Pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan dinilai membutuhkan kebijakan yang setara dengan pembangkit energi fosil. Kesetaraan diyakni bakal berdampak positif pada investasi dan tarif listrik.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Percepatan pembangunan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan dinilai tidak bisa hanya mengandalkan anggaran negara. Namun, upaya melibatkan investor swasta menghadapi hambatan, antara lain terkait perizinan serta kesetaraan dalam kebijakan.
”Pada pertemuan pemimpin negara G-20 atau COP 26 di Glasgow, beberapa waktu lalu, kita hanya berkutat membicarakan skenario global terkait transisi energi. Tahun lalu pun pembicaraannya sama. Belum ketemu jurus/skema atau peta jalan yang pas untuk mempercepat realisasi pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT),” kata Presiden Joko Widodo saat membuka pameran dan konvensi Indonesia Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi ConEx 2021, di Jakarta, Senin (22/11/2021).
Presiden menambahkan, Indonesia memiliki potensi EBT yang bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik, antara lain dari tenaga angin, surya, hidro, dan panas bumi. Namun, butuh biaya lebih besar untuk membangunnya. Artinya, harga listrik dari pembangkit EBT lebih mahal.
”Tidak mungkin solusinya (pendanaan) dari negara atau membebankan harga listrik EBT yang tinggi ke warga untuk membiayai pembangunan pembangkit listrik EBT,” kata Presiden.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), selama 5 tahun terakhir penambahan kapasitas pembangkit berbasis EBT sebesar 1.469 megawatt (MW) dengan kenaikan rata-rata 4 persen per tahun. Tambahan kapasitas EBT sepanjang Januari-September 2021 mencapai 386 MW, antara lain dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso Peaker (130 MW), minihidro (71,26 MW), panas bumi (55 MW), surya atap (17,88 MW), dan bioenergi (19,5 MW).
Sebelumnya, Presiden meminta kementerian/lembaga, khususnya Kementerian ESDM dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, untuk menyusun skema percepatan pembangunan serta kalkulasi kebutuhan pembiayaan. Dengan kejelasan kebutuhan pembiayaan, akan ketahuan kesenjangan dana yang harus digelontorkan untuk membangun pembangkit listrik EBT sampai penetapan harga listrik ke masyarakat.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 menargetkan tambahan pembangkit 40.600 MW hingga 10 tahun mendatang. Energi terbarukan mendapatkan porsi 51,6 persen dibandingkan energi fosil.
Guna mencapai target itu, pihaknya mengeluarkan beberapa kebijakan, seperti penyederhanaan izin pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dan pengaturan ulang net metering atau skema yang memungkinkan untuk menyuplai kelebihan listrik yang diproduksi PLTS atap ke jaringan PLN.
Dukungan regulasi
Hingga triwulan III-2021, realisasi investasi EBT mencapai 1,12 miliar dollar AS. Sebanyak 49 persen di antaranya berasal dari panas bumi. Kementerian ESDM menargetkan realisasi investasi EBT sampai akhir 2021 menjadi 1,44 miliar dollar AS.
Arifin menambahkan, bersamaan dengan penyelenggaraan Indonesia EBTKE ConEx 2021, diselenggarakan Renewable Energy Investment Day. Dalam acara ini akan diumumkan 21 proyek EBT, pabrik biodiesel, empat kontrak perjanjian investasi EBT, dan pengumuman pembangkit listrik EBT bagian dari RUPTL 2021-2030.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma yang hadir saat bersamaan meyakini potensi EBT Indonesia menarik investor. Namun, pemerintah sampai sekarang belum menetapkan rancangan undang-undang EBT dan peraturan harga listrik dari pembangkit EBT. Padahal, kedua hal ini amat ditunggu investor untuk merealisasikan investasi pembangkit EBT di Indonesia. ”RUU EBT harus segera dibahas dan diselesaikan,” ujarnya.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo saat dihubungi terpisah menyatakan, berdasarkan biaya total pembangkit listrik seumur hidup dibagi total listrik yang dibangkitkan (levelized cost of electricity/LCOE) yang dihitung IESR tahun 2019, biaya pembangkit listrik EBT sudah setara dengan pembangkit listrik berbasis energi fosil. Penghitungan ini memasukkan biaya teknologi, tetapi pengaruh lain, seperti regulasi atau persepsi risiko dari investor/lembaga pembiayaan, belum dimasukkan.
Biaya investasi awal pembangkit listrik EBT di Indonesia masih besar. Persepsi risiko menjadi faktor yang sangat memengaruhi total biaya. Persepsi risiko itu antara lain meliputi dukungan regulasi, target energi terbarukan, dan bukti keberhasilan proyek.
Di sisi lain, pembangkit listrik berbasis energi fosil masih mendapat insentif sehingga harga listrik ke masyarakat lebih rendah. Contoh insentif itu adalah jaminan jual beli listrik yang memberikan kepastian listrik akan dibeli Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Skala keekonomian proyek pembangkit listrik juga memengaruhi tarif listrik ke masyarakat. Semakin besar skala proyek, semakin rendah biaya modal per kilowatt listrik terpasang. Sejauh ini, tidak banyak proyek pembangkit listrik EBT berskala besar. ”Jadi, kesenjangan tarif listrik antara pembangkit listrik berbasis EBT dan pembangkit listrik energi fosil, salah satunya, bisa diatasi jika pemerintah menciptakan kesetaraan perlakuan,” ujarnya.