Industrialisasi dan Digitalisasi Jadi Tantangan Sekaligus Peluang Daerah
Sejumlah krisis baru akan dihadapi daerah-daerah di Indonesia pascakrisis pandemi. Pemerintah daerah perlu membangun industrialisasi yang bernilai tambah dan meningkatkan kualitas digitalisasi untuk menghadapinya.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Sejumlah krisis baru akan dihadapi daerah-daerah di Indonesia pascakrisis akibat pandemi Covid-19. Pemerintah daerah perlu membangun industri manufaktur atau industrialisasi yang bernilai tambah dan meningkatkan kualitas digitalisasi untuk menghadapi krisis tersebut.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebutkan, krisis baru yang berpotensi muncul pada 2022 setelah krisis pandemi Covid-19, di antaranya, krisis energi, krisis pangan, dan krisis lingkungan hidup. Itu semua menjadi tantangan ekonomi pascapandemi, termasuk juga daya saing dan digitalisasi.
Di tahun yang sama, harga berbagai komoditas, seperti kelapa sawit, batubara, dan minyak bumi, diprediksi meningkat cukup baik. Namun, daerah-daerah yang selama ini mengandalkan komoditas tersebut diperkirakan tidak akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang kontinu dan merata karena kenaikan harga komoditas itu hanya bersifat sementara.
Sebagaimana pernah terjadi pada 2011 pascakrisis besar tahun 2008, ada kenaikan harga komoditas. Namun, kenaikannya hanya berlangsung selama dua tahun, dari 2011 sampai 2013. Setelah itu, harga komoditas terus menurun sehingga tidak bisa lagi diandalkan oleh daerah penghasil komoditas.
”Pemerintah daerah jangan sampai terhanyut kenaikan harga komoditas dan lupa membangun industrialisasi yang bernilai tambah serta meningkatkan kualitas digitalisasi,” kata Bhima dalam webinar bertemakan ”Tata Kelola Ekonomi Daerah Pascapandemi Covid-19”, yang diselenggarakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan Populi Center, Jumat (12/11/2021).
Menurut Bhima, kenaikan harga komoditas energi juga berisiko menciptakan inflasi yang lebih tinggi. Inflasi pada 2022 diperkirakan mencapai 3-4 persen, bahkan bisa lebih dari 4 persen secara tahunan dibandingkan dengan inflasi tahun 2021 yang diperkirakan hanya 1,6 persen secara tahunan. ”Krisis energi ini adalah salah satu hal yang harus diantisipasi oleh daerah,” ujarnya.
Pemerintah di level daerah juga jangan lambat mengaplikasikan digitalisasi.
Krisis pangan juga bakal terjadi pascapandemi karena harga komoditas pangan yang cenderung naik. Kondisi itu diperparah dengan adanya fenomena La Nina yang diperkirakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BKMG) akan terjadi hingga Februari 2022. Masalah pangan ini akan sangat krusial bagi setiap daerah.
Selanjutnya, krisis lingkungan hidup terkait masalah perubahan iklim. Kondisi itu akan berpengaruh terhadap pembiayaan, konsumsi, dan investasi. ”Investasi yang mau masuk ke daerah akan lebih selektif. Mereka melihat daerah punya komitmen atau tidak terhadap ekonomi berkelanjutan, masalah deforestasi, ketersediaan air bersih, dan antisipasi perubahan iklim,” ujarnya.
Untuk daya saing daerah, lanjut Bhima, semua berharap terjadi efisiensi birokrasi, pemberantasan korupsi, dan pungutan liar. Perhatian secara khusus pada industrialisasi. Banyak yang akan berebut mencari daerah-daerah lain sebagai basis produksi karena perang dagang antara China dan Amerika Serikat masih berlanjut.
”Digitalisasi menjadi tantangan sekaligus peluang bagi daerah. Birokrasi dan pemerintah jangan cuma menyuruh dunia usaha untuk memasuki era industri 4.0, tetapi pemerintah seharusnya sudah memanfaatkan digitalisasi dalam reformasi birokrasi dan kepegawaian. Pemerintah di level daerah juga jangan lambat mengaplikasikan digitalisasi,” tuturnya.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Research Institute Agung Pambudhi, pemerintah pusat dan daerah dituntut mampu melakukan penyesuaian terhadap tantangan saat ini, yaitu pandemi Covid-19. ”Kerja birokrasi harus disesuaikan dengan kondisi pandemi agar pelayanan publik tetap dilakukan dengan optimal dan berintegritas,” katanya.
Di masa pandemi, ujar Agung, percepatan pelaksanaan program menjadi sangat penting dengan tetap memperhatikan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan prinsip pemerintahan yang baik (good governance). ”Yang paling pertama harus diselesaikan adalah konflik atau ketegangan antara kepala daerah dan birokrasi. Kalau tidak diselesaikan, masing-masing bisa saling menjegal untuk kemudian tidak sampai pada tujuan,” katanya.
Agung secara khusus menyoroti pelayanan birokrasi di sejumlah daerah yang dikatakan sudah digital. Namun, yang terjadi di lapangan, proses bisnis perizinannya belum diperbaiki. ”Teknologi informasi yang cuma alat tidak bisa membantu apa pun. Belum lagi ketidaksinkronan antara platform digital yang dibuat pusat dan daerah,” tuturnya.
Analis Kebijakan KPPOD Nathania Riris Michico Tambunan mengatakan, momentum new normal diharapkan dapat membuat pengurusan perizinan lebih cepat, prosedur lebih ringkas dan sederhana, lebih transparan, serta pada akhirnya lebih memiliki kepastian hukum.
Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja menjadi solusi dalam mendorong investasi. Kemudian, adanya sistem Perizinan Daring Terpadu dengan Pendekatan Perizinan Berbasis Risiko atau OSS-RBA (online single submission risk-based approach) menjadi jawaban untuk persoalan-persoalan yang selama ini menghambat perizinan di pusat ataupun daerah.
”Namun, sistem dan regulasi yang disiapkan pemerintah pusat ini terlalu canggih (advanced), sedangkan daerah belum siap dan belum mampu untuk mengimplementasikannya. Untuk itu, diperlukan pendampingan dari pemerintah pusat,” kata Michico.