Sebelum pandemi, bank-bank kecil kesulitan menambah modal. Justru di saat pandemi yang mendatangkan krisis, bank-bank kecil mendapatkan kesempatan untuk terus bertumbuh.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
Dalam bahasa Mandarin, krisis disebut ’Weiji’. Kata ini terdiri atas dua kata, yakni ’Wei’ yang berarti bahaya dan ’Ji’ yang berarti peluang. Dari sini, bisa diambil pelajaran bahwa selalu ada peluang di setiap krisis. Semangat inilah yang agaknya menginspirasi bank-bank kecil untuk mencoba memanfaatkan peluang yang ada di tengah krisis akibat pandemi Covid-19 saat ini.
Selama pandemi, bank-bank kecil dengan modal di bawah Rp 2 triliun dihadapkan pada dua tantangan besar. Yang pertama bagaimana bisa bertahan di tengah penyaluran kredit yang sedang seret seiring terjadinya kontraksi ekonomi. Yang kedua bagaimana bisa memenuhi ketentuan modal minimum sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 tahun 2020 tentang Konsolidasi Bank Umum, yakni Rp 2 triliun paling lambat akhir 2021.
Di tengah kesulitan tersebut, terbitlah sejumlah peluang. Di tengah pandemi yang membatasi pertemuan fisik, industri digital tumbuh subur. Tak terkecuali industri perbankan, digitalisasi pun menjadi keharusan seiring tuntutan nasabah akan akses layanan yang mudah dan cepat. Sejumlah bank kecil pun menangkap peluang ini dengan bertransformasi menjadi bank digital agar tetap bisa tumbuh.
PT Bank Yudha Bakti Tbk yang kini berganti nama menjadi PT Bank Neo Commerce Tbk (berkode saham BBYB) contohnya. Setelah berganti nama pada September 2020, pada Maret 2021 mereka pun meluncurkan layanan aplikasi perbankan digital bernama Neobank. Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai dengan Juni 2021, modal inti mereka Rp 1,14 triliun.
Ada pula PT Bank Net Syariah Tbk yang juga berganti nama menjadi PT Bank Aladin Syariah Tbk (berkode saham BANK) pada Juni 2021. Bank Aladin akan fokus menjadi bank digital yang mengkhususkan diri pada perbankan syariah. Adapun modal inti mereka, seperti dikutip dari data OJK, sampai dengan Mei 2021 adalah sebesar Rp 1,14 triliun.
PT Bank Harda Internasional Tbk (kode saham BBHI) juga berganti nama menjadi PT Allo Bank Indonesia Tbk pada Juni 2021. Mereka pun mengatakan akan fokus menjadi bank digital. Mengutip laporan keuangannya, sampai dengan Juni 2021, modal inti perusahaan sebesar Rp 310,33 miliar.
Ketiga bank ini adalah contoh dari bank kecil konvensional yang bersalin rupa dengan mengganti nama untuk menjadi bank digital. Maraknya kemunculan bank digital tahun ini tak hanya dilakoni bank kecil.
Bank-bank menengah besar juga ramai-ramai bertransformasi menjadi bank digital. Model bank digital yang terbentuk bermacam-macam, ada yang merupakan anak usaha dari bank konvensional, ada bank digital yang berdiri sendiri, ada pula yang sekadar meluncurkan aplikasi layanan digital.
Blu atau Bank Digital BCA dari grup BCA dan Bank Raya dari grup BRI merupakan contoh yang mewakili anak usaha dari bank konvensional yang kemudian membentuk Kelompok Usaha Bank (KUB).
Bank digital yang tidak terafiliasi dengan bank lain diwakili oleh Bank Jago. Adapun bank konvensional yang mengeluarkan layanan perbankan digital antara lain Bank Mandiri dengan aplikasi Livin’ by Mandiri dan CIMB Niaga dengan Octomobile.
Maraknya kemunculan bank digital tahun ini tak hanya dilakoni bank kecil.
Pasar modal
Setelah bertransformasi menjadi bank digital, bank-bank bermodal mini pun menangkap peluang berikutnya, yakni memanfaatkan besarnya animo masyarakat berinvestasi di pasar modal saat ini, terutama untuk emiten-emiten berbau digital termasuk bank digital.
Dalam beberapa bulan terakhir, investor berbondong-bondong membeli saham emiten yang melabeli dirinya ”bank digital”. Harga-harga saham bank digital pun meroket.
Saham Allo Bank, misalnya, pada 9 Juli 2021 berada pada harga Rp 2.160 per saham, tetapi per 5 Oktober 2021, harganya melonjak 65,74 persen menjadi Rp 3.580 per saham. Pada periode yang sama, harga saham bank Neo Commerce naik lebih dari dua kali lipat dari Rp 585 menjadi Rp 1.385 per saham.
Sejumlah bank kecil pun memanfaatkan kondisi ini untuk mencari tambahan modal melalui penerbitan saham perdana (IPO) atau penerbitan umum terbatas (right issues). Ini mereka lakukan untuk menambah modal sehingga bisa melampaui syarat modal minimum sebesar Rp 2 triliun sebelum akhir 2021.
Bank Neo Commerce misalnya melakukan right issues pada 31 Mei lalu untuk mendapatkan emisi atau tambahan modal senilai Rp 249,82 miliar. Langkah serupa juga dilakukan Allo Bank kala masih bernama Bank Harda pada 30 Juni lalu untuk mendapatkan emisi atau tambahan modal senilai Rp 749,85 miliar.
Aksi korporasi juga dilakukan PT Bank IBK Indonesia Tbk yang merilis right issues pada 31 Mei 2021 untuk mendapatkan emisi senilai Rp 1,23 triliun.
Sebelum pandemi, bank-bank kecil kesulitan menambah modal. Justru di saat pandemi yang mendatangkan krisis, bank-bank kecil mendapatkan kesempatan untuk terus bertumbuh.