Setelah Bijih Nikel, 2022 Pemerintah Bakal Larang Ekspor Bauksit Mentah
Setelah menghentikan ekspor bijih besi, pemerintah merencanakan untuk menyetop ekspor bauksit mentah mulai akhir tahun 2022.
Oleh
Saiful Rijal Yunus dan Nina Susilo
·5 menit baca
KONAWE, KOMPAS — Pemerintah akan melanjutkan hilirisasi industri dan menghentikan ekspor bahan mentah. Setelah menghentikan ekspor bijih nikel, pemerintah juga akan menyetop ekspor bauksit mentah pada akhir tahun depan.
Presiden Joko Widodo menegaskan, pilihan untuk menerapkan hilirisasi industri memberikan manfaat sangat luas. Nilai ekspor produk bisa meningkat belasan kali lipat. Selain membuka lapangan kerja yang sangat banyak, industri juga memberikan pendapatan berupa pajak kepada negara maupun devisa. Peluang bagi pelaku usaha kecil menengah di sekitar industri juga menjadi lebih terbuka.
”Manfaatnya lari ke mana-mana. Karena itu, kita akan lanjut stop bauksit, lalu tembaga, emas, dan timah,” tutur Presiden Joko Widodo saat meninjau lokasi penempatan bijih nikel yang akan diolah di PT Virtue Dragon Nickel Industrial Park Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin (27/12/2021). Peninjauan juga dilakukan di Iron Making Plant PT Obsidian Stainless Steel di kawasan PT Virtue Dragon Nickel Industrial Park.
Sebelumnya, Presiden Jokowi meresmikan PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) dari Konawe, Sultra. Peresmian ditandai peleburan nikel secara simbolik dan penandatanganan prasasti. Perusahaan smelter nikel ini berlokasi di Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Hadir pula dalam peresmian ini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, serta Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit. Selain itu, hadir pula Gubernur Sultra Ali Mazi, Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura, Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa, dan Bupati Morowali Utara Yopie Morya Immanuel Patiro
Pada saat peresmian, Presiden juga menjelaskan bahwa puluhan tahun mengekspor bahan mentah, tak ada nilai tambah yang diperoleh. Dengan adanya hilirisasi, salah satunya dengan membangun smelter pengolahan nikel menjadi feronikel, nilai tambah yang didapat mencapai 14 kali lipat. Pengolahan nikel menjadi billet stainless steel bahkan bisa menaikkan nilai tambah sampai 19 kali lipat.
”Tadi Menko Perekonomian memperkirakan ekspor nikel kita melompat menjadi 20,8 miliar dollar AS. Biasanya kalau hanya ekspor nikel mentah, hanya 1 atau 2 miliar dollar AS saja,” tutur Presiden.
Penghentian ekspor bahan mentah tak hanya berlaku pada nikel. Indonesia juga akan menghentikan ekspor bauksit mentah.
Presiden Jokowi juga mengingatkan, penghentian ekspor bahan mentah tak hanya berlaku pada nikel. Indonesia juga akan menghentikan ekspor bauksit mentah. Karenanya, pemerintah membuka pintu kepada investor yang akan membangun industri bauksit.
Untuk itu, Presiden mengingatkan pemerintah daerah menjaga iklim investasi tetap kondusif. Harapannya, nilai tambah yang diinginkan betul-betul terwujud. ”Berikan perusahaan keamanan untuk menjalankan usaha sehingga bisa meningkatkan nilai investasi di masa datang,” tuturnya.
Sejauh ini, perusahaan peleburan nikel yang disambangi Presiden mempekerjakan 27.000 tenaga kerja. Adapun kapasitas produksinya mencapai 1,8 juta ton per tahun.
Percepatan hilirisasi industri
Direktur Utama PT Gunbuster Nickel Industry Wisma Bharuna menyampaikan komitmen untuk mendorong percepatan hilirisasi industri sebagai upaya memberikan nilai tambah pada komoditas mineral di Indonesia. Smelter PT GNI siap memulai produksi dengan total investasi sekitar Rp 42,9 triliun.
