Realisasi defisit APBN 2021 tercatat sebesar Rp 783,7 triliun, setara dengan 4,65 persen PDB. Capaian ini jauh lebih rendah dari proyeksi semula yang sebesar 5,7 persen dari PDB.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2021 tercatat lebih rendah dari proyeksi semula. Kondisi ini terjadi salah satunya karena meningkatnya penerimaan negara seiring melonjaknya harga sejumlah komoditas ekspor Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi defisit APBN 2021 tercatat sebesar Rp 783,7 triliun, atau setara dengan 4,65 persen dari produk domestik bruto (PDB). Capaian ini lebih rendah dari proyeksi defisit APBN 2021 yang sebesar 5,7 persen PDB.
”Adanya varian Delta telah menyebabkan kontraksi penerimaan di triwulan ketiga 2021. Untungnya, kenaikan harga komoditas di pasar global membuat Indonesia mendapatkan windfall yang menambah pemasukan untuk membantu pemulihan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTA, Senin (3/1/2022).
Adanya varian Delta telah menyebabkan kontraksi penerimaan di triwulan ketiga 2021. Untungnya kenaikan harga komoditas di pasar global membuat Indonesia mendapatkan windfall yang menambah pemasukan untuk membantu pemulihan. (Sri Mulyani)
Pendapatan negara per Desember 2021 sebesar Rp 2.003,1 triliun dan belanja negara Rp 2.786,8 triliun. Jika dibandingkan dengan posisi Desember 2020, pendapatan negara tercatat naik 21,6 persen dan belanja negara naik 7,4 persen.
Sri Mulyani menuturkan, seluruh pos penerimaan telah melewati target sejak pekan ketiga Desember 2021. Adapun anggaran belanja negara tetap difokuskan pada aspek-aspek paling penting dalam pemulihan ekonomi.
Dalam APBN 2022, defisit anggaran diproyeksikan sebesar 4,8 persen dari PDB. Adapun pada 2023, defisit anggaran diharapkan bisa kembali di bawah 3 persen dari PDB.
Proyeksi defisit APBN 2022 tersebut belum mempertimbangkan penerapan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang berpotensi memberikan tambahan penerimaan dan program pemulihan ekonomi tahun 2021 yang berdampak positif di berbagai sektor.
”Pemerintah akan terus bekerja makin baik untuk memulihkan ekonomi Indonesia pada tahun 2022. Peran kebijakan fiskal masih sangat penting, terutama di masa pasca pandemi Covid-19,” kata Sri Mulyani.
Pengungkapan sukarela
Kebijakan fiskal lainnya yang diyakini akan mendorong penerimaan negara tahun ini adalah implementasi program pengungkapan sukarela wajib pajak yang dimulai sejak 1 Januari hingga 30 Juni 2022.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan hingga pukul 15.00 Senin, tercatat sudah ada 326 wajib pajak yang mengikuti program pengungkapan sukarela. Adapun dalam dua hari pertama program ini berjalan, negara telah berhasil meraup Rp 21,99 miliar berupa Pajak Penghasilan (PPh) dari Rp 169,61 miliar harta yang diungkap.
”Strategi untuk menggenjot penerimaan pajak tahun ini, kita akan kawal program pengungkapan sukarela dan berupaya agar masyarakat dapat mengetahui adanya program ini. Kita juga akan siapkan infrastruktur penunjang,” ujarnya.
Realisasi penerimaan pajak hingga 31 Desember 2021 sebesar Rp 1.277,5 triliun atau 103,9 persen dari target penerimaan pajak dalam APBN 2021 sebesar Rp 1.229,6 triliun.
Pencapaian tahun 2021 yang melampaui target, lanjutnya, akan menjadi landasan untuk mengejar target penerimaan pajak 2022. Suryo menekankan ketidakpastian risiko pandemi Covid-19 di tahun ini masih membayangi. Meski demikian, penerimaan negara harus tetap optimal agar defisit APBN bisa diperkecil.
”Direktorat Jenderal Pajak menyisir kembali yang telah terjadi di 2021 untuk mempersiapkan diri menjalani 2022. Kinerja dan strategi yang sudah baik akan dilanjutkan di 2022, kinerja dan strategi yang kurang baik akan diperbaiki dan jika perlu diganti,” ujarnya.
Pertumbuhan ekonomi
Terkait pertumbuhan ekonomi, Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 3,7 persen pada 2021, dengan catatan pertumbuhan pada triwulan IV-2021 dapat mencapai 5 persen.
Capaian tersebut, lanjutnya, merupakan hasil optimal dari kerja keras semua pihak mengingat pada triwulan I-2021, pertumbuhan negatif masih terjadi. ”Kemudian adanya varian Delta Covid-19 juga menyebabkan perlambatan pertumbuhan pada triwulan III-2021,” ujarnya.
Sementara itu, dalam keterangan resminya, Vice President Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani memperkirakan perekonomian Indonesia hingga akhir tahun akan tumbuh sebesar 3,69 persen.
Proyeksi ini lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi awal yang dikeluarkan Bank Mandiri pada awal tahun, yaitu sebesar 4,43 persen. Revisi disebabkan oleh terjadinya kenaikan kasus Covid-19 akibat varian Delta, pada Juni-Juli 2021.
”Kenaikan kasus Covid-19 adalah faktor yang menekan pertumbuhan ekonomi nasional maupun provinsi, khususnya pada triwulan III-2021,” kata Dendi.