Kelembagaan politik, sosial, dan hukum berdampak jangka panjang meski hasilnya tak segera terlihat. Peningkatan kinerja ekonomi, hasilnya relatif cepat terlihat, tetapi perlu didukung kelembagaan agar bisa berkelanjutan.
Oleh
A Prasetyantoko, Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
·5 menit baca
Litbang Kompas (Senin, 18/10/21) merilis survei kinerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang sekaligus mencerminkan evaluasi dua tahun pemerintahannya.
Secara umum, dibandingkan dengan April, hasil survei Oktober menunjukkan penurunan kepuasan dari 69,1 persen menjadi 66,4 persen. Penurunan memang relatif kecil. Dibandingkan dengan tingkat kepuasan pada Agustus 2020 lalu—sebesar 65,9 persen—juga masih lebih tinggi. Meski begitu, ada beberapa catatan pokok terkait pembangunan kelembagaan.
Semua aspek mengalami penurunan, kecuali ekonomi. Aspek politik dan keamanan turun dari 77 persen di bulan April menjadi 70,8 persen pada Oktober. Demikian pula, aspek kesejahteraan sosial turun dari 71,3 persen menjadi 68,6 persen. Aspek penegakan hukum turun dari 65,6 persen menjadi 60,6 persen.
Sementara aspek ekonomi naik dari 57,8 persen menjadi 58,7 persen. Meski naik tipis, konsisten terjadi peningkatan sejak Agustus tahun lalu sebesar 52,8 persen.
Rendahnya kepuasan aspek ekonomi tak terlepas dari situasi pandemi yang menyebabkan mandeknya perekonomian (great lockdown). Namun, situasi berangsur membaik, seturut bisa dikendalikannya pandemi. Situasi ini juga tecermin dari persepsi masyarakat yang menunjukkan tingkat kepuasan meningkat, meski tingkat kepuasan ini masih relatif rendah.
Pencapaian ini harus menjadi momentum pemulihan ekonomi dalam jangka pendek serta berorientasi pada pembangunan kelembagaan dalam jangka panjang.
Aspek kelembagaan
Pertumbuhan kuartal kedua 2021 sebesar 7,07 persen telah mengompensasi kontraksi sebesar 5,3 persen pada kuartal kedua tahun lalu. Meski banyak negara maju mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, kontraksi mereka juga lebih tajam. Jerman, misalnya, yang pada kuartal kedua tahun ini tumbuh 9,2 persen, pada periode yang sama tahun lalu terkontraksi sebesar 11,3 persen.
Meski negara maju memiliki pertumbuhan tinggi, tidak semua berhasil mengembalikan kinerja ekonomi pada fase sebelum pandemi. Sementara kita sudah berhasil melampaui kontraksi akibat pandemi.
Pada kuartal ketiga ini, perekonomian kita terhambat dengan munculnya varian Delta yang membuat penambahan kasus Covid-19 serta kematian meningkat tajam pada Juli lalu. Tercatat jumlah penambahan kasus harian tertinggi sebesar 49.000 pada 19 Juli, sementara jumlah kematian tertinggi terjadi pada 27 Juli yang mencapai lebih dari 2.000 orang per hari.
Meski negara maju memiliki pertumbuhan tinggi, tidak semua berhasil mengembalikan kinerja ekonomi pada fase sebelum pandemi. Sementara kita sudah berhasil melampaui kontraksi akibat pandemi.
Respons pengetatan ekonomi telah menahan laju pertumbuhan yang di kuartal ketiga tahun ini diperkirakan hanya akan mencapai sekitar 3 persen. Sektor transportasi dan akomodasi yang sudah naik pada kuartal kedua kembali merosot, tetapi ada tanda-tanda kenaikan kembali pada bulan Oktober.
Terlihat betapa kinerja ekonomi secara alamiah cenderung berfluktuasi seturut dengan penanganan pandemi. Tentu langkah pemerintah memitigasi pandemi patut dihargai. Meski begitu, catatan memburuknya aspek kelembagaan (politik, kesejahteraan sosial, dan penegakan hukum) harus menjadi peringatan dini bagi pemerintah dalam menavigasi pemulihan ekonomi yang berorientasi jangka panjang. Kualitas kelembagaan akan menentukan efisiensi kinerja ekonomi dalam jangka panjang.
Salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur efisiensi ekonomi adalah angka incremental capital output ratio (ICOR) yang menghitung pertambahan luaran (output) ekonomi dari setiap investasi yang dilakukan. Semakin tinggi angka ICOR menunjukkan sistem ekonomi cenderung boros atau tidak efisien.
Pada 2019, ICOR Indonesia sebesar 6,77, yang artinya untuk menghasilkan tambahan output ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 1 diperlukan investasi sebesar Rp 6,77. Angka ICOR 2019 lebih tinggi dari 2018 sebesar 6,44. Sebagai perbandingan, angka ICOR Filipina sebesar 3,7; Thailand 4,5; Malaysia 4,6; dan Vietnam 5,2. Dengan kata lain, sebelum pandemi, ekonomi kita sudah cenderung tidak efisien, apalagi jika dibandingkan dengan negara tetangga kita.
Tentu saja secara teknis ada banyak faktor yang membuat pengeluaran investasi kita cenderung tidak efisien. Salah satunya, investasi di bidang infrastruktur biasanya tidak segera mendongkrak pertumbuhan atau diperlukan jeda waktu (time lag) antara pembangunan fisik dan dampak yang ditimbulkan berupa peningkatan output.
Selain itu, ada juga faktor penggelembungan angka investasi yang tampaknya juga marak terjadi, khususnya di bidang infrastruktur, sehingga besaran anggaran tak mencerminkan angka investasi riilnya.
Pesannya cukup jelas, kinerja ekonomi harus didukung dengan tatanan kelembagaan yang baik. Tanpa dukungan kelembagaan (sosial, politik, dan hukum), perbaikan kinerja ekonomi akan misleading karena tidak mencerminkan realitas serta cenderung tidak berkesinambungan dalam jangka panjang. Efisiensi yang merupakan salah satu kunci dalam perekonomian ditentukan oleh berbagai faktor kelembagaan yang kompleks.
Di tengah inefisiensi ekonomi, stimulus besar yang digelontorkan sepanjang pandemi punya kemungkinan tidak menghasilkan output kinerja sebagaimana mestinya. Biaya penanggulangan krisis akibat pandemi pada 2020 sebesar Rp 695,2 triliun, meningkat pada 2021 menjadi sebesar Rp 755,77 triliun, dan pada 2022 direncanakan sebesar Rp 699,4 triliun.
Di tengah inefisiensi ekonomi, stimulus besar yang digelontorkan sepanjang pandemi punya kemungkinan tidak menghasilkan output kinerja sebagaimana mestinya.
Tentu saja kita berharap komitmen stimulus ini berbanding lurus secara signifikan dengan realitas di lapangan. Jangan sampai mengemuka berbagai distorsi yang disebabkan berbagai faktor, mulai dari persoalan administrasi hingga korupsi.
Becermin dari hasil survei Litbang Kompas tersebut, tiga tahun ke depan merupakan waktu yang menentukan dalam menciptakan tatanan kelembagaan bidang politik, sosial, dan hukum. Tanpa perbaikan yang berarti dari aspek kelembagaan ini, perbaikan kinerja ekonomi berisiko tak berkelanjutan.
Perbaikan kerangka aturan serta efisiensi administrasi harus ditopang dengan sistem kelembagaan yang kuat. Jangan sampai efisiensi hanya berorientasi pada praktik dalam skala mikro, sementara sistem kelembagaan dalam skala luas masih saja memberi ruang berkembangnya perilaku pemburuan rente yang diakomodasi melalui berbagai konsensus politik.
Membangun kelembagaan politik, sosial, dan hukum akan punya dampak jangka panjang meski dalam jangka pendek tak segera bisa terlihat. Sebaliknya, peningkatan kinerja ekonomi, hasilnya relatif cepat terlihat, tetapi memerlukan dukungan sistem kelembagaan supaya bisa berkelanjutan.