Cerita Sampah Masker Kita
Sampah masker sekali pakai telah menjadi persoalan lingkungan. Penelitian daur ulang di dalam ataupun luar negeri terus dilakukan sembari terus mendorong warga lebih bertanggung jawab memperlakukan masker sekali pakai.
Pandemi Covid-19 yang tak kunjung selesai menyisakan persoalan serius mengenai sampah masker sekali pakai. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Frontiers of Environmental Science and Engineering memperkirakan, manusia menggunakan 129 miliar masker sekali pakai setiap bulan di seluruh dunia. Pemakaian rata-rata masker sekali pakai sekitar 2,8 juta per menit.
Di Indonesia sendiri, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sampah masker telah mencapai lebih dari 3 juta ton dan terus bertambah setiap harinya.
Di lingkup fasilitas layanan kesehatan dikenal empat cara mengolah sampah medis berupa masker dan alat pelindung diri. The Conversation menyebutkan potong-potong buang, depo transit, metode penguapan atau autoklaf, serta pembakaran atau insinerasi. Keempat cara itu memiliki keunggulan, kelemahan, dan tantangan penerapan di Indonesia.
Sampai sejauh ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengarahkan agar masyarakat mengoptimalkan ketersediaan dengan meminimalkan kebutuhan, memastikan alat pelindung diri digunakan secara rasional sesuai kebutuhan, dan berkoordinasi dengan produsen dan pemasok. Metode pembakaran sebaiknya dihindari karena berdampak buruk pada lingkungan.
Sementara itu, penggunaan sekali pakai lalu buang saat pandemi hanya menambah beban pengolahan limbah medis. Di lingkup masyarakat, anjurannya pun mirip. Apalagi, sampah masker sekali pakai tidak aman dibuang bersama sampah lainnya.
Anjuran ini tak jemu-jemu disampaikan pemerintah hingga aktivis lingkungan. Sebab, selain risiko terpapar bakteri ataupun virus penggunanya, sampah masker sekali pakai butuh waktu ratusan tahun bisa terurai. Meski demikian, masih ada warga yang belum memahami hal itu, bahkan membuang sampah masker sekali pakai sembarangan.
Penggunaan sekali pakai lalu buang saat pandemi hanya menambah beban pengolahan limbah medis. Di lingkup masyarakat, anjurannya pun mirip. Apalagi, sampah masker sekali pakai tidak aman dibuang bersama sampah lainnya.
Musisi dan aktivis lingkungan Nugie Nugraha menyebutkan, sungai dan got saluran air saat ini juga menjadi sasaran tempat membuang sampah masker sekali pakai. Jika dibiarkan, hal itu akan menimbulkan kerentanan baru.
Pendiri Parongpong Recycle and Waste (RAW) Lab, Rendy Aditya Wachid, mengatakan, setelah pandemi Covid-19 berjalan hampir dua tahun, Parongpong dan Evoware memikirkan cara agar sampah masker sekali pakai tertangani dengan tetap meminimalkan risiko penyebaran bakteri atau virus.
Lahirlah program KESAN — Waste to Art. Program ini juga didukung oleh Most Valued Brand (MVB) Indonesia. MVB merupakan organisasi independen berpusat di Singapura yang khusus bergerak di bidang pemberdayaan bisnis keberlanjutan.
Cara kerja KESAN dimulai dari individu warga membeli paket KESAN di salah satu lokapasar nasional. Harga per paketnya hanya Rp 100.000. Paket KESAN juga tersedia untuk korporat. Satu paket terdiri dari sepuluh kantong.
Di dalam paket itu terdapat kantong sampah buatan Evoware yang memakai material singkong, sepasang sarung tangan, dan buku petunjuk. Warga mengumpulkan sampah masker sekali pakai yang sudah melalui desinfeksi dan dirusak dengan menggunting tali dan belah dua bagian. Sampah tersebut dimasukkan ke dalam kantong sampah material singkong. Kantong itu kemudian diikat rapat dan disimpan di tempat kering yang aman.
Setelah penuh, kantong dikirim ke drop point Parongpong RAW Lab yang sejauh ini baru tersedia di Bandung, Bali, dan Jakarta. Parongpong RAW Lab menggunakan mesin hidrotermal. Mesin ini mampu mengolah sampah residu tanpa dioksin. Kantong bermaterial singkong lengkap dengan isian sampah masker sekali pakai itu langsung dimasukkan ke dalam mesin. Gunanya untuk menghindari kontak.
Lama pemprosesan kurang dari seminggu. Hasil dari pengolahan berupa material yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan meja, kursi, ataupun material lantai rumah. Namun, perlakuannya belum bisa masif. Rendy mengistilahkan selayaknya ”seni”.
”Kami sudah mulai uji coba ini sejak tahun lalu. Kami tidak segera mengumumkan ke publik karena kami sadar bahwa ada kecenderungan masyarakat kita suka hal praktis dan menggampangkan,” kata Rendy saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Adanya tarif paket juga bertujuan agar masyarakat semakin sadar tanggung jawabnya sendiri terhadap masker sekali pakai yang mereka gunakan. Pembatasan sosial akan tetap terjadi karena pandemi Covid-19 belum usai sehingga masker akan tetap digunakan.
