Dengan pengelolaan dan pengumpulan yang hati-hati, masker sekali pakai bekas bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku daur ulang. Limbah infeksius ini berbahan seperti tutup botol yang lazim dalam industri daur ulang.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Limbah medis yang kian meningkat selama pandemi khususnya masker sekali pakai akan menimbulkan permasalahan lingkungan dan kesehatan jika tidak dikelola dengan baik. Dibandingkan memusnahkan masker sekali pakai, pengelolaan limbah medis ini dengan proses daur ulang dinilai lebih menguntungkan.
Peneliti Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Akbar Hanif Dawam menyampaikan, mayoritas masyarakat pada masa pandemi menggunakan masker sekali pakai atau disposable. Masker jenis ini tersusun dari material termoplastik yakni polipropilen (PP) dengan titik leleh 163-169 derajat celcius.
“Dalam masyarakat industri plastik PP sudah dikenal untuk pembuatan tutup botol minuman kemasan dan gelas plastik. Semua produk itu didaur ulang dengan cara dipanaskan dan diproses menjadi bentuk dasarnya,” ujarnya dalam webinar “Pengelolaan Limbah Masker di Masa Pandemi”, Selasa (16/2/2021).
Kesulitan dalam pemilahan limbah medis dengan sampah rumah tangga lainnya sehingga kedua jenis sampah tersebut telah tercampur.
Akbar memandang bahwa saat ini terdapat kekeliruan terkait pengelolaan masker sekali pakai di masyarakat yang kerap menggunakan kembali dengan cara dicuci. Ia pun mendorong agar masker sekali pakai dapat didaur ulang untuk mengatasi permasalahan lingkungan dan kesehatan.
Saat ini, LPTB LIPI telah melakukan uji coba daur ulang masker sekali pakai. Proses yang dilakukan di antaranya yaitu dengan sterilisasi, pengeringan, pemotongan, serta ekstrusi atau pencampuran dan pembentukan komponen baru. Setelah bahan dimasukan ke mesin ekstruder, maka akan didapat biji plastik daur ulang dan dicetak untuk dijadikan produk plastik daur ulang yang baru.
“Memusnahkan masker di insinerator akan membuat nilai suatu material menjadi hilang. Masker bisa dibuat karena melalui proses yang panjang dari minyak bumi kemudian diolah menjadi bahan baku polimer hingga dijadikan produk lainnya. Jika dimusnahkan begitu saja menurut pandangan kami akan kurang efisien,” katanya.
Keutamaan daur ulang masker sekali yaitu menggunakan teknologi yang mudah dan murah sehingga efisiensi dapat dilakukan. Daur ulang juga dapat menghasilkan produk plastik yang bermanfaat di samping telah tersedianya industri atau usaha kecil menengah plastik yang cukup banyak di Indonesia.
Rekristalisasi
Peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI Sunit Hendrana mengatakan, daur ulang limbah medis juga bisa dilakukan dengan metode rekristalisasi atau pemurnian. Keunggulan metode ini di antaranya memiliki kemurnian produk daur ulang yang tinggi sehingga dapat digunakan lagi untuk keperluan yang sama.
Selain itu, metode ini juga tidak memerlukan konsumsi energi yang tinggi, berpotensi memisahkan kandungan logam bebas, dapat dikembangkan lebih lanjut, serta mudah dan efektif diterapkan pada plastik.
“Prinsip dasar dari metode ini adalah sifat kelarutan bahwa plastik itu larut dalam pelarut tertentu. Ini yang bisa kita manipulasi sehingga bisa mengkristalisasi plastik dalam bentuk larutan dan dijadikan serbuk. Proses dimulai dari pelarutan, kemudian dicampur dengan pelarut, pengendapan, dan ada pemisahan pelarut sehingga bisa digunakan lagi,” katanya.
Metode rekristalisasi untuk daur ulang limbah medis ini telah diusulkan LIPI untuk mengolah sampah plastik dari alat deteksi Covid-19 melalui embusan napas GeNose. Dalam mendeteksi Covid-19, GeNose menggunakan komponen berbentuk kantong plastik berbahan polipropilen untuk setiap orang yang melakukan pemeriksaan.
Manajer Program Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) Hery Yusmandra mengatakan, limbah medis yang banyak beredar saat pandemi juga memiliki potensi daur ulang jika dipilah dengan baik. Limbah tersebut di antaranya alat pelindung diri yang digunakan tenaga kesehatan seperti baju hazmat, sarung tangan medis, masker, sepatu pelindung, dan penutup kepala.
Namun, Hery juga memandang masih terdapat permasalahan pengelolaan sampah yang umum terjadi di Indonesia yakni tidak adanya proses pemilahan dalam proses pembuangan dan pengumpulan. Padahal, sampah yang semakin terpilah dengan baik juga akan meningkatkan kualitas daur ulang dan menekan biaya pemrosesan.
Selama pandemi dan semakin bertambahnya pasien Covid-19, timbulan limbah medis juga mengalami peningkatan. Profil Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 tentang pengelolaan limbah medis di Asia Tenggara mencatat, timbunan limbah medis di Indonesia mencapai 0,68 kilogram per pasien per hari.
Sementara itu, informasi dari 536 fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang mengirimkan data limbah Covid-19 ke Kementerian Kesehatan, rata-rata timbunan limbah Covid-19 sebesar 1,7 kilogram per pasien per hari. Mengacu kedua data tersebut, ini berarti terdapat peningkatan limbah medis sebesar 1,02 kilogram per pasien per hari.
Limbah di Jabar
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat Prima Mayaningtias mengatakan, aturan untuk mengurangi limbah B3 menjadi non B3 telah tertuang di sejumlah peraturan menteri kesehatan dan menteri lingkungan hidup. Namun, beberapa kelompok limbah dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2015 belum spesifik mengatur limbah masker dan APD.
Menurut Prima, timbulan limbah medis dari 261 rumah sakit di Jabar mencapai 14,2 ton per hari dan 1,7 ton per hari khusus untuk timbulan limbah Covid-19. Sementara kapasitas insinerator pengolah semua limbah B3 mencapai 155,04 ton per hari.
“Jabar memiliki tujuh insenerator pengolah limbah B3 yang ada di Karawang, Bogor, Bekasi, dan Sukabumi. Kapasitas insenerator dalam waktu operasi selama 24 jam antara 300 sampai 700 kilogram perjam ini masih memenuhi,” tuturnya.
Terkait dengan limbah medis Covid-19 yang berasal dari rumah tangga, Prima mengakui bahwa kurangnya edukasi kepada masyarakat menjadi salah satu kendala pengelolaan. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam pemilahan limbah medis dengan sampah rumah tangga lainnya sehingga kedua jenis sampah tersebut telah tercampur.
Selain itu, kendala lainnya yakni sekarang sudah banyak limbah medis dari rumah tangga yang terlanjur terlepas ke lingkungan. Belum adanya tata kelola penanganan limbah medis Covid-19 rumah tangga juga membuat sejumlah instansi kesulitan berkoordinasi.
Prima mengatakan, dari rekomendasi akademisi, wadah penyimpan sampah masker perlu diisolasi di tempat yang aman selama enam hari jika di sekitar lokasi tidak tersedia fasilitas pemusnah. Namun, hal ini juga perlu dikaji dan diteliti lebih lanjut sebelum pada akhirnya masker tersebut diberlakukan sebagai sampah biasa dan dikelola secara baik.