Pemenuhan Kebutuhan Pendanaan Pembangkit Listrik EBT Dilematis
Upaya memenuhi kebutuhan pendanaan untuk pembangunan proyek pembangkit listrik energi baru dan terbarukan berbenturan dengan pencarian pendanaan untuk mematikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan membutuhkan investasi sekitar Rp 195 triliun atau 13,6 miliar dollar AS per tahun untuk mencapai target tahun 2050. Saat ini, realisasi investasinya baru berkisar 2,4 miliar dollar AS per tahun. Untuk mengejar pemenuhan kebutuhan pendanaan tersebut, tidak mudah. Sementara, saat bersamaan, Indonesia butuh dana sekitar Rp 3.500 triliun untuk memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap 5,5 gigawatt pada 2040.
Associate Director Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia Tiza Mafira menyampaikan data tersebut saat menghadiri diskusi publik ”Transisi Energi untuk Menghentikan Krisis Iklim: Jangan Sekadar Lip Service” yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Greenpeace, Selasa (23/11/2021), di Jakarta. Data tersebut bersumber dari presentasi pemerintah, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan, serta diolah oleh CPI Indonesia.
Mengutip Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional, kapasitas proyek pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) tahun 2025 sebesar 45,2 gigawatt (GW) dan target tahun 2050 mencapai 167,7 GW. Sementara kapasitas proyek pembangkit listrik berbasis energi fosil tahun 2050 ditargetkan menjadi 275,4 GW.
”Rencana pemerintah memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebesar 5,5 GW di 2040 perlu disandingkan dengan proyek PLTU yang sedang berjalan atau akan commercial operation date (COD). Sesuai Rencana Usaha Umum Penyediaan Tenaga Listrik atau RUPTL 2021-2030 akan ada PLTU yang COD sebesar 13,8 GW. Kami memaknainya, kebutuhan investasi EBT belum terpenuhi, tetapi dukungan pendanaan yang proyek batubara masih terus berjalan,” ujar Tiza.
Dia menyampaikan pula bahwa dalam struktur APBN, subsidi energi fosil berkontribusi 9 persen terhadap total anggaran sejak 2015. Namun, alokasi anggaran untuk aksi mengatasi masalah perubahan iklim hanya berkisar 6 persen terhadap total anggaran sejak 2016.
Tiza mengapresiasi beberapa kebijakan pemerintah mengurangi permintaan dari PLTU, seperti tidak memberikan izin baru, pensiun dini batubara, dan memahalkan PLTU melalui penetapan pajak perdagangan karbon. Akan tetapi, pemerintah belum tegas mau mengurangi suplai batubara, masih memberikan subsidi PLTU batubara, dan belum mengalihkan subsidi listrik menjadi subsidi langsung.
”Kemudian, kabarnya sudah ada kebijakan pemerintah memberikan kemudahan investasi sampai meningkatkan permintaan EBT, tetapi realisasinya masih dipertanyakan,” katanya.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya menilai ada beberapa sumber kontraksi. Sebagai contoh, konflik kepentingan di antara pengambil kebijakan kunci dengan PLTU. Contoh lain, pembiayaan proyek pembangkit listrik EBT cenderung dilepas ke swasta.
”Padahal, kunci utamanya adalah kepemimpinan pemerintah atau government driven policies,” kata Tata.
Peta jalan
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana menyampaikan, berdasarkan revaluasi aset PLN pada akhir 2015, usia PLTU PLN yang telah beroperasi sejak saat itu diperpanjang 30-40 tahun sehingga waktu pensiun secara alamiah adalah 2046-2056. Phasing out atau mematikan PLTU PLN sebelum tahun 2030 memerlukan kajian lebih lanjut karena terdapat isu revaluasi aset PLN.
Salah satu hal yang sedang dipersiapkan untuk phasing out PLTU adalah payung hukum yang akan berupa peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Dia menegaskan, adanya payung hukum tersebut akan membuat pelaksanaan berkesinambungan hingga selesai.
Substansi penting dalam pembahasan rencana regulasi itu adalah juga menyasar PLTU wilayah non-usaha PLN dan PLTU untuk kepentingan sendiri harus ikut phasing out. Lalu, PLTU dari pengembang listrik swasta (IPP) hanya boleh beroperasi sampai berakhirnya kontrak jual beli listrik dan tidak dapat diperpanjang. Tidak ada penambahan baru PLTU sehingga pemerintah akan memblokir sistem pengajuan izinnya di platform sistem perizinan berusaha secara elektronik (OSS).
Rida menyampaikan, pemerintah telah memiliki peta jalan karbon netral 2021-2060. Substansi kebijakan di dalamnya disusun per lima tahun, tetapi bisa berubah mengikuti dinamika transisi energi fosil ke EBT. Beberapa isi strategis dalam peta jalan mencakup, antara lain, penerbitan peraturan presiden tentang pemensiunan PLTU, pemanfaatan hidrogen, peningkatan porsi EBT, dan COD pembangkit listrik tenaga nuklir.
”Rencana phasing out PLTU berjalan secara alamiah atau sesuai kontrak. Namun, rencana itu, kan, ada dalam peta jalan karbon netral 2021-2060 yang sudah kami tegaskan akan sangat dinamis. Jadi, rencana phasing out PLTU dapat berubah kapan saja jika ada kebijakan percepatan dan realisasi kucuran pendanaannya, bukan sekadar komitmen (investor) di atas kertas,” tuturnya.
Rida menegaskan, pemerintah menghormati kontrak PLTU. Dia membenarkan, Pemerintah Indonesia terbuka kepada pihak yang mau mendukung pendanaan percepatan pensiun dini PLTU, baik investor swasta maupun lembaga donor. Sejauh ini, kata dia, baru Bank Pembangunan Asia (ADB) yang menyatakan tawaran membantu pendanaan pensiun dini PLTU di Indonesia.