Industri kelapa sawit berkelanjutan akan terus digaungkan untuk menghalau kampanye negatif terkait minyak sawit. Indonesia dan Malaysia menguasai 85 persen pasar minyak sawit dunia.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dan Malaysia yang tergabung dalam Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit atau CPOPC sepakat menerapkan strategi untuk menghadapi kampanye negatif oleh pasar di Eropa terkait minyak kelapa sawit. Salah satu strategi yang digulirkan adalah kampanye produk kelapa sawit berkelanjutan.
Hal itu mengemuka dalam Pertemuan Tingkat Menteri Ke-9 CPOPC yang dihadiri Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia Datuk Zuraida Kamaruddin di Jakarta, Sabtu (4/12/2021). Pertemuan itu juga disaksikan secara virtual oleh Wakil Menteri Pertanian Kolombia Juan Gonzalo Botero, Menteri Pertanian dan Peternakan Papua Niugini John Simon, Wakil Menteri Pertanian dan Peternakan Honduras David Ernesto Wainwright, serta Komisioner Tinggi Ghana untuk Malaysia Akua S Ahenkorah.
Airlangga mengemukakan, CPOPC saat ini beranggotakan Indonesia dan Malaysia yang menguasai 85 persen pasar minyak kelapa sawit dunia. Rencana bergabungnya empat negara yang saat ini berstatus negara pengamat untuk menjadi anggota tetap CPOPC, yakni Kolombia, Papua Niugini, Honduras, dan Ghana, dinilai akan memperkuat penguasaan pasar minyak kelapa sawit di dunia menjadi 92 persen, serta kampanye kelapa sawit berkelanjutan.
Kontribusi pasar minyak kelapa sawit mencapai 35-40 persen dari total pasar minyak nabati dunia. Tahun 2021, nilai ekspor minyak kelapa sawit diperkirakan mencapai 29 miliar dollar AS, meningkat 155 persen dibandingkan tahun lalu. Guna mewujudkan industri kelapa sawit berkelanjutan, Indonesia kini dalam proses finalisasi sertifikasi rantai pasok minyak sawit hilir.
Rencana bergabungnya empat negara yang saat ini berstatus negara pengamat untuk menjadi anggota tetap CPOPC, yakni Kolombia, Papua Niugini, Honduras, dan Ghana, dinilai akan memperkuat penguasaan pasar minyak kelapa sawit di dunia menjadi 92 persen, serta kampanye kelapa sawit berkelanjutan.
Saat ini, CPOPC fokus pada minyak kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan makanan. Ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa terus meningkat walau ada upaya beberapa negara produsen untuk mengeluarkan kelapa sawit dari produk mereka. Namun, CPOPC akan terus mengampanyekan minyak kelapa sawit berkelanjutan dan menugaskan beberapa konsultan publik di Eropa.
Selain itu, CPOPC mengadopsi kerangka prinsip global untuk minyak kelapa sawit berkelanjutan dengan melibatkan kemitraan internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk percontohan pengembangan minyak nabati yang berkelanjutan. Ini sejalan dengan program prioritas untuk meningkatkan penerimaan minyak kelapa sawit secara global, termasuk oleh produsen minyak nabati lainnya.
”CPOPC terus melakukan kampanye advokasi global berdasarkan kajian ilmiah dan bukti agar minyak sawit yang berkelanjutan ini bisa dipahami oleh sejumlah negara, terutama untuk menghadapi kampanye-kampanye negatif yang dilakukan oleh sejumlah negara lain,” kata Airlangga.
Adapun terkait penggunaan sawit untuk bahan bakar biodiesel, Indonesia sudah merespons dengan mengembangkan solar B-30. Solar ini mengandung campuran biodiesel sebanyak 30 persen, sedangkan Malaysia mengembangkan solar B-10. Selain itu, penggunaan biodiesel berbasis minyak nabati dari negara-negara lain mendorong permintaan biodiesel dan membantu harmonisasi harga biodiesel berbasis minyak sawit.
CPOPc mengadopsi kerangka prinsip global untuk minyak kelapa sawit berkelanjutan dengan melibatkan kemitraan internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk percontohan pengembangan minyak nabati yang berkelanjutan.
Keketuaan G-20 Indonesia 2022 dinilai akan menjadi peluang bagi CPOPC untuk mengampanyekan kepentingan negara-negara produsen minyak sawit di tingkat global. Salah satu misi yang akan didorong adalah pemberdayaan kehidupan petani sawit di sejumlah negara untuk mencapai mencapai standar keberlanjutan sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s).
Datuk Zuraida menambahkan, Indonesia dan Malaysia sebagai produsen utama kelapa sawit dunia harus bersinergi dan memperkuat aksi yang harmonis dan senada untuk memudahkan dalam menangani isu kampanye negatif dari negara-negara Barat. Pasar sawit global harus bisa dilanjutkan dengan cara-cara yang lestari dan memberikan produk yang lebih berkualitas.
”Kita harus menangkis persepsi-persepsi yang kurang tepat dan banyaknya asumsi tanpa data yang akurat,” ujar Zuraida.
Zuraida mengatakan, Malaysia telah menandatangani protokol 29 Organisasi Buruh Internasional (ILO) terkait penghapusan kerja paksa. Perkara kerja paksa di industri sawit kerap dituduhkan pada Indonesia dan Malaysia. Hal itu dinilai tidak benar dan pihaknya sudah bersepakat dengan Indonesia bahwa pekerja-pekerja akan lebih dilindungi dengan sistem yang lebih protektif sehingga tidak disalahgunakan.