Krisis di China dan Amerika Serikat dapat berdampak pada prospek pemulihan sektor manufaktur dalam negeri. Di tengah ketidakpastian global, konsumsi domestik perlu dimaksimalkan untuk menjaga ritme pertumbuhan ekonomi.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati kondisi industri manufaktur dalam negeri mulai membaik, krisis baru di tingkat global patut diwaspadai karena dapat memengaruhi stabilitas pertumbuhan industri. Konsumsi domestik perlu dimaksimalkan untuk menjaga ritme pemulihan ekonomi dan ekspansi manufaktur di tengah potensi dampak krisis rantai pasok global.
Beberapa krisis yang saat ini tengah membayangi perekonomian global adalah krisis energi di China dan beberapa negara lain, serta krisis utang Amerika Serikat yang berpotensi mendisrupsi rantai pasok dunia. Sebagai negara mitra dagang utama Indonesia, krisis yang dialami kedua negara itu diprediksi berdampak pada prospek pemulihan ekonomi dalam negeri.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Sabtu (9/10/2021), mengatakan, secara umum, pemulihan di sektor industri manufaktur dalam tiga bulan terakhir sebenarnya terhitung lebih cepat daripada yang diperkirakan. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada September 2021 menduduki posisi 52,2, naik dari posisi 43,7 pada Agustus 2021 dan 40,1 pada Juli 2021.
IHS Markit mencatat, kembalinya sektor manufaktur Indonesia ke zona ekspansi setelah dua bulan berturut-turut mengalami kontraksi itu lebih banyak didorong oleh permintaan domestik yang kembali meningkat. Hal ini bersamaan dengan penurunan kasus Covid-19 dan pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat.
Sebagai negara mitra dagang utama Indonesia, krisis yang dialami kedua negara itu diprediksi berdampak pada prospek pemulihan ekonomi dalam negeri.
Namun, menurut Faisal, kendati manufaktur mulai pulih, isu eksternal, seperti ketidakstabilan perekonomian global, perlu diwaspadai karena bisa menghambat laju pemulihan. Beberapa isu, seperti krisis utang di AS, dapat menekan belanja masyarakat di sana. Ketika konsumsi masyarakat AS melambat, ekspor dari Indonesia ke AS juga bisa terpengaruh.
Faktor lain yang perlu diantisipasi adalah melambatnya perekonomian China karena krisis energi/listrik yang memaksa pabrik-pabrik di sana mengurangi produksi. Krisis itu merupakan imbas dari kebijakan pemerintah setempat untuk mengurangi penggunaan energi fosil. Selain krisis energi, ada pula krisis utang raksasa properti Evergrande yang kini tengah membayangi sistem keuangan China.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor nonmigas Indonesia ke China pada Januari-Agustus 2021 mencapai 29,64 miliar dollar AS dengan kontribusi 22,1 persen terhadap total ekspor nonmigas. Sementara ekspor ke AS mencapai 15,8 miliar dollar AS dengan kontribusi 11,78 persen.
”Ini dua negara mitra dagang utama kita sehingga jika ekonomi mereka melambat, itu akan berdampak pada ekspor kita, yang selama ini mampu meredam penurunan ekonomi kita lebih lanjut,” kata Faisal.
Krisis energi yang terjadi di China perlu lebih diwaspadai karena krisis serupa mulai terjadi di beberapa negara lain yang merupakan mitra dagang Indonesia, seperti India dan negara-negara Eropa. Hal ini dikhawatirkan akan semakin menambah tekanan pada perekonomian dan kondisi manufaktur Indonesia.
Krisis energi yang terjadi di China perlu lebih diwaspadai karena krisis serupa mulai terjadi di beberapa negara lain yang merupakan mitra dagang Indonesia, seperti India dan negara-negara Eropa.
Di tengah ketidakpastian global itu, menurut Faisal, konsumsi domestik perlu dimaksimalkan. Upaya penanggulangan pandemi, peningkatan daya beli masyarakat, dan dukungan terhadap sektor usaha perlu diperkuat dan dipercepat untuk menjaga ritme pemulihan. ”Jangan sampai kita mendapat tekanan dari dua sisi, baik global maupun domestik,” katanya.
Ini juga menjadi momentum penting untuk memperluas basis ekspor ke negara-negara nontradisional lainnya. Dengan demikian, ketergantungan ekonomi Indonesia dapat dibagi lebih merata dan tidak bergantung pada satu atau dua negara tertentu. ”Itu juga akan membuat kita lebih resiliens ketika krisis terjadi di negara-negara tradisional,” katanya.
Sementara itu, pemerintah optimistis pertumbuhan industri akan tetap terjaga meski di tengah kondisi ekonomi global yang tak menentu. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita memperkirakan, pertumbuhan industri pada tahun 2022 bisa menyentuh angka 5-5,5 persen. Dengan catatan, tidak ada lagi gelombang kasus Covid-19 baru yang besar.
Adapun tahun ini, pemerintah memasang target pertumbuhan industri di kisaran 4,5-5 persen. Pada triwulan II-2021, sektor manufaktur berhasil mencatat pertumbuhan positif 6,91 persen meski di tengah tekanan pandemi.
Upaya penanggulangan pandemi, peningkatan daya beli masyarakat, dan dukungan terhadap sektor usaha perlu diperkuat dan dipercepat untuk menjaga ritme pemulihan.
”Kami harap laporan triwulan III tahun ini yang akan segera dirilis BPS akan menumbuhkan optimisme untuk membangun sektor manufaktur,” kata Agus.
Ia menegaskan, pemerintah tetap fokus menjalankan program dan kebijakan unggulan untuk menopang performa sektor industri. Misalnya, pelaksanaan program substitusi impor 35 persen pada 2022. Kebijakan itu akan didukung dengan optimalisasi program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN).
Menurut Agus, capaian program substitusi impor di sejumlah sektor prioritas masih berada pada jalur yang benar dan sesuai target. ”Upaya strategis ini bisa mengurangi ketergantungan terhadap produk impor, sekaligus mendorong penguatan struktur industri manufaktur kita,” ujarnya.