Potensi Aset Alam Besar, Tapi Pengelolaannya Belum Berkelas Dunia
Pengembangan ekowisata di Indonesia yang berjalan sejak tahun 1990-an dianggap belum punya daya saing lebih di tingkat internasional. Ada tantangan memajukan ekowisata, antara lain soal pengelola yang tumpang tindih.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wisata ekologi atau ekowisata telah berkembang 20 tahun terakhir di Tanah Air. Dalam perjalanannya sampai sekarang, baik produk maupun pasar, wisata ekologi telah mengalami perubahan.
Deputi Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) Rizki Handayani menyebutkan, produk wisata ekologi yang dulu terbatas hanya pada taman nasional, kini telah beragam. Turis sekarang menilai konsep wisata ekologi lebih menyeluruh, termasuk desa wisata.
Dia mencontohkan, Desa Wisata Nglanggeran di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa ini masih termasuk dalam kawasan Geopark Global Gunung Sewu dan menawarkan aneka atraksi yang menghidupi warga lokal, bukan hanya situs Gunung Api Purba.
Secara prinsip, ekowisata terdiri dari konservasi alam dan budaya, ekonomi berkelanjutan, dan edukasi. Prinsip-prinsip ini tidak berubah, meski produk ekowisata telah berkembang semakin luas.
Dari sisi pasar juga berubah. Dua puluh tahun lalu, turis yang berminat ekowisata biasanya terbatas pada naturalis. Kini, rata-rata generasi milenial dan Z pun menyukai ekowisata dan mereka sangat suka menekankan pada pembangunan berkelanjutan.
”Indonesia memiliki potensi besar untuk ekowisata, terutama dari sumber daya alamnya. Aset ini sangat besar, bahkan sudah dikenal luas sejak ekowisata mulai berkembang di Indonesia tahun 1990-an. Hanya, kalau saya boleh bilang, Indonesia (sampai sekarang) belum berhasil menyandang ekowisata berkelas dunia,” ujarnya seusai menghadiri pertemuan hibrida Asia Pacific Ecotourism Summit 2022 and Road To Indonesia Ecotourism Summit 2022 di Jakarta, Sabtu (8/1/2022).
Pertemuan itu untuk merayakan 20 tahun penetapan International Year of Ecotourism di Quebec, Kanada. Pada tahun 2002, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tahun 2002 sebagai Tahun Ekowisata Internasional. Pertemuan kala itu membahas pengembangan ekowisata dan tren kerusakan lingkungan akibat peningkatan pariwisata.
Salah satu tantangan ekowisata di Indonesia ada di pengelolaan. Kemenparekraf/Baparekraf menginisiasi pembuatan Rencana Aksi Nasional Ekowisata yang sekarang masih meminta masukan kementerian/lembaga lain.
Rizki menyampaikan, dalam Rencana Aksi Nasional Ekowisata akan termuat detil pemetaan potensi per wilayah, kendala, serta strategi pengelolaan menghadapi tren perubahan ekowisata. Dalam rencana aksi itu tidak akan ada subgagasan yang berisi pembentukan badan khusus pengembangan ekowisata secara nasional.
”Kementerian/lembaga yang terlibat di ekowisata banyak. Akan tetapi, komunitas lokal lebih banyak bergerak. Pembentukan badan khusus itu bukan isu, tetapi isunya sekarang bagaimana ekowisata di Indonesia bisa jadi berkelas dunia,” katanya. Menurut dia, sejauh ini, pembicaraan mengenai ekowisata lebih banyak mengarah ke destinasi di negara lain, seperti di kawasan Amerika Latin.
Manajer Program Indonesia Ecotourism Network Wita Simatupang saat dihubungi terpisah, mengatakan, di Indonesia, ekowisata sudah mulai sebelum 2002. Komunitas masyarakat di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, mengembangkannya sejak 1996 dan komunitas masyarakat di Tangkahan, Sumatera Utara, sejak 1999. Pada saat itu, mereka belum secara formal mengetahui konsep ekowisata, tetapi sudah mengelola alam untuk kebutuhan pariwisata berkelanjutan.
”Pengembangan ekowisata muncul dari banyak isu, seperti perlunya mengembalikan fungsi hutan yang hancur, hasil tangkapan ikan yang turun, dan pengentasan warga dari kemiskinan. Tidak langsung menjurus ke pariwisata,” ujarnya.
Selama dua puluh terakhir, Wita berpendapat, peran komunitas masyarakat lokal yang cenderung lebih kuat. Selain konservasi lingkungan, komunitas masyarakat pengelola ekowisata juga memikirkan bisnis pariwisata tumbuh berkelanjutan. Sebagai contoh, desa wisata Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur. Pendapatan desa wisata didiversifikasi. Salah satunya dialokasikan bagi pendidikan anak muda.
Chairperson Global Network Ecotourism Glenn Jampol menilai, semakin banyak pelaku usaha jasa pariwisata menerapkan ekowisata. Dari kalangan wisatawan, mereka juga semakin cerdas menilai pelaku usaha mana yang sekadar atau bersungguh-sungguh menerapkan prinsip ekowisata. Hasil studi Booking.com menunjukkan, 83 persen konsumen global berharap perusahaan jasa wisata yang mencatatkan laba semestinya punya dampak positif ke lingkungan dan masyarakat lokal.
Chief Knowledge Transfer and Consulting Department di Designated Areas for Sustainable Tourism Administration Thailand Pompol Noithammaraj menyebutkan, beberapa tantangan memajukan ekowisata, khususnya di Asia Tenggara. Sebagai contoh, pengelolaan suatu destinasi biasanya dilakukan beberapa kementerian dan pemerintah daerah sehingga ada tumpang tindih kebijakan. Akibatnya, penyusunan insentif fiskal atau subsidi sering lambat.
Contoh lain, persoalan skema pendanaan hijau. Ini terutama menyangkut penggunaan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) di suatu destinasi ekowisata. Meski penggunaan fasilitas itu positif, realitas menunjukkan pembangunan pembangkit listrik masih mahal.
”Tantangan lainnya berupa pembuatan laboratorium pengembangan destinasi wisata. Meski sudah marak berkembang komunitas lokal, mereka tetap butuh dukungan peningkatan kapasitas agar bisa menghasilkan produk baru. Pembuatan laboratorium pengembangan semestinya banyak disokong pemerintah daerah, tetapi realitanya belum semua terjadi,” ujar Pompol.