Ujian Daya Lenting Manufaktur
Meski resiliensi industri teruji melewati tahun yang berat, ketidakpastian masih membayangi. Dari merebaknya varian baru Covid-19, dampak kebijakan moneter Amerika Serikat, hingga berlanjutnya disrupsi rantai pasok.
Industri pengolahan dapat dikatakan berhasil melewati lika-liku tantangan di tahun 2021 dengan baik. Namun, ujian belum berakhir. Ketidakpastian global akibat merebaknya varian baru Omicron, rencana tapering off Bank Sentral Amerika Serikat, dan gangguan pada rantai pasok, dapat kembali menguji resiliensi industri di tahun 2022.
Meski sempat terperosok pada Juli dan Agustus 2021 akibat gelombang kedua varian Delta, industri pengolahan bangkit dengan cepat. Pada September 2021, hanya sebulan setelah pemerintah melonggarkan kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat, Purchasing Managers’ Index (PMI Manufaktur) oleh IHS Markit kembali memantul ke zona ekspansif.
Data PMI Manufaktur menunjukkan, per November 2021, industri pengolahan masih berekspansi di level 53,9, melampaui negara ASEAN lainnya. Dengan ekspansi selama tiga bulan berturut-turut sejak terkontraksi sejenak itu, permintaan dan keluaran (output) produksi tercatat naik dengan laju yang pesat dan stabil.
Baca juga: Industri Manufaktur Diyakini Masih Kuat Hadapi Tekanan
Selama berbulan-bulan, dunia menghadapi disrupsi rantai pasok. Industri dalam negeri sedikit banyak ikut terdampak. Pasokan bahan baku impor di beberapa sektor tersendat akibat kelangkaan kontainer, krisis energi di sejumlah negara mitra dagang utama, ketidakpastian perkembangan Covid-19, dan gangguan lain pada rantai pasok dunia.
Namun, di tengah krisis itu, performa sektor manufaktur dalam negeri tetap terjaga, bahkan melejit. Pada triwulan III-2021, pertumbuhan sektor manufaktur melebihi pertumbuhan ekonomi nasional. Pada periode itu, sektor pengolahan tumbuh 3,68 persen, di atas pertumbuhan ekonomi 3,51 persen. Pertumbuhan tertinggi ada pada industri alat angkut (27,84 persen), industri kimia, farmasi dan obat tradisional (9,71 persen), industri logam dasar (9,52 persen), dan industri makanan dan minuman (9,52 persen).
Sepanjang Januari-Oktober 2021, industri pengolahan mencatat nilai ekspor 143,76 miliar dollar AS atau meningkat 35,53 persen dibandingkan periode yang sama di 2020. Sektor manufaktur juga memberikan kontribusi terbesar yakni 77,16 persen dari total nilai ekspor nasional Januari-Oktober 2021 yang mencapai 186,32 miliar dollar AS.
Industri pengolahan pun masih membukukan investasi pada periode Januari-September 2021 senilai Rp 236,79 triliun. Beberapa sektor, seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merasakan adanya peningkatan investasi di sektor antara (midstream), yang dapat semakin memperkuat struktur industri tekstil dalam negeri.
Penentu
Setidaknya, ada tiga faktor yang menjadi faktor penentu daya lenting manufaktur di 2021. Pertama, keputusan pemerintah memberlakukan Izin Operasional Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI). Kebijakan itu mengatur bahwa perusahaan industri tetap bisa melakukan kegiatan terbatas di tengah pandemi dengan protokol kesehatan yang ketat.
Kebijakan ini berbeda dari sejumlah negara lain yang tegas menutup kegiatan industrinya ketika terjadi ledakan kasus. Di satu sisi, kebijakan ini menghadapi tantangan dari sisi penerapan dan monitoring. Di tengah lonjakan kasus, masih ditemukan pabrik yang melanggar IOMKI dan memaksakan beroperasi 100 persen. Kluster industri pun marak ditemukan. Pekerja jatuh sakit dan virus tersebar semakin jauh ke lingkungan tempat tinggal.
Baca juga: Melambat Sejenak
Namun, pelaku industri dari sejumlah sektor memandang, kebijakan inilah yang membuat industri pengolahan mampu bertahan selama digempur varian Delta. Dengan tetap bisa beroperasi, meski secara terbatas, industri tidak harus membatalkan kontrak dan kehilangan pasar, khususnya ekspor.
Kedua, kebijakan diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) sebesar 100 persen untuk kendaraan bermotor jenis tertentu. Penjualan mobil meningkat signifikan sejak kebijakan ini mulai diterapkan pada Maret 2021. Efek kebijakan ini juga berdampak ke sektor lain di rantai pasok pendukung industri otomotif yang luas.
