Tekan Dampak Buruk dengan Infrastruktur Ramah Lingkungan
Usaha meminimalkan dampak buruk perubahan iklim perlu ditempuh, antara lain, melalui pembangunan sarana prasarana kota dan hunian yang ramah lingkungan. Langkah kolektif dibutuhkan agar dampaknya lebih nyata.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim yang semakin nyata memerlukan langkah bersama untuk menyikapi dan mengantisipasi dampak yang ditimbulkannya. Adaptasi untuk menekan emisi karbon perlu terus dilakukan, antara lain, melalui pembangunan bangunan hijau dan infrastruktur yang lebih ramah lingkungan.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimoeljono mengemukakan, dampak perubahan iklim semakin nyata. Namun, kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim masih perlu ditingkatkan. Penyebab nyata perubahan iklim, antara lain, ialah penambahan penduduk secara global dan khususnya di perkotaan. Pertumbuhan penduduk turut menambah emisi karbon dan efek gas rumah kaca.
Beberapa dampak perubahan iklim, antara lain, ialah perubahan siklus hidrometeorologi berupa hujan yang datang dalam waktu lebih singkat dengan intensitas lebih tinggi sehingga menyebabkan banjir, banjir bandang, dan tanah longsor. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia menghadapi lebih dari 5.000 bencana banjir dan banjir bandang serta tanah longsor dengan korban sekitar 5.000 orang hilang dan meninggal serta ratusan ribu rumah rusak.
”Perubahan iklim sudah terjadi, tetapi masih ada orang yang tidak percaya. Ini persis seperti Covid-19 yang nyata, tetapi sebagian penduduk masih tidak percaya karena persepsinya Covid itu buatan sehingga tidak mau vaksinasi, (tes) PCR ataupun antigen,” kata Basuki dalam peringatan Hari Habitat Dunia Tahun 2021, Rabu (27/10/2021).
Basuki mencontohkan, penurunan muka tanah di Jakarta sekitar 10-12 sentimeter per tahun, antara lain, dipicu oleh pengambilan air tanah yang terus berlangsung. Pemerintah sedang menyiapkan pembangunan bendungan Jatilihur 1 dan Jatiluhur 2 untuk sumber air minum warga Jakarta sehingga penyedotan air tanah bisa dihentikan.
Selama ini, sebagian besar air minum warga Jakarta bersumber dari Kali Malang yang airnya berasal dari Waduk Jatiluhur, Purwakarta. ”Pembangunan (Waduk) Jatiluhur 1 dan 2 masih dalam tahap diskusi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk tarif,” katanya.
Pada 2030, jumlah penduduk di Indonesia diproyeksikan 300 juta orang, di mana 60 persen di antaranya tinggal di perkotaan serta membutuhkan hunian dan pernak-perniknya. Pembangunan hunian menggerakkan sekitar 140 industri lain, mulai dari peralatan rumah tangga, pendingin ruangan, hingga bahan bangunan yang membutuhkan penggunaan energi.
Evaluasi
Menurut Basuki, Kementerian PUPR harus beradaptasi melayani percepatan pertambahan penduduk dengan menyiapkan prasarana dasar yang mengacu pada kota dan pengembangan bangunan yang ramah lingkungan, infrastruktur tangguh bencana, serta pengelolaan sampah dengan teknologi guna menekan emisi karbon.
Pihaknya juga terus mengevaluasi desain dan kriteria semua bangunan dan bangunan air yang dibangun Kementerian PUPR agar terus beradaptasi dengan perubahan iklim. ”Ke depan, intinya harus terus menggunakan bahan atau material yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Beberapa indikator kota ramah lingkungan, antara lain, adalah kota pintar, infrastruktur tangguh terhadap banjir dan gempa, serta bangunan hemat energi. Namun, konsep kota pintar kerap disalahartikan dengan digitalisasi kota. Padahal, ada sejumlah indikator yang harus dipenuhi untuk menuju kota pintar.
Di Korea Selatan, saat ini sedang dibangun Echo Delta Smart City, di mana hunian didesain untuk rumah pintar masa depan. Kualitas hunian juga termasuk memperhitungkan penghematan waktu. Indikatornya, antara lain, ialah orang yang tinggal di kawasan itu umurnya akan lebih panjang 5 tahun.
”Kita sering menyalahartikan smart city itu jika sudah digitalisasi. Padahal, bukan itu. Ada indikator-indikator yang harus dipenuhi, termasuk penghematan waktu tempuh,” kata Basoeki.
Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional Jawa Timur-Bali Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR Achmad Subki mengemukakan, insiasi pemanfaatan material ramah lingkungan, antara lain, ialah penggunaan sampah plastik untuk aspal jalan sejak 2017. Jenis sampah yang dikonversi untuk bahan konstruksi jalan itu ialah sampah tas kresek.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), volume sampah di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun, sebanyak 14 persen di antaranya berupa sampah plastik. Dari 64 juta ton itu, sebanyak 4-9 juta ton dibawa ke laut, sedangkan selebihnya diproses lewat tempat penampungan akhir (TPA) dan ditimbun di tanah.
Achmad menambahkan, pembakaran sampah plastik menghasilkan gas polutan metana dengan tingkat polusi 21 kali lipat dibandingkan dengan gas buangan pabrik dan motor. Penimbunan sampah plastik di tanah juga tidak terurai dan justru menghasilkan racun yang membahayakan.
Pembangunan aspal dari sampah plastik di Jawa Timur, antara lain, ialah di jalan ruas Gempol-Batas Bangil sepanjang 1 kilometer dan lebar jalan 7 meter. Penyerapan sampah plastik dalam 1 kilometer jalan aspal mencapai 3 ton. Selain itu, jalan Lawean-Sukapura sepanjang 6 kilometer.
Inovasi campuran aspal sampah plastik diakui membutuhkan biaya lebih besar. Akan tetapi, stabilitas konstruksi jalan 40 persen lebih tinggi dibandingkan dengan jalan konvensional dengan usia layak jalan mencapai 3-4 tahun. Dengan demikian, penggunaan aspal sampah plastik memberi nilai tambah sekaligus mengurangi limbah plastik.
Tantangan yang muncul adalah kepastian rantai pasok sampah kresek, yakni pemilahan sampah plastik sejak dari rumah tangga agar tidak tercampur dengan limbah organik. ”Targetnya tahun 2025 setidaknya bisa mengurangi limbah sampah plastik di Indonesia melalui inovasi teknologi campuran asal plastik,” kata Achmad.