Antara Kesehatan dan Keselamatan Penerbangan
Pandemi Covid-19 menjadi tantangan bagi industri penerbangan. Selain harus aman, penerbangan saat ini juga harus sehat.
Selama hampir dua tahun pandemi Covid-19 bercokol di Tanah Air, higienitas telah menjadi aspek penting dalam sektor transportasi, terlebih pada moda angkutan menggunakan pesawat terbang. Di tengah kondisi yang berat tersebut, industri aviasi Indonesia membuktikan sebagai salah satu yang memiliki komitmen tinggi terhadap keamanan kesehatan penerbangan.
Boleh dibilang angin segar. Sepanjang tahun 2021, saat pandemi Covid-19 sempat merangsek masuk begitu dalam hingga banyak pasien yang terpapar virus, bahkan nyawanya terenggut tak berdaya, penghargaan dunia internasional berdatangan untuk Indonesia.
Kabar menggembirakan itu antara lain diperoleh maskapai Garuda Indonesia dan Citilink. Akhir Juni lalu, Garuda berhasil meraih Predikat Peringkat Bintang Lima sebagai maskapai yang aman terhadap Covid-19 dari Skytrax, sebuah lembaga pemeringkatan penerbangan global independen yang berbasis di Inggris. Peringkat tertinggi ini merupakan pertama kalinya diperoleh maskapai penerbangan di Asia Tenggara terkait pencegahan penyebaran Covid-19.
Dalam pencapaiannya, laman resmi Skytrax menempatkan Garuda di jajaran peraih bintang lima bersama sejumlah maskapai lainnya, yaitu Japan Airlines, Ana All Nipon dan Korean Air (Asia), Fiji Airways (Australia/Pasifik), Air Baltic (Eropa) serta Qatar Airways dan Oman Airways (Timur Tengah).
Predikat tersebut diraih berdasarkan pada proses audit pada bulan Juni 2021. Penilaian mencakup keseluruhan aspek keselamatan penerbangan dan penerapan protokol kesehatan oleh maskapai penerbangan, terutama pemberian pelayanan terbaik selama masa pandemi Covid-19. Penilaian dilakukan mulai dari tahapan pre, in, hingga post flight, seperti kebersihan pesawat, informasi mengenai Covid-19, penerapan jaga jarak, ketersediaan hand sanitizer, penyesuaian servis makanan, dan berbagai aspek penunjang lainnya.
Citilink seolah tak ingin ketinggalan. Setelah itu, Citilink pun meraih predikat bintang lima sebagai maskapai penerbangan aman Covid-19. Skytrax menobatkan Citilink sebagai penerbangan tarif rendah atau LCC kedua di dunia yang menerima predikat bintang lima, setelah Scoot (Singapore Airline Group), sekaligus menjadi salah satu dari 15 maskapai di dunia yang berhasil memperoleh predikat ini.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam penyampaian apresiasinya menyebutkan, penilaian tertinggi ini membuktikan adanya penerapan protokol kesehatan terbaik dalam layanan penerbangan di tengah situasi pandemi.
Tak berhenti sampai di situ, dari sisi bandar udara, Bandara Soekarno-Hatta kembali naik peringkat sebagai salah satu bandara terbaik di dunia. Bahkan, selain mendapatkan penghargaan bandara terbaik pada masa pandemi Covid-19, bandara internasional ini juga meraih penghargaan staf bandara terbaik di Asia dan juga menempati posisi terbaik dalam jumlah penumpang.
Penghargaan Bandara Terbaik Dunia 2021 yang diberikan Skytrax itu diperoleh PT Angkasa Pura II (Persero) di Jakarta, awal Agustus 2021. Skytrax World Airport Awards 2021 merupakan ajang kelas dunia yang memberikan penghargaan berdasarkan survei dengan responden yang berasal lebih dari 100 negara.
Kenaikan peringkat World’s Best Airport terhadap Bandara Soekarno-Hatta melanjutkan tren positif dalam lima tahun terakhir seiring dengan transformasi digital yang dijalankan perseroan sejak tahun 2016. Sejak menjalankan transformasi digital, peringkat Bandara Soekarno-Hatta cenderung naik.
Tahun 2017, Bandara Soekarno-Hatta masih berada di peringkat ke-44. Kemudian, tahun 2018 sempat turun satu peringkat menjadi posisi ke-45. Namun, tahun 2019 melonjak drastis menempati peringkat ke-40 dan tahun 2020 kembali naik ke peringkat ke-35. Di tengah situasi yang penuh tantangan akibat pandemi Covid-19, Bandara Soekarno-Hatta pada tahun 2021 kembali naik satu peringkat menjadi posisi ke-34.
Baca juga: Menjawab Tantangan Bisnis Penerbangan
Pencabutan larangan
Angin segar berikutnya bagi industri penerbangan nasional adalah pencabutan larangan beroperasi pesawat Boeing 737-8 (737Max) di Indonesia oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan setelah melalui serangkaian proses investigasi dan perbaikan pada sistem pesawat bersangkutan.
Dirjen Perhubungan Udara Novie Riyanto menyatakan, ”Kami telah melakukan koordinasi dengan otoritas dan operator penerbangan dari berbagai dunia, khususnya ASEAN. Hingga saat ini, beberapa negara telah mengizinkan kembali pengoperasian pesawat 737Max. Mengikuti perkembangan itu, Direktorat Jendaral Perhubungan Udara juga tengah melakukan persiapan untuk menerbitkan surat pencabutan larangan beroperasi bagi pesawat 737Max.”
