Kebijakan Fiskal Progresif
Dengan kemajuan teknologi, negara punya peluang dihadirkan dalam upaya perlindungan sosial secara lebih efektif melalui bantuan teknologi.
Kebijakan fiskal progresif merupakan antitesis dari kebijakan konservatif. Sejak pandemi Covid-19, kebijakan fiskal di hampir semua negara berubah menjadi progresif. Stimulus fiskal jadi penyangga utama perekonomian, khususnya melalui peningkatan belanja kesehatan dan perlindungan sosial.
McKinsey pada Juni 2020 merilis laporan mengenai respons pemerintah terhadap pandemi Covid-19. Hanya dalam beberapa bulan saja, dana stimulus sudah mencapai 10 triliun dollar Amerika Serikat. Respons ini jauh lebih besar ketimbang krisis finansial 2008-2009.
Bahkan, di beberapa negara maju berlipat belasan kali. Jerman yang pada krisis 2008 lalu hanya mengeluarkan stimulus sebesar 3,5 persen dari produk domestik bruto (PDB), pada 2020 telah mengalokasikan dana setara dengan 33 persen PDB. Perbedaan mencolok juga terjadi di Jepang sebesar 2,2 persen pada 2008 dan 21 persen pada 2020. Sementara AS sebesar 4,9 persen pada 2008 melonjak menjadi 12,1 persen pada 2020.
Menghadapi pandemi, Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan kebijakan di luar kebiasaan melalui Perppu No 1/2020 mengenai kebijakan keuangan negara yang memungkinkan defisit fiskal melewati 3 persen PDB. Pada 2020, pemerintah mengalokasikan Rp 692,5 triliun dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan terus meningkat pada 2021 menjadi Rp 755,77 triliun, sementara dalam Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara 2022 dialokasikan sebesar Rp 699,4 triliun.
Stimulus fiskal harus bersifat fokus, terarah, dan sementara. Namun, menghadapi situasi sulit penuh ketidakpastian, stimulus tak bisa dihentikan begitu saja.
Di satu sisi, stimulus fiskal harus bersifat fokus, terarah, dan sementara. Namun, menghadapi situasi sulit penuh ketidakpastian, stimulus tak bisa dihentikan begitu saja. Untuk itu, diperlukan perencanaan menyeluruh jangka panjang tentang bagaimana peran fiskal dalam perekonomian. Krisis selalu menghadirkan inovasi, begitu pun peran negara dalam perlindungan sosial warganya.
Negara Kesejahteraan
The Economist edisi 4 Maret 2021 menulis editorial mengenai transformasi welfare state akibat pandemi Covid-19. Pandemi mengungkap fakta getir begitu banyaknya masyarakat warga yang tak sanggup menghadapi guncangan krisis. Oleh karena itu, negara hadir melalui kebijakan fiskal yang progresif dan menjangkau langsung pada level individu atau government to people (G2P).
Dari pengalaman banyak negara melakukan stimulus fiskal, ada dua pendekatan utama, yaitu transfer langsung kepada masyarakat atau melalui penyelamatan sektoral (korporasi). Pendekatan pertama langsung mendorong konsumsi masyarakat dan pendekatan kedua menopang sisi produksi.
Negara maju, dengan alokasi stimulus besar, mampu menopang keduanya. Itulah mengapa banyak perusahaan yang hidupnya hanya mengandalkan kucuran stimulus sehingga disebut zombie companies. Jika pada krisis finansial 2008 lalu banyak perusahaan yang bangkrut, pada krisis akibat pandemi ini pemerintah memberikan banyak skema stimulus sehingga banyak perusahaan hanya mengalami ”hibernasi”.
Jika pada krisis finansial 2008 lalu banyak perusahaan yang bangkrut, pada krisis akibat pandemi ini pemerintah memberikan banyak skema stimulus sehingga banyak perusahaan hanya mengalami ’hibernasi’.
Banyak pemikir ekonomi meyakini dalam situasi seperti ini, pemulihan ekonomi melalui dorongan konsumsi (sisi permintaan) lebih tepat. Christina Romer dari Brooking Institution menghitung besaran stimulus fiskal AS dengan total mencapai 5 triliun dollar AS melalui berbagai skema, tetapi proporsi terbesarnya tetap berupa transfer langsung kepada masyarakat.
Inilah salah satu faktor yang membuat perekonomian AS, meski mengalami krisis paling parah dalam sejarah, juga tercatat sebagai krisis yang paling cepat pulih. Laporan Dana Moneter International, World Economic Outlook edisi Juli 2021 merevisi pertumbuhan AS menjadi 7 persen dari 6,4 persen dalam proyeksi April. Meski proyeksi pertumbuhan global tetap 6 persen, profil pertumbuhan negara maju lebih baik, sementara negara berkembang justru menurun.