Faktor ketiga bersifat eksternal, yakni disrupsi rantai pasok dunia yang sudah berlangsung berbulan-bulan. Bagi industri hulu dan antara dalam negeri, krisis ini menjadi berkah tersembunyi. Suplai bahan baku impor yang terhambat membuat industri hilir berpaling ke produsen lokal untuk memenuhi kebutuhan bahan baku. Investasi di sektor hulu dan antara bertambah, utilisasi industri juga naik.
Baca juga: Perbaikan Kinerja Industri Masih Dibayangi Problem Rantai Pasok
Tahun 2022, dengan catatan pandemi tetap terkendali, industri pengolahan diperkirakan akan melanjutkan ekspansinya. Jika momen libur akhir Natal 2021 dan Tahun Baru 2022 bisa dilewati tanpa ledakan kasus baru, tren permintaan dalam negeri yang menguat akan menggerakkan beberapa sektor seperti tekstil, makanan dan minuman, alas kaki, otomotif, yang sempat terdampak akibat berbagai kebijakan pembatasan mobilitas saat pandemi.
Tahun depan, dengan catatan pandemi tetap terkendali, industri pengolahan diperkirakan akan melanjutkan ekspansinya.
Investasi di sejumlah sektor juga diperkirakan meningkat di tengah kebijakan hilirisasi tambang yang sedang digencarkan pemerintah dan upaya mengejar pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik, khususnya baterai listrik.
Ketidakpastian
Meski daya lenting sektor manufaktur sudah teruji melewati tahun yang berat, ketidakpastian masih membayangi. Faktor utamanya tentu pandemi yang belum usai, terutama setelah merebaknya varian baru Omicron. Galur baru ini sudah masuk ke Indonesia dan di level global menyebabkan lonjakan kasus yang tinggi. Beberapa negara terpaksa kembali memberlakukan kuncitara (lockdown) di akhir 2021.
Selain faktor utama itu, industri manufaktur juga dihantui sejumlah ujian baru di tahun 2022. Rencana Bank Sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed) untuk melakukan tapering off atau mengurangi stimulus moneternya di tengah kondisi ekonomi yang mulai membaik berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah.
Kondisi ini akan memberatkan industri yang bergantung pada bahan baku impor, khususnya yang berorientasi pasar domestik. Imbasnya bisa merambat pada beban biaya produksi yang bertambah, bahkan bisa pula menekan daya saing ekspor.
Baca juga: Stagflasi dan Disrupsi Rantai Pasok
Terlebih, potensi dampak tapering off ini terjadi ketika kenaikan harga bahan baku dan penolong memang sudah menjadi problem utama industri di 2021. Pasokan bahan baku industri terhambat akibat krisis multifaktor, dari kelangkaan kontainer, krisis energi, dan ketidakpastian pandemi.
Terlebih, potensi dampak tapering off ini terjadi ketika kenaikan harga bahan baku dan penolong memang sudah menjadi problem utama industri tahun ini.
Per November 2021, IHS Markit mencatat, harga input produksi meningkat dengan laju inflasi paling cepat dalam delapan bulan terakhir. Biaya produksi dan biaya logistik yang melejit itu akhirnya berakibat pada renegosiasi kontrak pembelian serta kenaikan harga produk akhir ke konsumen.
Krisis rantai pasok diperkirakan belum akan berakhir sampai setidaknya tahun 2023. Per akhir 2021, harga pengiriman kargo (freight cost) untuk ekspor masih melonjak drastis hingga ratusan persen, dan domestik puluhan persen. Sejumlah pelaku industri mulai was-was jika krisis ini berkepanjangan, ditambah dengan potensi pelemahan nilai tukar rupiah akibat aksi The Fed.
Memasuki tahun 2022, berbagai ketidakpastian itu perlu diantisipasi. Tren pertumbuhan industri yang melaju di 2021 jangan sampai menjadi sia-sia akibat kebijakan antisipasi varian Omicron yang setengah hati. Belajar dari pengalaman selama pandemi ini, terlalu cepat berpuas diri dan lengah akan membawa petaka.
Tren pertumbuhan industri yang melaju pesat tahun ini jangan sampai menjadi sia-sia akibat kebijakan antisipasi varian Omicron yang setengah hati.
Dalam jangka panjang, penguatan struktur industri dalam negeri yang terukur diperlukan untuk secara bertahap mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor, tanpa bersikap protektif dan menutup diri. Krisis rantai pasok yang kini menjadi berkah tersembunyi bagi industri hulu dan antara perlu dijadikan momentum untuk berbenah.
Selain penguatan struktur industri dalam negeri, diversifikasi rantai pasok juga menjadi faktor penting agar industri tidak hanya bergantung pada segelintir pemasok bahan baku dan penolong. Sebab, tidak menutup kemungkinan, akan ada disrupsi-disrupsi yang lain lagi di kemudian hari. Saat itu terjadi, semoga kita sudah lebih siap.