Tentu, Kemenhub tak ingin gegabah dalam menerbitkan kebijakan. Evaluasi teknis telah dilakukan terhadap perubahan desain flight control dan evaluasi beban kerja pilot untuk pesawat Boeing 737Max, di Simulator Boeing Flight Services, yang bertempat di Singapura.
Kegiatan itu dihadiri perwakilan Otoritas Penerbangan Sipil Amerika Serikat (FAA) di Singapura, Otoritas Penerbangan Sipil Singapura (CAAS), Boeing, dan juga dihadiri secara virtual oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, FAA dan Boeing Seattle. Selama proses evaluasi, dilaksanakan penyamaan persepsi, terutama untuk perubahan desain flight control dan dilakukan juga uji terbang, menggunakan simulator Boeing 737Max.
Ditjen Perhubungan Udara juga berkoordinasi dengan operator penerbangan untuk menyiapkan pengoperasian kembali pesawat 737Max baik dari sisi aturan maupun teknis. Beberapa hal perlu dipersiapkan di antaranya penerbitan dan pelaksanaan perintah kelaik-udaraan sesuai dengan ketentuan FAA, persiapan pelatihan dan pelaksanaan simulator untuk pilot, serta pedoman teknis 737Max dari Boeing.
Komitmen tinggi
Tak hanya aspek kesehatan, otoritas juga tetap menunjukkan komitmen tinggi terhadap keselamatan penerbangan. Buktinya, baru-baru ini Ditjen Perhubungan Udara menyampaikan surat teguran kepada PT GMF Aero Asia dan PT Citilink terkait Perpanjangan Masa Berlaku Minimun Equipment List (MEL) Category B dan C.
Surat teguran itu merupakan bentuk tindakan korektif dari hasil pengawasan yang dilaksanakan sesuai dengan program yang telah dibuat dan prosedur standar yang telah ditetapkan dengan mengacu kepada peraturan penerbangan sipil dunia.
Menanggapi surat dari Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Kementerian Perhubungan Nomor A4-402/8/3/DKPPU-202–perihal Surat Teguran dan Status ACL D95–GMF dan Citilink telah mengapresiasi perhatian DKPPU untuk senantiasa memastikan kelaik-udaraan pesawat terbang dan lalu lintas udara yang aman. Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak 2020 telah memberi dampak bagi industri aviasi, baik domestik maupun global.
Baca juga: Industri Penerbangan, antara Memberi Infus atau Menutup Buku
Hal ini memberi implikasi terhadap pelaku-pelaku industri di dalamnya, baik operator, MRO (maintenance, repair, and overhaul), maupun supplier di hampir seluruh aspek, termasuk di antaranya kondisi finansial, manajemen rantai pasok, produksi suku cadang yang tersendat dan pengapalannya.
Di tengah kondisi yang menantang tersebut, GMF dan Citilink berupaya senantiasa menomorsatukan aspek keselamatan dan keamanan penerbangan, termasuk patuh dalam mengikuti seluruh peraturan yang telah ditetapkan oleh regulator mengenai kriteria airworthiness pesawat ketika akan beroperasi.
VP Corporate Secretary and CSR Citilink Diah Suryani mengatakan, ”Seiring dengan menggeliatnya kembali dunia penerbangan saat ini, Citilink selalu mengedepankan faktor keselamatan dan kenyamanan penumpang. Untuk itu, kami terus berkoordinasi erat dan mempercayakan seluruh pemeliharaan pesawat kepada GMF sebagai penyedia jasa pemeliharaan pesawat untuk bersama-sama memastikan seluruh pesawat Citilink yang dalam pemeliharaan memenuhi standar keselamatan penerbangan yang telah ditetapkan.”
Hal senada diungkapkan VP Corporate Secretary and Legal GMF Rian Fajar Isnaeni yang menyatakan, pihaknya telah memastikan bahwa seluruh pesawat pelanggan, dalam hal ini Citilink, yang dirilis telah dinyatakan laik terbang.
”GMF telah memenuhi requirements sebagaimana tercantum dalam dokumen minimum equipment list (MEL) milik operator, yakni Citilink, yang telah dikeluarkan oleh pabrikan pesawat terbang dan disetujui oleh otoritas setempat,” kata Rian.
Sejak bulan Oktober lalu, GMF telah berupaya melakukan penyelesaian atas concern dan temuan DKPPU. GMF telah melakukan sejumlah langkah korektif, antara lain melakukan peninjauan, pemetaan, dan identifikasi hold item list (HIL), yakni daftar perintah kerja yang ditangguhkan karena part atau equipment tidak ada atau tidak bisa digunakan.
Namun, hal itu dinilai tidak mengurangi keamanan dan kelaikudaraan pada pesawat. Tidak hanya itu, GMF juga membentuk tim khusus untuk penuntasan HIL secara periodik sesuai dengan prosedur dan regulasi yang berlaku.
Menurut Rian, GMF juga telah menjalin koordinasi dan negosiasi dengan pemasok untuk mendukung kesiapan pemenuhan kebutuhan suku cadang, khususnya di tengah adanya peningkatan kebutuhan suku cadang yang dipicu oleh geliat dan optimisme industri aviasi saat ini.
Tak hanya ”terbang sehat”, ”terbang aman” juga harus terus menjadi komitmen bersama ke depan.