Kelompok negara berkembang yang semula diprediksi tumbuh 8,6 persen turun menjadi 7,5 persen dalam proyeksi terakhir Juli lalu. Untuk pertama kalinya, negara maju memiliki profil pertumbuhan lebih tinggi dari rerata global. Selain akses vaksin, besaran stimulus, khususnya yang langsung mendongkrak konsumsi, dianggap sebagai faktor utama pertumbuhan di negara maju.
Dalam skala berbeda, stimulus fiskal pemerintah kita juga fokus pada perlindungan sosial daripada memberi stimulus pada sektor swasta. Itulah salah satu perbedaan mendasar dengan krisis 1998 lalu, di mana stimulus waktu itu lebih banyak dilakukan dalam rangka penyelamatan perbankan melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Alokasi terbesar pemulihan ekonomi 2020 untuk perlindungan sosial sebesar Rp 230,21 triliun. Jika ditambah dengan alokasi belanja sektor Kesehatan sebesar Rp 99,50 triliun, totalnya menjadi 329,71 atau sekitar 47 persen dari total dana PEN.
Pada 2021, pagu anggaran kesehatan sebesar 214,96 triliun dan dana perlindungan sosial sebesar Rp 186,64 triliun. Alokasi dana kesehatan dan perlinsos 2021 setara dengan 53 persen dari dana PEN sebesar Rp 755,77 triliun. Pada RAPBN 2022 telah dialokasin Rp 172,3 triliun dana kesehatan dan Rp 148,3 triliun untuk perlindungan sosial atau 45 persen dari total anggaran pemulihan ekonomi.
Fokus dana kesehatan adalah menopang vaksinasi, sementara dana perlindungan sosial dialokasikan dalam berbagai bentuk program, seperti Progam Keluarga Harapan (PKH) yang mencakup 9,9 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dan Kartu Sembako untuk 16,1 juta KPM. Kemudian Bantuan Sosial Tunai (BST) untuk 10 juta KPM dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa untuk 5,51 juta KPM, serta Kartu Prakerja untuk 2,82 juta orang.
Selain itu, bantuan juga diberikan dalam bentuk kuota internet untuk 35,95 juta penerima, subsidi listrik untuk 32,6 juta penerima, bantuan sosial upah (BSU) untuk 2,09 juta pekerja, dan bantuan beras untuk 28,8 juta KPM.
Melihat begitu besarnya peran fiskal bagi kesejahteraan masyarakat, The Economist menyodorkan diskusi mengenai kembalinya ”negara kesejahteraan”. Dengan kemajuan teknologi, negara punya peluang dihadirkan dalam upaya perlindungan sosial secara lebih efektif melalui bantuan teknologi. Pemerintah mulai menyalurkan bantuan sosial melalui jaringan digital, dengan menggandeng pelaku pembayaran digital, seperti OVO, GoPay, DANA, LinkAja, dan PT Pos Indonesia.
Dengan kemajuan teknologi, negara punya peluang dihadirkan dalam upaya perlindungan sosial secara lebih efektif melalui bantuan teknologi.
Fenomena keterlibatan sektor swasta, khususnya perusahaan berbasis digital, dalam implementasi perlindungan sosial sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Philip Alston, rapporteur PBB bidang kemiskinan ekstrem, telah menunjukkan bagaimana teknologi mengubah secara drastis (revolutionizing) interaksi antara pemerintah dan masyarakat melalui pola perlindungan sosial yang disalurkan lewat ekosistem digital. Oleh karena itu, dia memopulerkan terminologi ”digital welfare state”.
Ke depan, kebijakan fiskal perlu diintegrasikan dalam upaya merestrukturisasi sistem jaminan sosial yang lebih sistematis meliputi kelembagaan, kerangka hukum, koordinasi, dan implementasi yang memungkinkan melibatkan ekosistem digital dengan pendekatan platform.
Menghadapi potensi endemi Covid-19 dan berbagai krisis lingkungan akibat perubahan iklim yang diperkirakan semakin intensif pada masa depan, kehadiran negara dalam kebijakan fiskal yang progresif tak lagi bisa dihindari. Termasuk upaya melakukan restrukturisasi sektor kesehatan agar lebih berdaya menghadapi risiko berbagai ancaman penyakit pada masa depan. Karena itu, perlu ada peta jalan kebijakan fiskal dalam mewujudkan (digital) welfare state di Indonesia.
Baca juga : Ekonomi Pasca Pandemi