Perbaikan Kinerja Industri Masih Dibayangi Problem Rantai Pasok
Disrupsi rantai pasok global masih mengganggu kinerja industri di tengah permintaan dan produksi yang mulai membaik. Namun, krisis ini juga membawa momentum untuk memperkuat struktur industri dalam negeri.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah permintaan dan produksi yang membaik, pelaku industri masih berkutat dengan krisis rantai pasok yang terjadi di skala global. Namun, meski membawa ketidakpastian, gangguan rantai pasok yang sudah berlangsung berbulan-bulan itu membawa berkah tersembunyi bagi industri hulu dan antara.
Data Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur oleh IHS Markit menunjukkan, per November 2021, industri pengolahan terus berekspansi di level 53,9. Dengan ekspansi selama tiga bulan berturut-turut itu, permintaan dan output produksi tercatat naik dengan laju pesat dan stabil.
Namun, perbaikan itu masih dibayangi gangguan rantai pasok. Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie mengatakan, meski permintaan dan produksi mulai meningkat seiring dengan terkendalinya penularan Covid-19 di dalam negeri, krisis rantai pasok global sampai saat ini masih mengganggu kinerja industri.
Krisis rantai pasok akibat kelangkaan kontainer dan krisis energi global itu meningkatkan biaya logistik, membuat harga pengiriman kargo (freight cost) melonjak drastis. Dampaknya, beberapa industri yang berorientasi ekspor terkendala pasokan bahan baku impor.
”Bahan baku masih tersendat. Meski sekarang industri manufaktur China mulai pulih lagi setelah krisis energi, Vietnam juga kembali pulih setelah sempat lockdown, tetapi proses antrean masih panjang karena kontainer masih langka. Ini masih jadi isu yang mengganggu kinerja industri,” katanya, Minggu (12/12/2021).
Pelaku industri juga kesulitan mengekspor produk akibat biaya logistik yang meningkat pesat hingga ratusan persen. Hal ini salah satunya dikeluhkan oleh pelaku industri makanan-minuman (mamin).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan, biaya angkut kontainer domestik naik sekitar 30 persen, sementara untuk ekspor naik hingga 300-500 persen. Akibat berat menanggung biaya logistik yang tinggi, beberapa industri terpaksa menegosiasikan ulang kontrak.
”Ini susah diatasi karena urusannya dengan sistem global. Semakin jauh (jarak pengiriman), semakin tinggi harga kargonya, jauh di atas harga barang yang diekspor. Akhirnya, banyak industri tidak bisa memenuhi kontrak. Untuk sekarang ini, pembeli masih bisa mengerti, tetapi kalau berlama-lama, kita bisa kehilangan pasar,” tuturnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan, industri tidak punya pilihan selain menaikkan harga jual barang ke konsumen. ”Sekarang lama antreannya sudah lebih bisa diprediksi, tetapi harga kargonya masih naik tiga kali lipat. Kita tidak ada pilihan lain, harga barang juga ikut naik,” katanya.
Berkah tersembunyi
Kendati demikian, di sisi lain, krisis rantai pasok ini juga menjadi berkah tersembunyi bagi industri hulu dan antara (intermediate). Fajar mengatakan, akibat pasokan impor bahan baku terhambat, sejumlah industri hilir akhirnya berpaling pada industri lokal untuk memenuhi kebutuhan bahan baku.
”Sebenarnya sepanjang triwulan III-2021 ini, kelangkaan kontainer justru membantu suplai lokal. Karena kita susah mengharap impor, suplai bahan baku dari lokal lumayan bisa menggantikan. Yang sekarang jadi kekhawatiran, kalau sampai mesin industri terganggu dan butuh sparepart karena untuk itu tidak bisa kita penuhi dari dalam,” ujar Fajar.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menilai, momen krisis ini harus bisa dipakai sebagai peluang mendorong kinerja industri bahan baku dalam negeri.
Saat ini, utilisasi industri serat poliester meningkat menjadi 85 persen dan serat rayon 90 persen. Sebelum pandemi, utilisasi kedua sektor itu paling tinggi hanya 75 persen. ”Selama ini, integrasi struktur industri kita buruk karena terlalu tergantung pada impor. Dengan kondisi seperti ini, industri di hilir terpaksa harus bergantung pada lokal,” katanya.
Untuk sekarang, bahan baku lokal di sektor tekstil dan garmen masih lebih banyak diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri domestik, bukan yang berorientasi ekspor. Itu karena industri berorientasi ekspor mempunyai spesifikasi bahan baku tertentu yang belum bisa dipenuhi dari dalam negeri.
”Tren kain untuk ekspor selalu berubah dan untuk memenuhinya kita harus konsisten develop. Tetapi, kita belum punya kemampuan, karena sudah 10 tahun terakhir ini kita ditinggalkan, selama ini impor lebih menguasai, jadi dipikir, untuk apa develop? Ini yang sekarang harus dibenahi,” kata Redma.
Kepala Center of Trade, Industry and Investment Institute for Development of Economics and Finance Andry Satrio Nugroho mengatakan, industri bahan baku di hulu dan antara perlu dibenahi secara konsisten agar bisa memenuhi kualitas dan spesifikasi yang diperlukan industri.
Dengan demikian, meski kelak krisis rantai pasok berlalu, suplai bahan baku lokal tetap berdaya saing untuk dipakai di industri berorientasi ekspor. ”Ini butuh waktu karena ketergantungan kita pada impor bahan baku adalah problem struktural. Krisis ini bisa jadi momentum, asal kita bisa memperbaiki daya saing dan menekan harga bahan baku lokal,” katanya.