Penurunan Emisi Telah Menjadi Tuntutan Dunia Usaha
Perubahan iklim menuntut respons dari banyak pihak, termasuk dunia usaha. Isu penggunaan energi bersih dan keberlanjutan menjadi tuntutan lantaran peta pasar yang berubah.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan emisi di dunia usaha tidak lagi sekadar opsi, tetapi telah menjadi tuntutan yang harus direalisasikan. Selain sebagai bentuk mitigasi terhadap perubahan iklim, target penurunan emisi di dunia usaha menjadi respons terhadap kebutuhan pasar demi keberlanjutan usaha.
Hal itu mengemuka dalam Kompas Talk bertajuk ”COP26 Response: Power Up The New Energy”, Selasa (14/12/2021). Hadir sebagai pembicara Vice President Director and Group CEO Indika Energy Azis Armand, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Silverio Oscar, serta Research Coordinator Institute for Essential Services Reform (IESR) Pamela Simamora.
Menurut Pamela, telah terjadi perubahan kondisi pasar di dunia usaha yang dikaitkan dengan isu perubahan iklim. Jejak karbon atau penggunaan sumber energi bersih telah menjadi pesyaratan. Dari sisi investor, sejumlah lembaga keuangan tidak lagi memberikan dukungan terhadap bisnis yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.
”Upaya mencapai nol emisi semakin hari bukan lagi menjadi opsi, melainkan tuntutan yang harus dilakukan dunia usaha. Dunia sudah berubah, perusahaan keuangan, seperti bank, tidak mau lagi mendanai perusahaan yang berkontribusi pada energi kotor,” ujar Pamela.
Dalam sebuah riset yang dilakukan IESR, lanjut Pamela, kalangan dunia usaha bersepakat bahwa isi Perjanjian Paris 2015 untuk menahan kenaikan suhu bumi tidak melewati 1,5 derajat celsius harus diwujudkan. Dunia usaha pun harus memiliki target penurunan emisi di internal setiap perusahaan. Namun, ada masalah dalam realisasinya.
Dari sisi investor, sejumlah lembaga keuangan tidak lagi memberikan dukungan terhadap bisnis yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.
”Kesadaran untuk mencapai nol emisi di dunia usaha ini sudah ada. Namun, belum semuanya berubah untuk berkomitmen penuh untuk melakukan itu. Dari 30 perusahana yang kami teliti, baru enam perusahana yang memiliki target penurunan emisi,” ucap Pamela.
Terkait dengan target penurunan emisi di dunia usaha, menurut Azis Armand, selain mendukung program mitigasi terhadap perubahan iklim, dari sisi bisnis juga lebih menguntungkan. Bahan bakar minyak dalam operasi Indika berkontribusi sebesar 30 persen dari biaya produksi. Biaya tersebut bisa ditekan dengan substitusi ke sumber energi yang lebih bersih, misalnya tenaga surya.
”Tak hanya itu, target emisi nol bersih di dunia usaha juga sebagai bentuk respons terhadap keinginan pasar. Pasar saat ini lebih menginginkan produk-produk yang dihasilkan dari industri yang menggunakan sumber energi bersih,” kata Azis.
Oleh karena itu, lanjut Azis, dunia usaha dan pelaku industri harus berbenah untuk menjaga kelangsungan bisnisnya. Indika, sebagai perusahaan yang salah satu lini usahanya bergerak di sektor tambang batubara, juga mulai mendiversifikasi usahanya lewat pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Indika ia sebut mulai merumuskan kembali aset perusahaan dan mengurangi operasional lini usaha yang berkontribusi besar terhadap produksi emisi gas rumah kaca.
Silverio menambahkan, dunia usaha perlu segera mengubah bisnisnya dengan pendekatan lingkungan berkelanjutan. Sebab, pasar pun akan makin selektif dan hanya memilih produk dari perusahaan yang menjalankan prinsip lingkungan berkelanjutan atau nol emisi.
Pasar saat ini lebih menginginkan produk-produk yang dihasilkan dari industri yang menggunakan sumber energi bersih.
Menurut dia, dunia usaha bisa belajar dari produsen mobil listrik asal Amerika Serikat, Tesla. Saat ini, Tesla sangat berkibar dari sisi penjualan unit mobilnya maupun valuasi saham pasarnya. “Kenapa Tesla bisa seperti itu? Karena diasumsikan sebagai perusahaan yang sustainable. Perusahaan yang punya kontribusi untuk mengurangi dampak karbon dioksida,” ujarnya.
Sebagai bentuk respon terhadap perubahan pasar, Kadin di masa pengurusan yang baru, membentuk bidang yang khusus menangani isu lingkungan hidup dan kehutanan. Bidang ini, salah satu tugasnya, berperan untuk menumbuhkan kesadaran bagi pelaku industri dan dunia usaha untuk mendukung target pencapaian nol emisi.
“Kadin juga memiliki apa yang disebut net zero emission hub yang merupakan wadah atau tim yang disiapkan oleh Kadin yang bertugas untuk membantu perusahaan-perusahaan untuk mulai menerapkan target emisi nol di perusahaannya,” kata Silverio.
Kolaborasi dan inovasi
Azis menyebut bahwa proses transisi energi, yaitu meninggalkan energi fosil dan berganti ke sumber energi yang bersih dan terbarukan tidaklah mudah. Dibutuhkan investasi yang luar biasa besar untuk menjalankan transisi tersebut. Oleh karena itu, ia memandang perlunya kolaborasi antarpemangku kepentingan, baik itu pemerintah, swasta, maupun lembaga non-pemerintah.
“Transisi energi membutuhkan kolaborasi dari semua pemangku kepentingan. Tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Itu kunci keberhasilannya,” ucap Azis.
Silverio menambahkan, transisi energi sebaiknya tidak dijadikan beban atau hambatan bagi sektor industri. Sebaliknya, transisi energi adalah peluang baru bagi dunia usaha untuk menjaga keberlangsungan bisnisnya. Apalagi, Indonesia memiliki potensi melimpah dalam hal sumber energi terbarukan.
Selain kolaborasi, menurut Pamela, dibutuhkan inovasi strategis untuk mempercepat capaian target emisi nol bersih di Indonesia. Rencana pemerintah untuk mempercepat penghentian operasi sejumlah pembangkit listrik tenaga uap yang membakar batubara ia anggap sebagai salah satu dari inovasi tersebut.