai hak-hak anggota, terutama terkait dana pengembaliannya.
Peresmian Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Koperasi Bermasalah itu antara lain dihadiri oleh Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Besar Whisnu Hermawan, Koordinator Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Rina Virawati, dan Deputi Bidang Pemberantasan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Mohamad Novian.
Selain itu, hadir pula Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi, Staf Khusus Bidang Hukum Pengawasan Koperasi dan Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM Agus Santoso selaku Ketua Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah, serta Praktisi Hukum Restrukturisasi Yudi Wibisana.
Sejak pandemi Covid-19, sedikitnya ada delapan koperasi bermasalah dalam proses pelaksanaan homologasi.
Sejak pandemi Covid-19, sedikitnya ada delapan koperasi bermasalah dalam pelaksanaan homologasi, yaitu Koperasi Simpang Pinjam (KSP) Sejahtera Bersama, KSP Indosurya, KSP Pracico Inti Sejahtera, KSP Pembiayaan Syariah Pracico Inti Utama, KSP Intidana, Koperasi Jasa Wahana Berkah Sentosa, KSP Lima Garuda, dan KSP Timur Pratama Indonesia.
”Tugas pemerintah adalah melindungi masyarakat, termasuk anggota koperasi yang bermasalah. Kami berharap, putusan PKPU yang sebenarnya sudah menjadi kesepakatan perdamaian internal dijalankan dengan benar sehingga mencapai penyelesaian dengan baik. Jadi, koperasi bisa bertahan dan, di lain sisi, kepentingan anggota yang jumlah simpanan sekecil bisa diselesaikan,” kata Teten.
Selaku Ketua Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah, Agus Santoso menyatakan, salah satu koperasi yang menjadi perhatian masyarakat adalah KSP Sejahtera Bersama.
Koordinator Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Rina Virawati menilai, pengawasan diperlukan sampai ke tingkat daerah. Sebab, koperasi-koperasi bermasalah juga dimungkinkan terjadi di daerah-daerah. ”Kami siap melakukan pendampingan hukum terlebih dulu agar proses homologasi dapat dilaksanakan dengan benar,” ujarnya.
Hasil temuan
Teten menyayangkan, dari hasil temuan sementara, beberapa koperasi bermasalah itu ternyata kurang kooperatif di dalam melaporkan perkembangan proses pelaksanaan perjanjian perdamaian kepada anggotanya. Selain itu, ditemukan masalah ketidaksesuaian waktu dan nominal pembayaran kepada anggota koperasi sesuai skema perjanjian perdamaian.
Selain itu, ditemukan pula ketidaksepakatan beberapa anggota yang tidak menyetujui perdamaian, tetapi tetap terikat dengan perjanjian perdamaian. Ada pula masalah pemanggilan oleh aparat penegak hukum terhadap anggota dan pengurus yang diduga menghambat proses perdamaian. Lalu, masalah terhambatnya proses likuidasi aset untuk keperluan pembayaran kewajiban koperasi kepada anggota karena kondisi akibat pandemi.
Berdasarkan permasalahan itu, kata Teten, dibutuhkan koordinasi dan sinergi kementerian/lembaga sebagai upaya menangani koperasi bermasalah. Sinergi ini melibatkan Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, PPATK, dan perwakilan masyarakat.
Adapun cakupan tugas satgas adalah menginventarisasi dan menilai aset oleh appraisal (penaksir) independen, baik tanah, bangunan, dan lainnya seperti piutang. Perjanjian ini, menurut Teten, pelaksanaannya akan berbasis pada resolusi aset.
Kemudian, satgas akan menganalisis hasil inventarisasi koperasi bermasalah, termasuk aspek hukum dan mengecek lokasi dan pemeriksaan koperasi bermasalah. Satgas juga diwajibkan menyusun rekomendasi penanganan koperasi bermasalah, mengawasi proses tahapan pembayaran, evaluasi, dan pelaporan.
Ruang lingkup penugasannya, antara lain, satgas merupakan tim ad hoc antarkementerian/lembaga terkait untuk mengoordinasikan langkah-langkah dengan tujuan mengutamakan pembayaran simpanan kecil para anggota koperasi. Satgas melaksanakan tugas sesuai kewenangan setiap kementerian/lembaga terkait dan berupaya untuk mengawal putusan homologasi pascaputusan PKPU.
”Di sisi lain, satgas mendorong anggota koperasi yang tidak setuju terhadap perdamaian untuk tetap mengikuti proses homologasi dan memprioritaskan pembayaran kepada anggota koperasi dengan simpanan kecil,” tegas Teten.
Satgas juga diminta memprioritaskan pembayaran berdasarkan asset based resolution dan mendorong aparat penegak hukum untuk mendahulukan proses homologasi (perdata) dan menunda proses pidana (ultimum remedium). Koperasi berbeda dengan korporasi. Penyelamatan internal badan hukum koperasi diperlukan sekaligus melindungi anggota koperasi.
Penyelamatan internal badan hukum koperasi diperlukan sekaligus melindungi anggota koperasi.
Menurut Zabadi, pemerintah memiliki kewajiban menghormati proses hukum yang berjalan. Salah satunya adalah putusan PKPU yang wajib dihormati oleh semua pihak. Pemerintah tentu tidak bisa melakukan pembekuan terhadap koperasi agar tidak melampaui putusan pengadilan.
”Kalau kemudian dibekukan, itu tentu bukan proses homologasi, tetapi lebih pada proses pailit. Kasus-kasus ini belum sampai jatuh pada proses pailit. Ini masih pada proses restrukturisasi. Proses pembekuan tidak bisa serta-merta dilakukan, kecuali ada penyimpangan yang cukup beralasan untuk dibekukan pemerintah,” ujar Zabadi.
Whisnu menambahkan, Polri siap mendukung, sejalan dengan sejumlah tugas yang ditangani Polri saat ini. Terkait penundaan proses pidana dan mengutamakan kegiatan perdamaian, seperti terjadi pada KSP Indosurya, tugas penyidikan masih berada dalam tahap satu. Artinya, berkas perkara sudah dilimpahkan ke kejaksaan, tetapi masih terdapat sejumlah perbaikan.
”Kami mendapatkan masukan dan kritik dari media dan beberapa lembaga swadaya masyarakat karena tidak melakukan penahanan dan penangkapan terhadap tersangka KSP Indosurya. Pimpinan kami dihujat dan dinilai bermain-main dengan Indosurya,” kata Whisnu.
Sejauh ini, kata Whisnu, Polri masih menghargai homologasi putusan PKPU, walaupun proses homologasi itu juga tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh tersangka KSP Indosurya. Hal ini membuat kecurigaan publik dan menjadi beban bagi kinerja Polri.