Rendy menyadari, solusi itu belum sempurna. Inovasi akan terus dilakukan.
Ketua MVB Indonesia Alistair Speirs menyebut sampah plastik kaleng dan botol masih ada keekonomiannya, tetapi tidak dengan masker sekali pakai. Adanya proyek terobosan itu seharusnya menyadarkan warga agar tidak seharusnya menyerahkan tanggung jawab pengelolaan sampah residu mereka ke orang lain. Proyek KESAN menjadi perhatian MVB Indonesia karena dianggap sebagai gerakan brilian.
Sampah plastik kaleng dan botol masih ada keekonomiannya, tetapi tidak dengan masker sekali pakai. Adanya proyek terobosan itu seharusnya menyadarkan warga agar tidak seharusnya menyerahkan tanggung jawab pengelolaan sampah residu mereka ke orang lain.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia DKI Jakarta (Badan Pengurus Daerah HIPMI Jaya) Sona Maesana menyampaikan, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menargetkan ada pengurangan sampah medis, seperti masker sekali pakai. Targetnya sampai tahun 2025 yaitu pengurangan mencapai 75 persen. Sementara satu orang per hari bisa memakai dua sampai tiga masker sekali pakai.
”Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Gerakan hijau seperti KESAN membantu. Kami punya ribuan anggota pengusaha yang punya bisnis ramah lingkungan dan siap mendukung pemerintah,” kata Sona.
Baca juga: Limbah Masker Sekali Pakai Perlu Didaur Ulang
Penelitian berkembang
Di luar negeri, sebuah makalah penelitian yang diterbitkan di jurnal Science of The Total Environment, 15 Mei 2021, dan dikutip oleh The New York Times menyebutkan para peneliti Australia mengusulkan solusi potensial, yakni mendaur ulang masker wajah bekas menjadi material membuat jalan.
Masker bekas ini dapat dikombinasikan dengan bahan konstruksi daur ulang lainnya untuk mengurangi limbah dari pandemi sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan lain seperti plastik, yang sering digunakan sebagai pengisi jalan. Para peneliti menemukan bahwa sekitar 3 juta masker dapat ditempatkan di jalan dua jalur lebih dari setengah mil.
Untuk melakukan percobaan mereka, para peneliti memanaskan masker untuk menyimulasikan disinfektan. Mereka kemudian merobek-robek masker menjadi potongan-potongan dan mencampurnya dengan beton daur ulang. Lalu, mereka membuat sampel berupa silinder keras untuk diuji berat, ketahanan panas, dan kelembaban.
Masker bekas ini dapat dikombinasikan dengan bahan konstruksi daur ulang lainnya untuk mengurangi limbah dari pandemi sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan lain seperti plastik, yang sering digunakan sebagai pengisi jalan.
Di Australia, proyek mendaur ulang bahan menjadi material pembuatan jalan seperti itu melengkapi proyek yang sudah ada sebelumnya. Enam belas mil di utara Melbourne, ada jalan yang terbuat dari Reconophalt, kombinasi bahan daur ulang dan aspal.
Jalan itu setara dengan 200.000 kantong plastik, 63.000 botol kaca, dan limbah toner dari 4.500 kartrid printer. Sejauh ini, ratusan mil jalan menggunakan Reconophalt telah diletakkan di sekitar Australia. Kabarnya, uji coba pemakaian Reconophalt juga sedang berlangsung di Amerika Serikat dan Inggris.
Di Perancis, perusahaan rintisan bernama Plaxtil juga telah mendaur ulang ribuan masker wajah. Pertama, masker dikumpulkan dan ditempatkan di ”karantina” selama empat hari. Masker-masker tersebut kemudian digiling menjadi potongan-potongan kecil dan terkena sinar ultraviolet untuk memastikan mereka benar-benar didekontaminasi sebelum proses daur ulang dimulai.
Mengutip france24.com, saat proses daur ulang dimulai, Plaxtil mencampur potongan-potongan kecil masker dengan zat yang mengikat kain untuk memungkinkan memproduksi barang-barang plastik.
Salah satu produk Plaxtil adalah visor untuk alat pelindung diri terhadap Covid-19. Di bagian pemegang visor terdapat serat potongan masker hasil daur ulang.
Sementara cara pengolahan masker sekali pakai yang paling ideal dan terjangkau terus dicari, ada baiknya masyarakat mulai membiasakan diri memperlakukan sampah masker sekali pakai sebagai bagian dari gaya hidup.
”Apabila hanya jadi praktik, warga biasanya cenderung menganggap sepele. Mau pakai dan urusan sampahnya diserahkan ke orang lain. Mereka harus dibiasakan sadar akan tanggung jawab terhadap sampah maskernya sendiri,” ujar Nugie.
Baca juga: Ekonomi Sirkular Butuh Fondasi dan Pengawasan yang Kuat