Wadah Makanan Para Pencinta Lingkungan
Sejalan dengan tren dan gerakan hijau, pebisnis di dalam negeri makin banyak berinovasi dan memperdagangkan berbagai produk ramah lingkungan. Salah satunya, wadah makanan dan minuman yang bahkan dapat dimakan.
Sejalan dengan tren dan gerakan hijau, pebisnis di dalam negeri makin banyak ambil bagian. Mereka berinovasi dan memperdagangkan berbagai produk ramah lingkungan. Salah satunya, wadah makanan dan minuman untuk menggantikan kemasan sekali pakai yang banyak dipakai pada bisnis kuliner.
Evo & Co memproduksi Ello Jelo, gelas yang terbuat dari rumput laut. Produk ini menjadi substitusi gelas plastik sekali pakai yang kerap dipakai di restoran ataupun pada perayaan dan perjamuan. Pada tahun 2015, pendiri Evo & Co, David Christian, yang baru pulang studi dari Kanada dihinggapi kekhawatiran pada kondisi lingkungan Indonesia, baik akibat polusi udara maupun pemakaian plastik. Kemudian, lahirlah Ello Jelo pada 2016.
Marketing Communication Officer Evo & Co Ahmad Ikhsan mengatakan, ide substitusi gelas plastik sekali pakai bukan hal baru di dunia. Di Jepang, misalnya, telah berkembang gelas berbahan dasar cumi-cumi. Adapun di New York ada gelas berbahan dasar sama seperti Ello Jelo, yaitu rumput laut.
”Rumput laut di Indonesia kebanyakan hanya diekspor mentah, lalu masuk ke Indonesia lagi sudah berupa produk setengah jadi dan jadi. Jadi, kami putuskan memakai rumput laut agar bisa membantu memberi nilai tambah terhadap rumput laut Indonesia,” ujar Ikhsan.
Rumput laut di Indonesia kebanyakan hanya diekspor mentah, lalu masuk ke Indonesia lagi sudah berupa produk setengah jadi dan jadi. Jadi, kami putuskan memakai rumput laut agar bisa membantu memberi nilai tambah terhadap rumput laut Indonesia.
Gelas Ello Jelo yang berukuran volume 150 mililiter (ml) ini bisa dimakan. Gelas ini juga perlu diperlakukan sama seperti jeli/agar-agar. Jika ditaruh di kulkas dan didiamkan saja sampai seminggu, gelas itu tidak dapat dipakai lagi. Jika diletakkan di suhu ruangan, Ello Jelo tahan empat hari.
Evo & Co juga mengembangkan produk sedotan berbahan dasar tepung beras (rice straw) yang diperkenalkan kepada publik tahun 2019. Produk ini menjadi substitusi sedotan plastik yang biasanya sekali pakai dan buang. Perlakuan rice straw ini mirip dengan pasta. Apabila kena cairan minuman panas, rice straw akan mudah larut.
”Kami tidak pakai pengawet. Makanya, kami tidak bisa mengekspor Ello Jelo ataupun rice straw ke luar negeri. Kami memenuhi permintaan dari dalam negeri, terutama dari Jakarta dan Bali,” kata Ikhsan.
Baca juga : Cangkir untuk Hidup Berkelanjutan
Melalui akun Evoworld Indonesia di Tokopedia, Evo & Co juga menjual sendok dan garpu berbahan dasar bambu, tas keresek berbahan dasar singkong (cassava mailer bag), dan wadah makanan berbahan dasar ampas tebu (sugarcane food container). Kedua inovasi ini lahir tahun 2019.
”Primadonanya sekarang rice straw. Konsumen banyak mencari itu sekarang,” imbuh Ikhsan.
Petani pinang
Plépah.id berhasil mengembangkan wadah makanan (food container) yang masuk dalam 32 besar Good Design Indonesia 2021. Wadah makanan Plépah ini berbahan dasar pelepah pinang untuk substitusi wadah sekali pakai.
Co-founder dan CEO Plépah.id Rengkuh Banyu Mahandaru menggambarkan, berdasarkan data Gojek tahun 2018, terdapat 17,9 juta produk kemasan sekali pakai per hari di Jabodetabek yang terekam di platform Gojek. Kebanyakan dari kemasan ini digunakan untuk membungkus makanan berat.
Wadah makanan Plépah memakai pelepah pinang dari petani di Jambi dan Sumatera Selatan. Petani pinang ini sebelumnya kerap membuang pelepah pinang atau membakarnya karena dianggap kurang berguna/limbah. Sementara buah pinangnya diekspor ke India.
”Meski buah pinang jadi komoditas ekspor, para petani itu hidupnya belum sejahtera. Faktor penyebabnya bermacam-macam, seperti harga komoditas pinang yang fluktuatif dan mungkin mereka bermasalah soal perencanaan keuangan,” kata Rengkuh.
Para petani ini kemudian diberdayakan. Mereka dibina dalam kelompok yang juga beranggotakan perempuan dan anak muda. Mereka diajari mengolah pelepah pinang, juga mendapat mesin pengolahan, pengumpulan, dan pendistribusian pelepah. Mereka juga mendapat pengetahuan tentang pengelolaan keuangan.
