Faktor utama yang dapat mempersempit ruang fiskal tahun ini adalah potensi membengkaknya kebutuhan belanja. Potensi pembengkakan muncul seiring penyesuaian yang dilakukan pemerintah untuk sejumlah pos belanja anggaran.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
Ketangguhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN sepanjang tahun 2021 sulit dimungkiri. APBN 2021 telah bermanuver sehingga mampu menangkal berbagai dinamika yang mengganggu ketahanan fiskal, baik yang bersumber dari domestik hingga global.
Ketangguhan APBN 2021 ini terefleksi dari realisasi defisit anggaran sebesar Rp 783,7 triliun, atau setara dengan 4,65 persen dari produk domestik bruto (PDB). Capaian ini lebih rendah dari proyeksi defisit APBN 2021 yang sebesar 5,7 persen PDB.
Namun, seyogianya ketangguhan APBN tahun lalu tidak membuat para pemangku kebijakan ekonomi nasional terlena. Pemerintah tetaplah cermat memantau berbagai potensi gangguan ketahanan fiskal demi menjaga momentum pemulihan ekonomi.
Pada tahun 2023, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, defisit APBN harus kembali ke level di bawah 3 persen dari PDB.
Tahun 2022 telah dinyatakan sebagai tahun terakhir defisit APBN diperkenankan berada di atas 3 persen PDB. Pemerintah menargetkan tahun ini defisit APBN ada di level 4,85 persen dari PDB.
Adapun pada 2023, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, defisit APBN harus kembali ke level di bawah 3 persen dari PDB.
Walaupun realisasi defisit APBN tahun lalu lebih baik daripada target tahun ini, antrean tantangan yang berpotensi mengancam stabilitas fiskal negara pada 2022 sudah berbaris panjang.
Tantangan ini mencakup pengendalian Covid-19, terutama terkait munculnya varian baru, kerentanan pasar keuangan akibat tapering oleh berbagai bank sentral negara ekonomi besar, pelemahan nilai tukar rupiah, hingga lonjakan impor.
Faktor utama yang dapat mempersempit ruang fiskal pada tahun ini adalah potensi membengkaknya kebutuhan belanja. Potensi pembengkakan muncul seiring penyesuaian yang dilakukan pemerintah untuk sejumlah pos belanja anggaran.
Ruang manuver anggaran tahun 2022 berpotensi kian menyempit sejalan dengan kemungkinan pemerintah kembali menggenjot belanja infrastruktur yang sempat tertunda selama pandemi. Kebutuhan belanja pemerintah tentu meningkat seiring pembangunan infrastruktur yang masif.
Sementara dari sisi eksternal, terdapat sejumlah risiko yang bisa menggoyang kekokohan fiskal negara. Di antaranya adalah pengetatan stimulus moneter oleh bank sentral utama, salah satunya Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed.
Kondisi ini akan berdampak pada keluarnya modal asing sehingga melemahkan nilai tukar rupiah. Hal ini pun berimplikasi meningkatkan belanja negara dalam mata uang dollar AS.
Lantaran nilai mata uang dollar AS semakin mahal, importasi sejumlah barang bakal mencatatkan kenaikan. Pelaku usaha harus mengeluarkan lebih banyak dana dalam bertransaksi.
Situasi semakin sulit ketika realisasi substitusi impor tahun 2021 masih jauh di bawah target. Kementerian Perindustrian mencatat, sampai akhir tahun 2021, substitusi impor baru mencapai 7 persen dari target awal 22 persen.
Situasi semakin sulit ketika realisasi substitusi impor tahun 2021 masih jauh di bawah target. Kementerian Perindustrian mencatat, sampai akhir tahun 2021, substitusi impor baru mencapai 7 persen dari target awal 22 persen.
Kendati demikian, target substitusi impor sebesar 35 persen pada 2022 tetap akan dikejar pemerintah. Optimisme pengendalian ini bisa melonggarkan ruang fiskal pemerintah. Namun, jika substitusi tidak berlangsung mulus, target ini bisa berpotensi kontraproduktif dan mengganggu daya saing industri dalam negeri.
Perlu dicatat pula, meski penerimaan negara tahun 2021 melebihi target, tetapi capaian itu masih belum kembali ke level normal. Hal itu mengingat postur fiskal, khususnya penerimaan pajak 2021 ditetapkan sangat konservatif.
Sementara pada 2022, sejumlah komoditas yang beberapa waktu terakhir melonjak harganya diperkirakan kembali normal. Potensi penerimaan pajak akan lebih terbatas. Target penerimaan pajak juga tidak bisa ditumpukan pada program pengungkapan sukarela wajib pajak yang tujuan utamanya untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Bagaimanapun, realisasi APBN 2021 yang melampaui target menjadi modal penting bagi pemerintah untuk melangkah lebih jauh dalam mendorong ekonomi keluar dari krisis akibat pandemi Covid-19.
Dengan defisit lebih rendah yang didukung oleh membaiknya pendapatan negara serta optimalisasi pembiayaan anggaran, terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) tahun 2021 sebesar Rp 84,9 triliun, jauh lebih rendah dari tahun 2020 sebesar Rp 245,6 triliun.
Silpa ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kewajiban Pemerintah yang tertunda. Dengan begitu, kesehatan fiskal APBN ke depan semakin baik serta mendukung konsolidasi fiskal 2023.
Euforia atas segala capaian pada 2021 sudah cukup. Sekarang waktunya untuk menatap ke depan. Konsolidasi hanya bisa terwujud bila semua pemangku kebijakan terus bersemangat bekerja keras menjawab tantangan di tahun 2022.