Ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku dari China terhitung tinggi. Krisis energi di China berpotensi mengganggu pasokan bahan baku bagi industri hilir, tetapi memberi peluang bagi industri hulu dan antara.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Krisis energi di China, India, dan Eropa diperkirakan berdampak terhadap industri dalam negeri. Krisis ini dikhawatirkan menghambat produksi akibat kelangkaan bahan baku impor, tetapi sekaligus membawa peluang untuk mengembangkan industri hulu dan antara lokal. Pelaku industri dari hulu ke hilir pun bersiap mengantisipasi dampak krisis tersebut.
Saat ini, China, India, dan Eropa tengah mengalami krisis energi akibat imbas kebijakan pengurangan penggunaan energi fosil. Di China, kondisi itu diperparah dengan embargo suplai impor batubara dari Australia. Pabrik-pabrik terpaksa mengurangi produksi, bahkan menutup operasionalnya lantaran terjadi pemadaman listrik bergilir.
Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie, Minggu (10/10/2021), menilai, kondisi itu akan memengaruhi industri manufaktur dalam negeri, khususnya yang selama ini masih bergantung pada pasokan bahan baku impor dari China dan India.
Di sektor alas kaki, untuk saat ini, industri masih bisa mengandalkan stok bahan baku dari awal tahun. Namun, pasokan itu diprediksi hanya bertahan sekitar tiga bulan. Terlebih di tengah permintaan sepatu yang sedang meningkat, khususnya dari pasar ekspor.
”Untuk order bahan baku berikutnya ini, kami belum mendapat kepastian apakah mereka (China) bisa delivery atau tidak? Kalaupun bisa delivery, kira-kira butuh berapa lama?” ujar Firman saat dihubungi.
Pasalnya, selain krisis energi yang menghambat operasional pabrik di China, ada pula krisis lain, yaitu kelangkaan kontainer dan kendala pengiriman barang yang juga meningkatkan biaya ongkos angkut (freight cost). Krisis itu telah mendisrupsi rantai pasok dunia sejak awal tahun.
Contoh bahan baku yang saat ini terhambat adalah eyelet atau mata ayam yang biasanya berfungsi untuk mengikat tali sepatu. ”Kalau kita tidak bisa mendapat satu bahan, sekecil apa pun, kita tidak bisa produksi. Pemasok terganggu, kita juga terganggu,” kata Firman.
Untuk saat ini, pelaku industri sulit mencari pemasok bahan baku baru karena itu akan memengaruhi modal dan kualitas produk. Ia juga menilai, industri lokal belum bisa memenuhi beberapa bahan baku yang selama ini diimpor.
Saat ditanya tentang rencana cadangan pelaku industri alas kaki, Firman mengatakan, pihaknya masih melihat perkembangan situasi. ”Kalau yang kami dengar, sekarang di sana mereka masih bisa (beroperasi) 50-50 (akibat pemadaman listrik). Jadi, kami masih berharap order kami bisa dikejar,” katanya.
Ketergantungan Indonesia pada impor non-migas dari China sangat tinggi. Badan Pusat Statistik mencatat, negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama periode Januari-Agustus 2021 adalah China dengan nilai 34,67 miliar dollar AS atau 32,25 persen dari total impor nonmigas. Adapun 73,69 persen dari total impor nonmigas itu adalah impor bahan baku dan penolong.
Peluang
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta memilih melihat krisis energi di China dan banyak negara saat ini sebagai peluang yang akan menguntungkan industri lokal di tingkat hulu dan antara (intermediate).
”Kita ini sebenarnya punya industri tekstil yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Namun, integrasi itu dari kemarin-kemarin banyak terpotong oleh (impor bahan baku) China yang memang murah banget. Itu yang membuat sektor hulu dan antara kita, seperti kain, sulit tumbuh,” kata Redma.
Oleh karena itu, menurut dia, krisis energi di China saat ini bisa mendorong tumbuhnya industri hulu dan antara dalam negeri. Terbatasnya pasokan bahan baku dan bahan penolong dari China dan India akan mendorong industri tekstil hilir untuk memakai bahan baku dari industri lokal.
”Sebelum krisis energi sekarang pun, bahan baku impor memang sudah tersendat karena ada kelangkaan kontainer dan tingginya biaya angkut. Artinya, mau tidak mau, itu akan memaksa industri kita untuk inward looking (melihat ke dalam),” kata Redma.
Saat ini permintaan bahan baku oleh industri hilir mulai meningkat sekitar 5 persen. Dalam waktu dua pekan ke depan, jika rantai pasok global masih terdisrupsi akibat berbagai krisis, Redma memprediksi permintaan itu bisa naik lagi hingga 15-20 persen. ”Demand mulai bagus,” katanya.
Ini juga menjadi kesempatan untuk memperkuat struktur industri dalam negeri dari hulu ke hilir. Ke depan, akan ada banyak perubahan dan disrupsi pada rantai pasok dunia yang dampaknya dapat diredam melalui kemandirian dan ketahanan industri dalam negeri.
Menurut Redma, akibat pandemi, industri hulu dan antara lokal saat ini mulai diperkuat. Di awal 2021, ketika impor bahan baku susah masuk karena kendala kontainer dan logistik, investasi di sektor antara bertambah, khususnya di industri pembuatan kain. ”Dalam kondisi krisis energi sekarang ini, pasti akan mendorong adanya investasi baru lagi di situ,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, di tengah ketidakpastian global itu, konsumsi domestik perlu dimaksimalkan. Upaya penanggulangan pandemi, peningkatan daya beli masyarakat, dan dukungan terhadap sektor usaha perlu diperkuat untuk menjaga ritme pemulihan. ”Jangan sampai kita mendapat tekanan dari dua sisi, baik global maupun domestik,” katanya.
Ini juga menjadi momentum penting untuk memperluas basis ekspor ke negara-negara nontradisional lainnya. Dengan demikian, ketergantungan ekonomi Indonesia dapat dibagi lebih merata dan tidak bergantung pada satu atau dua negara tertentu. ”Itu juga akan membuat kita lebih resiliens ketika krisis terjadi di negara-negara tradisional,” katanya.