Dari situ juga kemudian terbentuk koperasi. Saat ini terdapat sekitar 100 kepala keluarga petani yang bergabung. Sementara koperasinya beranggotakan 17 orang.
Kedua daerah itu menjadi pusat pengumpulan pelepah pinang sekaligus produksi. Semua proses produksi menjadi wadah makanan menggunakan mesin. Kapasitas produksi per tahun saat ini mencapai 120.000 wadah makanan.
”Sementara permintaan terhadap Plépah food container mencapai 1,2 juta per tahun. Itu berarti warga di Indonesia semakin sadar pentingnya produk ramah lingkungan. Untuk memenuhi permintaan sebanyak itu, kami berusaha memperbanyak lokasi pengumpulan dan tempat produksi dibanding menambah kapasitas produksi di satu tempat,” ujar Rengkuh. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jejak karbon sehingga visi ramah lingkungan tetap terjaga.
Plépah.id melayani segmen bisnis ke bisnis (B2B) dan segmen ritel individu. Untuk segmen B2B, pembelinya berlatar belakang pebisnis makanan dan minuman. Plépah membuka segmen ritel individu sejak pandemi Covid-19 karena permintaan dari individu terhadap produk ramah lingkungan juga marak berkembang.
”Plépah food container tahan di suhu panas sampai 200 derajat celsius dan suhu dingin di bawah 3 derajat celsius. Jadi, kalau konsumen mau memanaskan makanan memakai produk kami di microwave tetap bisa. Produk kami bisa terurai 60 hari dan jika dimasukkan di komposter akan terurai dalam dua minggu,” imbuh Rengkuh.
Tak ketinggalan, di Bali berdiri Avani yang memproduksi wadah makanan dari ampas tebu. Di lokapasar, seperti Tokopedia dan Shopee, juga dapat dicari produsen/penjual kembali (retailer) produk wadah makanan ramah lingkungan. Safeco_Packaging, misalnya, menjual wadahberbahan dasar ampas tahu, jerami gandum, dan sisa batang gandum.
Baca juga : Investasi Sirkular Ekonomi Beri Manfaat 10 Miliar Dollar AS
Laporan ”Innovative Food Packaging” di National Geographic (2019) menyebutkan, dari 78 juta metrik ton kemasan plastik yang diproduksi secara global setiap tahun, hanya 14 persen yang didaur ulang. Plastik sisanya mengapung dan mengalir ke lautan. Banyaknya limbah ini diperkirakan mencapai 9 juta ton per tahun.
Sebagian besar berasal dari negara berkembang yang tidak memiliki infrastruktur untuk mengelolanya. Masalahnya, situasi itu diprediksi akan menjadi lebih buruk karena negara-negara tersebut tumbuh lebih kaya dan mau tidak mau mulai mengonsumsi lebih banyak makanan kemasan.
Daur ulang yang lebih teliti akan memberi keuntungan, tetapi itu membutuhkan energi, air, dan transportasi material. Sebagian besar plastik daur ulang diparut, dilebur, dan dibentuk kembali menjadi barang—seperti kayu, bulu domba, atau karpet. Hasil daur ulang ini pada akhirnya masih terikat di tempat pembuangan sampah. Segera setelah pergantian abad ke-20, perusahaan makanan mulai menggunakan pembungkus fleksibel yang terbuat dari tanaman.
Dalam artikel itu, National Geographic mencontohkan beberapa penemuan kemasan makanan yang berpotensi bisa dimakan atau mudah jadi kompos. Studio desain Swedia, Tomorrow Machine, mengembangkan lini kemasan makanan yang dijuluki ”This Too Shall Pass”. Inovasi ini mencakup botol kecil minyak goreng yang terbuat dari gula karamel dilapisi lilin.
Wyss Institute dari Universitas Harvard menciptakan plastik bening yang benar-benar dapat dikomposkan. Produk ini terbuat dari kitosan yang berbahan kulit udang dan protein serangga.
Para desainer, insinyur, ahli biologi, investor, pengusaha, dan pendaur ulang terus berusaha mengembangkan kemasan yang termasuk dalam mandat ekonomi sirkular.
Singkatnya, para desainer, insinyur, ahli biologi, investor, pengusaha, dan pendaur ulang terus berusaha mengembangkan kemasan yang termasuk dalam mandat ekonomi sirkular. Pada konsep ini, siklus barang-barang material terbagi dalam dua putaran terpisah.
Putaran pertama, memulihkan nutrisi teknis, seperti logam, mineral, dan polimer, untuk digunakan kembali. Putaran berikutnya, mengembalikan bahan biologis ke alam melalui program pengomposan atau mengubahnya lewat pencernaan anaerobik sehingga menjadi energi netral karbon.
Mengutip Packagingdigest.com, satu dekade terakhir, sejumlah jenama telah memprioritaskan kemasan berkelanjutan. Pada tahun 2021, konsumen semakin menghargai jenama yang peduli pada lingkungan. Sebanyak 74 persen konsumen yang disurvei oleh Trivium Packaging dan Boston Consulting Group bersedia membayar biaya tambahan untuk produk dalam kemasan berkelanjutan, meskipun di banyak daerah, pebisnis mengaku tak mudah menerapkan permintaan itu.