Industri pariwisata secara global terus dibayang-bayangi ketidakpastian. Meski proses vaksinasi Covid-19 sudah berjalan, varian baru virus korona bermunculan sehingga pembatasan perjalanan tetap berlangsung.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
The Economist dalam artikel This year may prove even worse for the tourism industry than 2020 (2/12/2021) mengibaratkan industri pariwisata sekarang ini seperti pelancong yang menatap papan keberangkatan pesawat di ruang tunggu bandara. Di papan keberangkatan pesawat itu hanya ada dua keterangan, yakni ”dibatalkan” dan ”tertunda”.
Pada awal tahun 2021, ketika vaksinasi Covid-19 mulai diluncurkan dari negara-negara maju, dunia yang kembali dipenuhi wisatawan dan pelancong bisnis menjadi asa yang menggiurkan. Kemudian, muncul varian Delta yang memaksa negara-negara kembali memperketat perbatasannya. Belum selesai dengan varian Delta yang mendatangkan malapetaka di kawasan Eropa dan Amerika, harapan industri pariwisata harus sekali lagi pupus karena ada penemuan varian Omicron. Penemuan ini semakin mendorong lebih banyak larangan perjalanan.
Sebelum pengumuman penemuan varian Omicron, Organisasi Pariwisata Dunia Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNWTO melalui laporan Barometer Pariwisata Dunia yang dirilis 28 November 2021 menyebutkan, pada Januari-September 2021 tingkat kedatangan turis internasional di seluruh dunia minus 20 persen dibandingkan dengan tahun 2020. Untuk keseluruhan tahun 2021, UNWTO memperkirakan kedatangan wisatawan mancanegara (wisman) menjadi 70-75 persen di bawah tahun 2019 atau tidak ada perbedaan dengan tahun 2020. Penerimaan dari pariwisata diperkirakan hanya 700-800 miliar dollar AS, naik tipis dibanding tahun 2020, tetapi lebih rendah dibanding tahun 2019 yang sekitar 1,7 triliun dollar AS.
Di kawasan Asia Pasifik, sesuai laporan Barometer Pariwisata Dunia dari UNWTO itu, kedatangan wisman turun 95 persen pada triwulan III-2021 dibandingkan tahun 2019. Selain belum meratanya vaksinasi Covid-19, banyak tujuan tetap ditutup untuk perjalanan-perjalanan yang dirasa tidak penting.
Mengutip laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) bertajuk ”Tourism in 2022” yang dirilis 2 Desember 2021, secara khusus di Asia Tenggara, di masa sebelum pandemi Covid-19, industri pariwisata menciptakan lebih dari 42 juta pekerjaan atau 13 persen dari total lapangan kerja. Industri ini menyumbang 12 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2020, PDB regional turun 8,4 persen akibat pertumbuhan industri pariwisata yang anjlok.
Banyak pelaku industri pariwisata terlanjur berharap ada keberuntungan pada tahun 2022 karena pemerintah mulai melonggarkan pembatasan sejak Oktober 2021 dan muncul kabar-kabar tentang inovasi baru mengatasi Covid-19. Namun, varian baru virus korona, seperti Omicron, menimbulkan ketidakpastian kembali.
Ada sebagian kalangan pelaku industri pariwisata memprediksi sektor ini mungkin baru bisa kembali ke tingkat sebelum pandemi pada 2024. Namun, kalangan lainnya menilai, tidak ada yang benar-benar bisa memastikan kapan kemuraman industri pariwisata usai.
Head of Commercial Asia Pacific Amadeus Hospitality Maria Taylor, dalam tulisan opininya di webintravel.com, mengatakan, perilaku wisatawan, termasuk perjalanan domestik, akan terpengaruh dengan ketidakpastian pandemi secara jangka panjang. Meski demikian, kebiasaan-kebiasaan mereka yang berubah dapat membuka jalan bagi munculnya normal baru pada industri pariwisata.
Tahun 2020, hasil survei Amadeus terhadap eksekutif perhotelan yang tergabung dalam The Hospitality Sales and Marketing Association International (HSMAI) menunjukkan, 33 persen dari mereka yang disurvei percaya bahwa perjalanan liburan yang lebih dekat dari rumah akan menjadi semakin lazim akibat pandemi. Wisatawan juga menginginkan pembaruan langkah-langkah yang diambil hotel di setiap fase pemulihan agar mereka dapat kepastian keamanan.
