Insentif Pajak Penghasilan bagi UMKM yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan diharapkan bisa menjadi stimulus bagi pelaku usaha mikro kecil untuk bangkit dan tumbuh.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Insentif Pajak Penghasilan yang diberikan pemerintah untuk usaha mikro, kecil, dan menengah diharapkan bisa menjadi stimulus bagi pelaku usaha untuk berekspansi. Batasan omzet tidak kena pajak hingga Rp 500 juta per tahun dapat menjadi ruang bagi mereka untuk meningkatkan kapasitas usaha.
Dalam keterangan tertulis, Minggu (17/10/2021), Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menekankan bahwa kehadiran Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan menjadi salah satu wujud keberpihakan pemerintah dalam meningkatkan ketahanan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan memberikan wajib pajak orang pribadi UMKM insentif berupa batasan omzet tidak kena pajak hingga Rp 500 juta per tahun. Selama ini wajib pajak orang pribadi UMKM membayar Pajak Penghasilan (PPh) dengan tarif final 0,5 persen sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.
UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan memberikan wajib pajak orang pribadi UMKM insentif berupa batasan omzet tidak kena pajak hingga Rp 500 juta per tahun.
Febrio mencontohkan, pembebasan PPh untuk omzet Rp 500 juta membuat pengusaha dengan peredaran bruto senilai Rp 2,5 miliar setahun hanya membayar PPh atas peredaran bruto Rp 2 miliar. Sementara pengusaha dengan peredaran bruto kurang dari Rp 500 juta tidak perlu membayar PPh sama sekali.
”Selama ini tidak ada batasan tersebut, (bagi mereka) yang penghasilannya Rp 10 juta per tahun sampai Rp 100 juta per tahun tetap kena PPh final. Ketentuan saat ini diharapkan bisa membuat bisnis UMKM dapat lebih berkembang,” ujarnya.
Ketentuan mengenai batasan omzet atau peredaran bruto tidak kena PPh merupakan klausul baru yang dimasukkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Adapun klausul baru tersebut akan berlaku mulai tahun pajak 2022.
Pengembangan UMKM, lanjut Febrio, selalu menjadi pertimbangan pemerintah dalam merancang desain APBN setiap tahun. Pasalnya, UMKM merupakan bagian yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Sektor ini berkontribusi sekitar 60 persen terhadap produk domestik bruto dan 97 persen tenaga kerja.
Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti mengatakan, dengan adanya batasan omzet tidak kena pajak tersebut, sebagian penghasilan yang sebelumnya dipakai untuk membayar pajak kini dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas usaha.
”Ini diharapkan bisa memberikan stimulus bagi usaha kecil sehingga uang yang tadinya digunakan untuk membayar pajak sekarang bisa digunakan untuk membeli barang dan ekspansi penjualan,” katanya.
Mekanisme final
Selain mengatur batasan omzet tidak kena PPh, pemerintah berencana menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan mekanisme final kepada pelaku UMKM. Pasal 9A Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengatur pengusaha kena pajak dapat memungut dan menyetorkan PPN terutang atas penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak dengan besaran tertentu atau disebut PPN final.
Dari sisi administrasi, mekanisme ini dibuat agar pelaku UMKM selaku pengusaha kena pajak tidak perlu melakukan mekanisme Pajak Keluaran-Pajak Masukan, tetapi cukup menerapkan tarif final dalam pemungutan PPN.
Sementara pengusaha kecil dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar setahun dapat memilih untuk menjadi pengusaha kena pajak atau tidak. Besaran tarif yang diimplementasikan mulai 1 April 2022 tersebut akan dibanderol 1 persen, 2 persen, atau 3 persen dari peredaran usaha untuk jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu yang akan diatur lebih lanjut lewat peraturan menteri keuangan (PMK).
Febrio menegaskan, tarif tersebut lebih rendah daripada besaran tarif PPN secara umum sebesar 11 persen. ”Saat ini pemerintah tengah menyusun PMK terkait agar UMKM dapat melakukan pungutan dan penyetoran PPN yang lebih rendah dari tarif PPN secara normal,” ujar Febrio.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun menilai pengenaan PPN final terhadap UMKM bertolak belakang dengan semangat pemerintah dalam pembebasan PPh final terhadap UMKM dengan omzet kurang dari Rp 500 juta per tahun.
”Biarpun PPN bisa direstitusi, upaya tersebut tentu akan menambah pengeluaran. Untuk menyewa jasa konsultan pajak itu perlu ongkos. Padahal, kami pelaku UMKM sedang berupaya bangkit dari keterpurukan akibat pandemi,” ujarnya.