Beberapa tahun terakhir, banyak bermunculan bank-bank digital. Permintaan yang tinggi akan layanan perbankan digital memicu tumbuhnya bisnis bank digital ini.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan bisnis bank digital di Indonesia punya potensi sangat besar. Ini dikarenakan masih ada segmen pasar luas yang belum terjangkau oleh bank konvensional. Digitalisasi dan inovasi layanan perbankan membuat bank digital lebih lincah dan bisa menjangkau segmen pasar yang belum tersentuh ini.
Hal itu mengemuka dalam webinar bertajuk ”Usulan Terkait Potensi Neobank di Indonesia” yang diselenggarakan Indonesia Fintech Society (IFSOC), Kamis (14/10/2021). Hadir sebagai pembicara Ketua IFSOC Mirza Adityaswara dan anggota Steering Committee IFSOC, Rudiantara. Turut hadir sebagai penanggap materi Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Hendri Saparini dan Wakil Ketua Umum I Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Karaniya Dharmasaputra.
Rudiantara mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir banyak bermunculan neobank. Fenomena ini makin pesat setahun terakhir. Secara sederhana, neobank berarti perbankan model baru, yakni layanan perbankan digital yang melayani nasabah tanpa kantor cabang.
Ia menjelaskan, fenomena maraknya neobank ini menunjukkan tingginya permintaan dari konsumen akan layanan perbankan yang cepat, mudah, dan tanpa mensyaratkan bertemu fisik. Hal ini pun direspons industri perbankan dengan bermunculannya neobank.
Fenomena maraknya neobank ini menunjukkan tingginya permintaan dari konsumen akan layanan perbankan yang cepat, mudah, dan tanpa mensyaratkan bertemu fisik.
”Supply baru dari neobank ini dipicu juga oleh bertumbuhnya demand baru. Apalagi pandemi mempercepat digitalisasi segala aspek kehidupan, termasuk layanan perbankan,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2014-2019 ini.
Mirza menjelaskan, bertumbuhnya neobank ini dikarenakan masih luasnya segmen pasar yang belum bisa tergarap perbankan konvensional. Segmen pasar yang belum bisa dijangkau ini merupakan kalangan underbank dan unbank.
Bertumbuhnya neobank ini dikarenakan masih luasnya segmen pasar yang belum bisa tergarap perbankan konvensional. Segmen pasar yang belum bisa dijangkau ini merupakan kalangan underbank dan unbank.
Kalangan underbank adalah nasabah yang memiliki rekening bank, tetapi tidak memaksimalkan layanan perbankan dan layanan jasa keuangan dari institusi keuangan lain. Mereka biasanya adalah anak muda yang baru memulai bekerja di tahun-tahun awal kariernya, biasanya tinggal di pinggiran kota besar, dan belum punya pemahaman mendalam soal bank dan layanan jasa keuangan.
Adapun kalangan unbank adalah calon nasabah yang belum memiliki rekening bank dikarenakan keterbatasan wawasan atau jangkauan bank. Biasanya mereka tidak memiliki pendidikan tinggi sehingga tidak memahami soal layanan perbankan. Di Indonesia, kondisi geografis dan bentang alam yang luas pun secara tidak langsung ikut menciptakan kalangan unbank.
Menurut Mirza, kehadiran neobank atau bank digital bisa menjangkau segmen-segmen pasar itu. ”Inovasi seperti membuka rekening tanpa hadir di kantor cabang hingga bisa memberikan kredit dalam jumlah lebih kecil dengan penilaian kredit yang lebih sederhana memampukan mereka menjangkau segmen ini,” ujar Mirza.
Hendri Saparini menambahkan, Indonesia punya keunggulan potensi pasar lebih besar dibandingkan dengan negara-negara lain. Meskipun infrastruktur teknologi Indonesia belum semaju negara tetangga, Indonesia punya pasar yang sangat besar yang bisa dijangkau oleh kehadiran neobank.
”Kondisi geografis Indonesia menciptakan segmen masyarakat yang belum bisa tersentuh layanan bank. Ini butuh bantuan teknologi untuk menjangkaunya,” ujar Hendri.
Perkembangan
Di Indonesia, neobank diyakini mulai hadir tahun 2016 dengan hadirnya aplikasi layanan perbankan digital Jenius dari BTPN. Pada saat itu juga, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan kerangka kerja teknologi finansial (tekfin) P2P lending. Meski bukan aturan spesifik soal neobank, aturan itu sedikit banyak beririsan dengan model bisnis neobank.
Sampai saat ini, neobank terus bertambah. Selain jumlahnya, nilai kapitalisasi pasarnya pun semakin membesar. Menurut data Yahoo Finance per 28 September, seperti dikutip IFSOC, bank digital dengan kapitalisasi pasar terbesar adalah Bank Jago dengan nilai Rp 209 triliun. Jumlah ini bahkan mengalahkan perbankan konvensional lainnya, seperti BNI yang sebesar Rp 94 triliun dan BTN yang sebesar Rp 14 triliun.
”Kapitalisasi pasar Bank Jago sangat besar karena berada dalam ekosistem digital dari salah satu pemilik sahamnya, yakni grup finansial GoTo. Ini membuat pertumbuhan mereka sangat cepat,” ujar Rudiantara.
Ia menjelaskan, bergabungnya bank digital di ekosistem digital membuat mereka bisa bekerja sama, memperluas jaringan dan layanan perbankan digitalnya kepada lebih banyak nasabah. Ke depan, ia menilai bank digital yang bisa berhasil adalah yang memiliki jaringan kuat dari ekosistem digitalnya.
Bergabungnya bank digital di ekosistem digital membuat mereka bisa bekerja sama, memperluas jaringan dan layanan perbankan digitalnya kepada lebih banyak nasabah.
Ia memprediksi layanan perbankan digital ke depan bukan hanya melulu soal keuangan. Namun, juga hal-hal yang lebih personal terkait nasabah.
”Ke depan, aplikasi bank digital ini bisa mencatat tren konsumsi saya, misalkan saya suka makan donat. Nanti akan muncul informasi bahwa nasabah tersebut sudah menghabiskan uang sekian yang membuat dia memperoleh kalori untuk tubuhnya sekian. Ke depan akan (ada) personalisasi seperti itu,” ujar Rudiantara.
Menurut Karaniya, makin pesatnya pertumbuhan industri tekfin ikut menciptakan permintaan baru akan kehadiran perbankan digital di Indonesia. ”Perbankan ini menjadi fondasi dari semua layanan jasa keuangan dan tekfin. Makin bertumbuh industri tekfin, akan diikuti juga pertumbuhan industri bank digital,” ujar Karaniya.