Apabila pelaku bisnis perhotelan bisa mengatasi kekhawatiran utama wisatawan itu, Maria menyarankan agar mereka mulai menawarkan pengalaman-pengalaman yang dipersonalisasi, otentik, dan berkelanjutan. Upaya ini akan memberikan keunggulan kompetitif bagi bisnis mereka sendiri.
Ekonom senior ECRD Matthias Helble dan dosen senior di Universitas Bournemouth Jaeyeon Choe dalam artikel Domestic Tourism in Southeast Asia: Opportunities and Pathways (2020), seperti dikutip dari blog Asian Development Bank, menyarankan agar pelaku industri pariwisata mengidentifikasi ceruk di niche market, seperti kelompok ekspatriat. Alternatif lainnya ialah mengembangkan pariwisata di pedesaan. Menurut studi Asian Development Bank, wisatawan domestik di Korea Selatan dan Thailand sudah mengalihkan preferensi ke daerah yang kurang padat penduduknya daripada ke kota. Desa wisata dapat berkontribusi ke diversifikasi destinasi, pengentasan rakyat miskin, melindungi sumber daya alam, dan budaya.
Otoritas Pariwisata Thailand belum lama ini telah meluncurkan penghargaan pariwisata pedesaan dan dana investasi besar untuk mendukung beragam komunitas lokal yang melestarikan seni, budaya, warisan, dan masakan. Di Indonesia, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) juga memiliki program penghargaan serupa, yaitu Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI).
Pada ADWI 2021 terdapat 50 pemenang. Mereka mendapatkan hadiah berupa dana stimulus serta diberikan akses internet gratis selama satu tahun. Selama pandemi Covid-19, kementerian berkali-kali menyebut pentingnya kembali ke desa wisata untuk menggerakkan wisatawan domestik agar pariwisata tetap bisa bertahan. Sebab, sesuai data BPS, dari Januari hingga Oktober 2021, jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia hanya mencapai 1,33 juta kunjungan atau turun 64,37 persen dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisman pada periode yang sama tahun 2020.
Salah satu kritik utama yang masih muncul adalah kecenderungan pengembangan desa wisata semata-mata berbasis proyek untuk memenuhi target kuantitas. Tak sedikit pula pengelola desa wisata yang dikritik karena cenderung membuat produk atraksi atau akomodasi mengikuti desa wisata lain. Dari sisi pemerintah, Menparekraf/Kepala Baparekraf Sandiaga S Uno mengakui, tidak semua dari 1.831 desa wisata yang terdaftar di Jejaring Desa Wisata bisa dibina. Upaya memajukannya memerlukan kolaborasi pentahelix antara kementerian/lembaga, industri swasta, perguruan tinggi, dan media.
Karena wisatawan menuntut lebih banyak tujuan wisata ke wilayah kurang padat, seperti desa, usaha kecil dan menengah (UKM) akan punya peran lebih signifikan. Mengutip dokumen Final Study Report for Post Covid-19 Recovery Plan for Asean Tourism (Canadian Trade and Investment Facility for Development dan ASEAN), salah satu rekomendasi pilar pemulihan ialah mengidentifikasi dana awal khusus dan pengembangan kapasitas ataupun pemasaran bagi UKM.
Seperti halnya tantangan apa pun, industri pariwisata akan menemukan jalan ke depan, belajar dari tantangan, dan terus menyesuaikan diri demi menemukan solusi yang lebih baik. Dimulainya kembali kedatangan wisman akan terus bergantung pada respons terkoordinasi antarnegara dalam hal pembatasan perjalanan, protokol keselamatan dan kebersihan yang selaras, serta komunikasi yang efektif untuk membantu memulihkan kepercayaan konsumen. Ini sangat penting pada saat kasus melonjak di beberapa wilayah dan varian virus korona baru muncul di berbagai belahan dunia.
Jika kini industri pariwisata diibaratkan sebagai pelancong yang menatap papan keberangkatan pesawat dan hanya ada dua keterangan, yaitu ”dibatalkan” dan ”tertunda”, situasi sekarang lebih pas dianggap sebagai kebangkitan yang tertunda. Berbagai tawaran penyesuaian yang berkembang menandakan industri pariwisata tidak benar-benar kelabu.