Aksi iklim yang bersifat ”business as usual” dinilai tidak cukup untuk mengerem dampak kerusakan perubahan iklim. Tanpa tindakan yang serius, kerusakan di bumi akan semakin parah dan memicu kepunahan massal.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran dan aksi untuk mengurangi emisi karbon dinilai belum cukup untuk menghentikan dampak perubahan iklim. Konsep peradaban ekologis dapat jadi acuan untuk penanganan bumi yang lebih serius.
Hal ini mengemuka dalam webinar ”Manifesto: Menuju Peradaban Ekologis untuk Indonesia”, Sabtu (5/6/2021), bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Webinar ini menampilkan profesor kehormatan di University of Queensland dan University of Amsterdam, Gerry van Klinken, sebagai pembicara utama.
Menurut Klinken, bumi bisa mengalami kepunahan massal keenam jika pemanasan global dan perubahan iklim tidak bisa diatasi. Selama ini, bumi tercatat telah mengalami lima kali pemusnahan massal. Pemusnahan massal terakhir terjadi 66 juta lalu karena tumbukan meteor besar ke bumi.
”Ini sangat mengkhawatirkan,” kata Klinken. ”Negara-negara harus menurunkan emisi karbon mereka hingga 2050 untuk mencapai Perjanjian Paris, yaitu (kenaikan suhu global) tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celsius (pada 2030). Namun, belum banyak perubahan hingga sekarang,” tambahnya.
Menurut laporan Carbon Brief, Indonesia merupakan negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia pada 2015. Sumber emisi tertinggi berasal dari deforestasi dan kebakaran hutan gambut serta pembakaran bahan bakar fosil.
Jika dibiarkan, hal ini bisa memicu antroposen, yakni masa ketika dominasi aktivitas manusia berdampak ke alam dan dampaknya tidak mudah hilang dalam hitungan milenium. Kondisi saat ini juga bisa memicu antropogenik, yaitu aktivitas manusia yang memicu atau mempercepat terjadinya bencana.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah dinilai belum optimal mendukung upaya menekan emisi karbon. Komitmen Indonesia mengatasi perubahan iklim, menurut Climate Action Tracker, tergolong sangat tidak memadai (highly insufficient).
Menurut Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto, kebijakan pemerintah masih mengabaikan kepentingan publik dan lingkungan. Hal ini dipengaruhi banyak faktor yang saling berkelindan, antara lain, politik, oligarki, hingga kurangnya kesadaran ekologis.
”Akar dari ini adalah karena kita menganut shallow ecology (ekologi dangkal), yakni manusia berada di atas alam dan merupakan bagian terpisah dari alam. Padahal, kita ada di dalam alam,” kata Wijayanto.
Salah satu regulasi yang dinilai belum mendukung energi bersih adalah UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU No 11/2020 Pasal 39, yang membahas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, menyebutkan, sisipan pasal baru di UU No 4/2009, yakni Pasal 128 A, menetapkan royalti nol persen untuk kegiatan peningkatan nilai tambang batubara. Royalti nol persen dinilai mendorong industri energi fosil, bukan energi bersih.
”Business as usual sudah tidak memadai. Kita perlu membayangkan dunia seperti apa yang diinginkan, yakni yang memberi kehidupan lebih baik untuk kita dan alam. Ini bisa dicapai dengan (pendekatan) peradaban ekologis,” ucap Klinken.
Akar dari ini adalah karena kita menganut shallow ecology (ekologi dangkal), yakni manusia berada di atas alam dan merupakan bagian terpisah dari alam. Padahal, kita ada di dalam alam.
Peradaban ekologis
Secara garis besar, peradaban ekologis berangkat dari pemahaman bahwa daya dukung bumi terbatas. Eksploitasi akan mengakibatkan sumber daya alam berkurang, sumber pangan hilang, polusi meningkat, dan bencana datang. Ini berdampak bagi populasi manusia, flora, dan fauna.
Kondisi ini sedikitnya tergambar lewat banyaknya bencana yang dialami Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 197 bencana pada periode 1-23 Januari 2021. Ribuan rumah dan fasilitas lain rusak, 184 orang meninggal, dan lebih dari 1 juta orang mengungsi.
Peradaban ekologis juga mendorong kolaborasi lintas sektor. Konsep ini juga mempromosikan stagnasi pertumbuhan jumlah penduduk dan ekonomi atau steady state economy.
”Ada pendapat bahwa ini (peradaban ekologis) terlalu idealis karena publik masih menikmati konsumerisme. Namun, peradaban ekologis perlu dilihat sebagai inspirasi untuk bertindak,” ucap Klinken.
Penulis buku Generasi Terakhir dan Ketua Center of Islamic Studies Universitas Nasional, Fachruddin M Mangunjaya, menambahkan, penganut agama bisa berkontribusi menjaga alam. Ini tampak dari Deklarasi Islam untuk Perubahan Iklim yang dicanangkan para pemuka agama, akademisi, organisasi, dan masyarakat sipil pada simposium internasional di Turki pada 2015.