WTO: Perdagangan dan Distribusi Vaksin Alami Hambatan
Masih banyak negara yang belum menuntaskan vaksinasi dosis pertama dan kedua. Persetujuan dosis vaksin ”booster” yang berbeda-beda antarnegara dapat berkontribusi pada kekurangan pasokan vaksin global.
Oleh
hendriyo widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi Perdagangan Dunia menyebutkan, perdagangan dan distribusi vaksin Covid-19 mengalami sejumlah hambatan dan tantangan. Hambatan dan tantangan itu antara lain tingginya bea masuk, kebijakan setiap negara yang berbeda-beda terhadap vaksin booster, gangguan rantai pasok, dan terbatasnya sejumlah produk penunjang vaksin.
Hal itu mengemuka dalam dua laporan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang diliris pada 8 Oktober 2021. Kedua laporan itu bertajuk ”Indicative List of Trade-Related Bottlenecks and Trade-Facilitating Measures on Critical Products to Combat Covid-19” dan ”Covid-19 Vaccine Production and Tariffs on Vaccine Inputs”.
WTO menyebutkan, bea masuk impor vaksin dan produk-produk penting yang dibutuhkan untuk menangani Covid-19 relatif masih tinggi di sejumlah negera. Hal itu terutama bea masuk yang dikenakan atas barang impor bagi negara yang tidak memiliki perjanjian perdagangan khusus (most favourable nations/MFN).
Di antara 27 negara produsen vaksin dan produk-produk penting yang dibutuhkan untuk menangani Covid-19, sebanyak 15 negara memberlakukan tarif rata-rata MFN di bawah 5 persen, sedangkan 12 negara di atas 5 persen. India, Kazakhstan, Argentina, Kuba, dan Iran memiliki tarif rata-rata MFN tertinggi, yaitu 8,9 persen-11,9 persen.
Sementara sejumlah negara yang memiliki tarif rata-rata MFN rendah adalah Swiss (1,5 persen), Amerika Serikat (2 persen), dan Jepang (2,1 persen). Untuk Taiwan dan China, tarif rata-rata MFN-nya masing-masing 3,5 persen dan 4,5 persen.
Khusus bahan baku utama vaksin, tarif rata-rata MFN di 27 negara produsen vaksin sebesar 5,6 persen dan tarif MFN maksimumnya 291 persen. Hanya 17 negera produsen vaksin yang tarif rata-rata MFN-nya di bawah 5 persen. Selain bahan baku utama vaksin, produk lain yang tarifnya tinggi adalah konektor dan botol steril yang masing-masing 6 persen dan 5,9 persen.
”Tarif MFN yang tinggi dapat menjadi hambatan arus percepatan produksi vaksin. Hal itu juga akan memengaruhi harga vaksin. Oleh karena itu, kerja sama anggota di WTO dapat mendukung penghapusan atau pengurangan tarif tersebut untuk memenuhi kebutuhan vaksin global,” sebut laporan itu.
Masih banyak negara yang belum menuntaskan vaksinasi dosis pertama dan kedua. Persetujuan dosis vaksin booster yang berbeda-beda antarnegara dapat berkontribusi pada kekurangan pasokan vaksin global.
Laporan itu menyebutkan juga gangguan pengiriman vaksin lantaran masih terbatasnya jumlah penerbangan kargo terutama ke negara-negara yang melakukan pembatasan, serta kekurangan rantai dingin, vial, dan botol di banyak negara berpenghasilan rendah. WTO juga menyorot ketidakpastian dan risiko pendekatan yang berbeda terkait dengan vaksin booster atau tambahan di negara-negara yang sudah melakukan vaksin dosis pertama dan kedua.
Masih banyak negara yang belum menuntaskan vaksinasi dosis pertama dan kedua. Persetujuan dosis vaksin booster yang berbeda-beda, baik dosis penuh maupun setengah dosis, antarnegara dapat berkontribusi pada kekurangan pasokan vaksin global.
”Dunia, terutama negara-negara anggota WTO, harus menemukan solusi bersama atas ketidakadilan vaksin ini. Hal ini akan menjadi prioritas WTO,” kata Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala dalam siaran pers.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti, Senin (11/10/2021), mengatakan, WTO telah merekomendasikan untuk mengurangi dan menghapus hambatan-hambatan perdagangan itu. Salah satunya adalah dengan mempermudah akses fasilitasi perdagangan dan melonggarkan berbagai ketentuan ekspor dan impor atas vaksin dan produk-produk penting penopangnya.
Di samping itu, WTO juga memiliki agenda utama untuk membahas proposal pengabaian Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Waiver yang diusung India dan Afrika Selatan sejak tahun lalu. Peran Indonesia bersama negara lain pendukungnya adalah mendesak agar TRIPS Waiver disepakati sesegera mungkin, bahkan sebelum Konferensi ke-12 Tingkat Menteri WTO yang digelar pada 30 November-3 Desember 2021 di Geneva, Swiss.
”Kesepakatan ini penting untuk membuka dan memperlancar akses produk-produk kesehatan, termasuk suplai bahan-bahan yang diperlukan dalam produksi vaksin dan obat-obatan yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19,” ujarnya.
Indonesia juga perlu memastikan, menjadi hub produksi vaksin global tidak cukup hanya berhenti pada lisensi, tetapi juga akses terhadap bahan baku dan transfer teknologi, termasuk akses pada teknologi itu sendiri.
Menurut Rachmi, cakupan proposal TRIPS Waiver dibuat secara luas, tidak hanya terhadap vaksin, tetapi juga akses pengetahuan dan teknologi untuk bisa memproduksi dan memenuhi suplai bahan baku pembuatan vaksin. Bahan dan komponen itu mencakup bahan mentah, serta bahan aktif dan tidak aktif, dari zat obat yang digunakan dalam formulasi terapi atau vaksin dan reagen dalam kasus diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi atau menyaring suatu penyakit.
Indonesia juga perlu memastikan, menjadi hub produksi vaksin global tidak cukup hanya berhenti pada lisensi, tetapi juga akses terhadap bahan baku dan transfer teknologi, termasuk akses pada teknologi itu sendiri.
Rachmi juga menyatakan, dominasi teknologi dan pengetahuan di negara maju dan korporasi farmasi besar akan melahirkan kebijakan diskriminatif sesuai dengan kepentingan negara-negara tersebut. Salah satunya adalah kebijakan vaksin booster atau dosis ketiga.
”Di tengah masih banyaknya negara yang belum mendapatkan vaksin secara merata, kebijakan vaksin dosis ketiga untuk booster di sejumlah negara, termasuk Indonesia, merupakan bentuk ketidakadilan akses vaksin juga,” katanya.
Sebelumnya, Indonesia telah melonggarkan sejumlah kebijakan untuk mempercepat akses vaksin, obat-obatan, dan sarana pendukung penanganan Covid-19 lainnya, dua di antaranya adalah pelonggaran impor dan pembebasan bea masuk produk-produk tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, sejak awal tahun hingga 31 Agustus 2021, nilai insentif perpajakan yang sudah diberikan untuk kebutuhan tersebut Rp 4,92 triliun. Insentif perpajakan ini mencakup pembebasan bea masuk dan penghapusan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI).
”Nilai insentif untuk impor alat kesehatan sebesar Rp 1,37 triliun, sedangkan untuk impor vaksin Rp 3,55 triliun. Khusus impor vaksin, pembebasan perpajakan diberikan untuk mendatangkan 217 juta dosis vaksin,” ujarnya dalam diskusi virtual Forum Indonesia Bangkit yang digelar PT Bank CIMB Niaga pada 29 September 2021.