Teknologi Tekan Emisi Karbon PLTU Sumsel 8 hingga 50 Persen
Pembangkit listrik tenaga uap mulut tambang Sumsel 8 berkapasitas 2 x 660 megawatt ditargetkan tuntas dibangun pada Maret 2022. PLTU ini diklaim mampu menekan emisi karbon hingga 50 persen.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
MUARA ENIM, KOMPAS — Pembangkit Listrik Tenaga Uap Sumsel 8 berkapasitas 2 x 660 megawatt ditargetkan tuntas dibangun pada Maret 2022. Pembangkit mulut tambang itu diklaim mampu menekan emisi karbon hingga 50 persen dengan teknologi penangkap karbon dan desulfurisasi gas buang.
Hal ini disampaikan Deputy General Manager PT Huadian Bukit Asam Power Gusti Prasetyo Rendy Anggara di kantornya, Selasa (16/11/2021). Teknologi ini merupakan upaya untuk membantu pemerintah mewujudkan komitmen nol emisi karbon pada 2060.
Teknologi ini menggunakan reaksi kimia pengolahan limbah sehingga dalam prosesnya, gas emisi karbon dan sulfur yang dikeluarkan bisa sangat rendah. ”Teknologi ini bisa menekan emisi gas buang hingga 50 persen,” katanya.
Hasil dari penangkapan karbon dan desulfurisasi ini bahkan bisa menghasilkan zat kimia lain yang merupakan bahan pembuat gipsum. ”Zat itu tentu bisa menghasilkan beragam produk turunan seperti gipsum dan semen,” kata Gusti.
Untuk mendukung nol emisi karbon, perusahaan juga menciptakan ruang terbuka hijau di sekitar PLTU sehingga jumlah emisi bisa terus ditekan. Hal itu menjadi prioritas agar aktivitas di PLTU bisa lebih ramah lingkungan. ”Setidaknya PLTU ini memenuhi standar baku mutu yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” jelas Gusti.
Hingga kini, pembangunan PLTU mulut tambang terbesar di kawasan Asia Tenggara ini sudah mencapai 92,84 persen. Ini juga termasuk pembangunan 99 unit tower transmisi menuju gardu PLN sejauh 45 kilometer.
”Pembangunan PLTU ini ditargetkan selesai pada 7 Maret 2022,” ucapnya. Namun, terkait pengoperasian sangat bergantung pada para pemangku kepentingan, dalam hal ini PLN dan pemerintah.
Jika PLTU ini beroperasi, lanjut Gusti, listrik yang dihasilkan akan mengalir hingga Sumatera Utara yang saat ini masih kekurangan listrik. ”Ini merupakan implementasi dari program tol listrik yang telah digagas pemerintah,” ungkapnya.
Dari sisi tarif, PLTU juga menekan ongkos produksi karena jarak antara tambang batubara dan PLTU dapat dipangkas. Nantinya, batubara yang menjadi bahan bakar PLTU hanya akan dikirim menggunakan conveyor belt dari kawasan pertambangan PT Bukit Asam (PT BA) di izin usaha pertambangan (IUP) Bangko Tengah yang berjarak sekitar 2 kilometer dari PLTU Sumsel 8.
Gusti menambahkan, harga jual listrik yang sudah disepakati sekitar 4,9 sen per kilowatt jam (kWh). Ini jauh lebih murah dibandingkan PLTU nonmulut tambang yang bisa lebih mahal hingga 2 sen per kWh.
Senior Manager Penambangan PT BA Eko Pujiantoro menuturkan, PT BA memiliki lima IUP dengan total luas lahan sekitar 43.000 hektar. Dari kelima IUP itu, produksi batubara ditargetkan bisa mencapai 30 juta ton hingga akhir 2021.
Jika dibandingkan produksi batubara di Kalimantan, jumlah itu memang masih jauh tertinggal. Hal itu karena jarak antara tambang dan pasar sangat jauh. PT BA menyalurkan batubaranya ke Tarahan, Lampung, dan Kertapati, Palembang.
Sebersih apa pun PLTU mulut tambang pasti akan melepaskan karbon ke udara. (Boni Bangun)
Koordinator Sumsel Bersih Boni Bangun mengatakan, sebersih apa pun PLTU mulut tambang pasti akan melepaskan karbon ke udara. Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi kesehatan warga sekitar. ”Mereka mengalami dua kali paparan abu, yakni dari PLTU dan dari tambang batubara,” ungkapnya.
Seharusnya, jika memang pemerintah berkomitmen untuk mulai mengedepankan energi terbarukan, tentu tidak lagi menggunakan energi fosil apa pun jenisnya.
Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Sriwijaya Iskhaq Iskandar mengungkapkan, pemerintah sudah berkomitmen untuk mencapai nol emisi karbon pada 2060. Namun, bukan berarti aktivitas yang melepaskan karbon dihentikan, melainkan karbon yang dikeluarkan seimbang dengan karbon yang diserap.
Agar hal itu terjadi, tentu di perusahaan yang dalam aktivitasnya berpotensi melepaskan karbon harus melakukan sejumlah intervensi, seperti menanam tanaman yang dapat menyerap karbon. Banyak tanaman yang bisa digunakan untuk menyerap karbon. Selain itu, melakukan langkah intervensi lain agar karbon yang dikeluarkan dapat diminimalisasi.