Nasib kaum kecil yang tergiur membeli rumah pada pengembang bermasalah ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Alih-alih mendapatkan rumah impian, uang tabungan justru ludes dan keutuhan rumah tangga terkoyak.
Oleh
TIM KOMPAS
·5 menit baca
Nasib kaum kecil yang tergiur membeli rumah pada pengembang bermasalah ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Alih-alih mendapatkan rumah impian, uang tabungan justru ludes dan keutuhan rumah tangga terkoyak.
Di sebuah kamar indekos berukuran 3 x 4 meter di kawasan Tambora, Jakarta Barat, Eem (43) menceritakan susahnya mencari hunian nyaman di Ibu Kota. Dalam dua tahun terakhir, dia bahkan mengaku sudah berpindah indekos di Tambora sebanyak tiga kali.
Dengan tarif sewa Rp 1 juta perbulan, Eem harus rela menempati indekos ala kadarnya. Indekos yang dia tempati saat ini misalnya, berada di tengah gang-gang sempit. Suasana kamar yang gerah memaksa Eem memasang pendingin ruangan dan kipas angin sekaligus di dinding kamar.
"Dukanya banyak. Indekos pertama saya itu panas, terus pakai airnya juga dibatasi. Habis itu saya pindah tapi dapat tetangga kamar yang berisik sampai-sampai enggak bisa tidur.," katanya, Minggu (19/9/2021).
Tahun 2018 lalu, Eem berniat meninggalkan Jakarta dengan membeli sebuah rumah di perumahan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Namun, hingga saat ini rumah tipe 36/60 itu tak kunjung terbangun.
Ketertarikan Eem untuk membeli rumah di Bogor bermula dari sebuah iklan di media sosial Instagram. Dia kepincut dengan skema pembayaran tanpa bank yang ditawarkan pengembang. Eem hanya mencicil langsung ke pengembang setiap bulan tanpa dikenakan bunga. Nominal cicilannya pun terhitung terjangkau bagi karyawati toko baju di Jakarta Barat ini.
Usai mengecek ke lokasi perumahan, Eem bergegas membayar uang pemesanan senilai Rp 2 juta kepada pengembang. Sepekan kemudian, dia membayar uang muka Rp 22,5 juta dan selanjutnya jasa notaris Rp 9,5 juta. Setelah itu, Eem mulai mencicil Rp 1,8 juta per bulan.
Namun, setahun berselang, rumah seharga Rp 250 juta tersebut belum juga dibangun. Bahkan, tanah di lokasi perumahan masih berupa ladang jagung.
Eem lantas menghentikan cicilan pada bulan ke-12 dan meminta pengembalian dana senilai Rp 54 juta. Namun hingga saat ini uang tersebut tak kunjung dia dapat.
Memicu perselisihan
Ketidakjelasan pembangunan memicu perselisihan antara Eem dan suami. Eem disalahkan karena terlalu gegabah dalam membeli rumah. Apalagi sejak awal sang suami menentang rencana tersebut. Perselisihan itu berujung pada perpisahan keduanya. "Pas saya mau ambil rumah di situ, dia enggak yakin. Sedangkan saya berpikir kalau enggak sekarang kapan lagi?" ungkap Eem.
Alih-alih menempati rumah pribadi bersama dengan keluarga kecilnya, Eem kini justru harus tinggal di sebuah kamar indekos seorang diri. Semenjak berpisah dengan suami, putra sulungnya tinggal bersama sang ayah. Sementara si bungsu dititipkan di rumah neneknya di Bogor.
"Biasanya pulang kerja disambut kenakalan anak-anak gitu. Sekarang enggak. Saya masuk kamar sendiri. Nangis saya.," kenang Eem dengan mata berkaca-kaca.
"Biasanya pulang kerja disambut kenakalan anak-anak gitu. Sekarang enggak. Saya masuk kamar sendiri. Nangis saya.,"
Pil pahit juga harus dirasakan Dewi, pedagang nasi di Rawamangun, Jakarta Timur. Sempat membayangkan memiliki rumah di sebuah perumahan di Sukawangi, Kabupaten Bekasi, dia dan suami justru harus merugi hingga Rp 76,2 juta.
Padahal uang itu adalah hasil tabungan mereka selama 18 tahun."Saya sehari menyisihkan minimal itu Rp 100.000. Itu kalau dapat. Kalau enggak dapat ya menyisihkan Rp 20.000 atau Rp 50.000," kata Dewi saat ditemui.
Usai melunasi uang muka dan biaya tambahan untuk rumah hook, Dewi dijanjikan akan menerima kunci rumah dalam jangka waktu satu tahun. Namun, hingga saat ini rumah itu tak terlihat bentuknya. Uang 76,2 juta yang sudah dibayar Dewi juga belum dikembalikan.
Kini Dewi beserta suami dan kedua anaknya terpaksa harus bersabar tinggal di kontrakan di daerah Cawang, Jakarta Timur. "Dua belas tahun (saya ngontrak). Ingin punya rumah. Setahun saya mengontrak Rp 15 juta," ujar Dewi.
Kasus wanprestasi perumahan juga memberi beban berlipat bagi orang-orang tak berpunya di masa pandemi Covid-19. Kondisi itu persis dialami Ali Usman (31). Ali yang menjadi konsumen perumahan di Kabupaten Bogor, masih menunggu kepastian pembangunan rumahnya sejak 2017 hingga kini. Pada 2018, puluhan konsumen perumahan itu mengeluh lantaran pembangunan tidak kunjung berjalan. Beragam upaya advokasi ditempuh meski tiada kejelasan.
Dana sekitar Rp 19 juta yang Ali setor untuk pembayaran awal rumah saat itu seakan lenyap tak bersisa. Padahal, dana itu disisihkan dari tabungan ibunya serta sebagian gajinya sebagai pegawai hotel.
Kondisi keuangan yang serba sulit kini membuat Ali menumpang tinggal di rumah kontrakan orang tuanya. Selama pandemi, gaji yang diterima Ali berkurang setengah dari situasi normal. Padahal, Ali harus menanggung hidup istri dan anaknya.
Tekanan akibat uang susah kembali dari pengembang proyek hunian yang mangkrak juga dialami Ariesta Sitepu (43). Ia memesan satu unit apartemen bertipe studio (18 meter persegi) di Cimanggis, Kota Depok, pada Juli 2017. Harga tunai kerasnya Rp 250 jutaan, tetapi karena ia mencicil langsung ke pengembang (tanpa bank) harganya menjadi Rp 302 juta.
Ia telah membayar uang muka Rp 55,4 juta dan angsuran per bulan sebesar Rp 4,3 juta per selama lima tahun. Apartemen dijanjikan rampung Juli 2020. Namun hingga kini, area proyek hanya berupa tanah kosong. Ariesta terus mendesak staf pengembang untuk mengembalikan total Rp 137-an juta yang sudah disetornya, tetapi kepastian tidak pernah diberi.
“Bukan cuma angka. Secara imaterialnya, itu stres, insomnia saya jadi kambuh,” ujar Ariesta. Sebelum berjumpa, ia pun hanya berhasil tidur dua jam di malam hari. Apalagi, pendapatannya dari bisnis kebugaran dan alat olahraga turun 80 persen selama pandemi. Beban mental bertambah karena keluarga juga meremehkannya akibat minim penghasilan.
Eem, Dewi, Ali, ataupun Ariesta telah melakukan segenap upaya untuk mengambil kembali hak mereka. Namun, upaya itu belum membuahkan hasil.