OJK menilai, kalangan perbankan perlu lebih optimal menyiapkan diri bertransformasi pada era digital. Terkait dengan hal ini, OJK meluncurkan Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indikator kematangan bank digital menunjukkan, kesiapan industri perbankan di Indonesia bertranformasi menjadi bank digital belum optimal. Untuk mengukur kematangan atau kesiapan bank digital, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian yang disebut Digital Maturity Assesment for Bank atau DMAB.
Pada DMAB terdapat enam indikator yang dikaji. yakni pengelolaan data, kesiapan teknologi, manajemen risiko, kolaborasi, tatanan institusi, dan pelayanan konsumen/pelanggan (customer).
Dengan skala penilaian maksimal 100 persen, sampai dengan Mei 2021, nilai indikator pengelolaan data perbankan di Indonesia mencapai 57 persen, kesiapan teknologi mencapai 50 persen, manajemen risiko 43 persen, kolaborasi 53 persen, tatanan institusi 46 persen, dan customer 50 persen.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menjelaskan, tingkat kematangan digital yang tinggi mencerminkan kesuksesan transformasi digital yang dilakukan oleh bank pada enam dimensi penilaian DMAB. Tingkat kematangan digital tertinggi merupakan proksi tingkat kematangan digital bank yang sudah digital sepenuhnya.
”Rasio rata-rata nilai tingkat kematangan digital Bank di Indonesia dibandingkan dengan nilai tingkat kematangan digital pada fully digital bank menunjukkan sejauh mana pencapaian transformasi digital yang dilakukan oleh perbankan Indonesia,” ujar Heru pada acara Peluncuran Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan, Selasa (26/10/2021).
Tingkat kematangan digital perbankan Indonesia pada dimensi data, teknologi, kolaborasi, dan customer yang telah melewati angka 50 persen mencerminkan, tingkat kematangan digital dalam keempat aspek itu pada rata-rata bank di Indonesia dinilai cukup memadai walaupun belum optimal.
Meski demikian, penilaian tingkat kematangan digital rata-rata bank di Indonesia pada dimensi manajemen risiko dan tatanan institusi masih berada di bawah 50 persen. Hasil ini menunjukkan, strategi digitalisasi perbankan belum didukung oleh kapasitas organisasi dan budaya digital serta manajemen risiko yang memadai.
Cetak biru
Pada kesempatan yang sama, OJK juga meluncurkan buku panduan cetak biru transformasi digital perbankan. Cetak biru ini berfokus pada lima elemen pengembangan digitalisasi perbankan, yakni data, teknologi, manajemen risiko, kolaborasi, dan tatanan institusi.
”Peluncuran cetak biru ini merupakan gambaran yang lebih konkret atas berbagai inisiatif dan komitmen OJK dalam mendorong akselerasi transformasi digital pada perbankan,” ujar Heru.
Cetak biru disusun dengan mempertimbangkan berbagai aspek, meliputi studi terkait perbankan masa depan, kondisi digitalisasi perbankan, standar internasional, praktik-praktik terbaik industri perbankan, masukan pemangku kepentingan, dan harmonisasi dengan kebijakan/regulasi otoritas terkait.
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK Teguh Supangkat menjelaskan, Indonesia saat ini sudah memasuk revolusi industri 4.0 yang ditandai makin meningkatnya konektivitas dan interaksi. Konvergensi antara manusia, mesin, dan sumber daya lainnya juga makin menguat.
”Hal ini juga merambah bagaimana masyarakat memanfaatkan layanan digital perbankan sehingga perbankan pun perlu mengubah model bisnisnya agar lebih efisien dan bisa relevan melayani pelanggan,” ujarnya.
Perubahan model bisnis ini ditandai dengan berkurangnya jumlah jaringan kantor perbankan sebanyak 2.593 unit dalam kurun waktu 2017 hingga Agustus 2021. Penurunan jumlah kantor ini diikuti peningkatan transaksi mobile banking dan internetbanking yang naik 300 persen pada 2016 hingga Agustus 2021. Transaksi uang elektronik pada kurun waktu 2015-2020 juga meroket dari Rp 5,28 triliun menjadi Rp 204,9 triliun.
Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk Royke Tumilaar mengatakan, BNI mendukung penuh terbitnya Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan oleh OJK. ”Cetak biru ini akan membantu industri perbankan untuk dapat melakukan transformasi digital dan terus berinovasi dengan terarah dan aman,” ujarnya.
Ia menjelaskan, BNI dalam menjalankan transformasi digital juga menggunakan prinsip-prinsip yang menjadi fokus cetak biru ini, antara lain pengamanan data, manajemen risiko terkait produk dan layanan digital, serta kolaborasi dengan penyedia platform yang termasuk dalam ekosistem BNI.
Pengamat perbankan yang juga Ketua Indonesia Fintech Society (IFSOC) Mirza Adityaswara mengatakan, regulator harus dapat menyeimbangkan peran di antara memitigasi risiko baru, tetapi juga memberi kesempatan bagi bank-bank digital ini untuk berinovasi. Selain itu, regulator juga perlu mendorong kebijakan terkait dengan standardisasi keamanan untuk infrastruktur digital yang krusial bagi bank digital. Hal ini antara lain standardisasi data sharing melalui penetapan Rencana Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.