”Salah satu smelter kami yang telah siap memulai produksi dan akan diresmikan pada hari ini oleh Bapak Presiden Joko Widodo adalah PT Gunbuster Nickel Industry, yang berlokasi di kawasan industri terpadu seluas 1.907 Hektar, dilengkapi fasilitas pelabuhan, yang saat ini sedang kami kembangkan di Kabupaten Morowali Utara,” ujar Bharuna dalam keterangan persnya.
Keberadaan kawasan industri tersebut, tutur Bharuna, bertujuan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Hal ini karena industri smelter dapat menciptakan banyak lapangan pekerjaan, meningkatkan devisa negara atas ekspor produk olahan smelter, memberikan kontribusi pajak kepada negara, menciptakan efek turunan di wilayah terkait, hingga transfer pengetahuan.
Di kawasan industri ini, PT GNI akan mengoperasikan 24 smelter, yang mengadopsi teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKIF). Smelter GNI mengolah bijih nikel menjadi feronikel dengan kadar 10 persen hingga 12 persen. Smelter ini memiliki kapasitas produksi sebesar 1,8 juta ton feronikel per tahun sehingga membutuhkan suplai nikel sebesar 21.600.000 WMT per tahun. Produksi smelter ini berada di antara produksi dua perusahaan ”saudaranya” di Konawe, yakni PT VDNI, mampu memproduksi 1 juta ton feronikel per tahun dan PT OSS sebanyak 3 juta ton feronikel per tahun.
Dari keberadaan kawasan industri di Morowali Utara, sejak tahap pembangunan konstruksi hingga saat ini PT GNI telah menyerap sekitar 5.200 tenaga kerja lokal. Jumlah itu dipastikan akan terus bertambah demi tercapainya adaptasi model bisnis, teknologi, dan transfer pengetahuan di Indonesia.
”Saat ini, sebanyak 5.200 tenaga kerja telah masuk di perusahaan. Dan jika berjalan keseluruhan akan menyerap sekitar 60.000 tenaga kerja, dengan lebih dari 90 persen kebutuhan tenaga kerja Indonesia, yang tentunya akan menempati posisi pekerjaan seluruh lapisan hingga tenaga manajerial di smelter,” lanjut Bharuna.
Dihubungi terpisah, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsu Anam menyampaikan, pembangunan kawasan industri dan smelter skala besar di Sulawesi menunjukkan peran sentral nikel di wilayah ini. Bahan mineral ini menjadi primadona untuk daerah, negara, hingga investasi asing.
Akan tetapi, ia menyampaikan, industri dan smelter baru langkah pertama pengolahan nikel. Pemerintah harus terus mendorong adanya produk akhir atau barang jadi dari pengolahan sebelumnya.
”Produk turunan, baik untuk bahan baja nirkarat rumah tangga, nickel powder, baterai, atau industri otomotif, harus terus digaungkan untuk dibuat di daerah. Karena dengan adanya industri turunan ini, daerah bisa meraup kesempatan dan manfaat yang lebih besar,” tuturnya.
Industri smelter, tutur Syamsu, merupakan tahap Pertama yang hany memberikan efek kecil bagi daerah. Sebab, dengan industri padat modal, hanya sebagian kecil pelaku usaha yang akan terserap di dalamnya. Tenaga kerja juga terbatas di pabrik tersebut.
Akan tetapi, jika terus dikembangkan, sektor industri lainnya akan tumbuh dan berdampak luas. Mulai dari tenaga kerja, perumahan, logistik, hingga pariwisata.
”Dan Kendari sangat potensial untuk menjadi kawasan industri baru yang mendukung pengolahan produk turunan tersebut. Wilayah ini memiliki infrastruktur, dekat dengan smelter, dan sumber daya lainnya. Pemerintah daerah, dalam hal ini Gubernur Sultra, harus pandai melihat dan memanfaatkan peluang yang ada untuk kemajuan daerah dan masyarakat setempat,” kata Syamsu.
Bharuna saat mendampingi Presiden Jokowi di lokasi penempatan nikel ore menambahkan, ke depan diharapkan hilirisasi menghasilkan produk jadi dan produk turunannya. Bukan hanya stainless steel yang diproduksi, tetapi sampai produk turunan seperti sendok, panci, dan lainnya.
Hal ini diyakini bisa dilakukan kendati memerlukan alih teknologi metalurgi. ”Ini lapangan kerja yang kaya untuk anak-anak kita,” ujarnya.