Pemerintah Optimalkan Peran Perbankan untuk Pembiayaan Rendah Karbon
Pemenuhan target emisi pada 2030 sesuai dengan target dan komitmen yang telah ditetapkan pemerintah membutuhkan biaya sekitar 250 miliar dollar AS atau Rp 3.603 triliun. Perbankan perlu turut mendukung transisi ini.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah berupaya untuk mendorong optimalisasi peran perbankan dalam menyalurkan pembiayaan yang mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon. Upaya tersebut ini dengan prioritas Indonesia selaku Presidensi G-20 ialah mengembangkan sumber pembiayaan yang mendukung negara berkembang dalam memitigasi perubahan iklim.
Dalam keterangan tertulis yang disampaikan akhir pekan ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, Indonesia melalui Penentuan Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contributions/NDC) berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen.
Salah satu hal utama yang harus dilakukan adalah optimalisasi peran perbankan domestik dalam melakukan penyaluran pembiayaan guna mempercepat transisi ekonomi melalui ekonomi rendah karbon.
Oleh karena itu, lanjutnya, diperlukan berbagai kegiatan untuk mendorong aksi mitigasi, tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari swasta dan masyarakat ataupun dari sumber-sumber pembiayaan global.
”Dalam hal ini, salah satu hal utama yang harus dilakukan adalah optimalisasi peran perbankan domestik dalam melakukan penyaluran pembiayaan guna mempercepat transisi ekonomi melalui ekonomi rendah karbon,” kata Airlangga.
Untuk memenuhi target angka penurunan emisi karbon, sektor energi ditargetkan menyumbang penurunan emisi sebesar 314 juta ton karbon dioksida ekuivalen. Sementara sektor kehutanan dapat menurunkan emisi sebesar 497 juta ton karbon dioksida ekuivalen pada 2030.
Pemenuhan target emisi pada 2030 sesuai NDC yang telah ditetapkan pemerintah membutuhkan biaya sekitar 250 miliar dollar AS atau setara Rp 3.603 triliun.
Percepatan transisi tersebut, antara lain, dapat dicapai melalui perbankan yang secara agresif membiayai proyek-proyek hijau ataupun pembangunan yang berkelanjutan. Berikutnya, dengan fasilitasi perdagangan karbon, baik perdagangan karbon di dalam negeri maupun dengan luar negeri.
Airlangga mengingatkan, perdagangan karbon perlu dilakukan secara transparan agar informasi yang ada bersifat simetris. Dengan begitu, variasi dari harga karbon tidak berbeda jauh. Selain itu, juga mendorong penerbitan green bond atas upaya konservasi sumber daya alam.
Salah satu skema yang didorong pemerintah untuk pembiayaan hijau adalah dengan menggunakan green sukuk. Pemerintah telah menerbitkan green sukuk di pasar global dengan nilai total penerbitan pada 2020 mencapai 2,5 miliar dollar AS (Rp 36,03 triliun).
Selain itu, beberapa mekanisme lain adalah melalui gabungan dana-dana global yang ditujukan untuk pengelolaan lingkungan hidup melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup. Di samping itu, terdapat program Platform Blended Finance yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) untuk melibatkan para filantropis global, lembaga internasional, serta investor lainnya.
Sebelumnya dalam pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi perubahan iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, awal November ini, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyampaikan, OJK turut mendukung upaya pemerintah menuju pengembangan ekonomi hijau.
”OJK memegang komitmen jangka panjang untuk memastikan kelancaran transisi menuju ekonomi rendah karbon. OJK terus mendukung komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Perjanjian Paris serta langkah negara untuk mencapai tujuan net zero emission,” kata Wimboh melalui keterangan tertulis.
OJK terus mendukung komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Perjanjian Paris serta langkah negara untuk mencapai tujuan net zero emission.
Menurut dia, tingginya biaya transisi ke ekonomi rendah karbon membawa tantangan dalam mempercepat implementasi pembiayaan berkelanjutan di negara berkembang. Risiko perubahan iklim tersebut harus diperlakukan sebagai prioritas tinggi dan perlu dikurangi dengan upaya kolaboratif semua pemangku kepentingan.
Berdasarkan data OJK, nilai pembiayaan berkelanjutan di Indonesia telah mencapai 55,9 miliar dollar AS (Rp 809,75 triliun). Adapun penerbitan green bond di pasar domestik tercatat 35,12 juta dollar AS (Rp 500 miliar) atau 0,01 persen dari total outstanding penerbitan obligasi.
Sementara itu, global sustainability bond yang diterbitkan oleh emiten Indonesia telah mencapai lebih dari 2,22 miliar dollar AS (Rp 31,6 triliun), sedangkan portofolio blended finance telah mendapatkan komitmen sebesar 2,46 miliar dollar AS (Rp 35,6 triliun).
Di sektor perbankan, lanjut Wimboh, total pinjaman terkait dengan keuangan berkelanjutan tercatat sebesar 55,9 miliar dollar AS (Rp 809,75 triliun). Hampir 50 persen bank di Indonesia yang mewakili 91 persen dari total aset pasar perbankan Indonesia menunjukkan komitmen yang meningkat dalam menerapkan keuangan berkelanjutan. Hal ini diukur dari Laporan Keberlanjutan mereka.
Wimboh menyampaikan, komitmen OJK dalam mengakselerasi keuangan berkelanjutan telah diwujudkan dalam penerbitan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan pada 2015-2019 dan dilanjutkan untuk tahap kedua pada 2020 hingga 2024.
”Sasarannya adalah mendukung percepatan keuangan berkelanjutan, peningkatan pasokan dan permintaan dana dan instrumen keuangan yang ramah lingkungan, serta penguatan pengawasan dan koordinasi dalam penerapan keuangan berkelanjutan di Indonesia,” kata Wimboh.