Warga Menaruh Harapan Sejahtera pada Bandara di Purbalingga
Beroperasinya bandar udara di Purbalingga tiga bulan lalu mendorong geliat ekonomi warga di sekitarnya. Harapan hidup lebih baik pun merekah dari hadirnya bandara ini.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Di tengah impitan pandemi Covid-19, warga Purbalingga di Jawa Tengah berharap pada kemajuan Bandara Jenderal Besar Soedirman. Resmi beroperasi untuk penerbangan komersial pada 3 Juni 2021, keberadaan bandara diharapkan mengungkit kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Hilir mudik kendaraan yang melintasi Jalan Raya Tidu, Purbalingga, kian semarak setahun terakhir. Selain menjadi jalur alternatif dari Purwokerto menuju Banjarnegara, jalan ini kian ramai seiring pengoperasian Bandara Jenderal Besar Soedirman.
Tempat usaha dan warung makan terus bermunculan di sepanjang jalan itu, salah satunya Kedai Dua Putri Mirah milik Tumirah (58), warga Desa Tidu, Kecamatan Bukateja, Purbalingga. Kedai itu berukuran 3 meter x 2 meter, terletak sekitar 1,3 kilometer dari bandara.
”Warung ini baru buka sebulan, modalnya hanya sekitar Rp 5 juta untuk atap dan juga modal jualan,” kata Tumirah, Kamis (30/9/2021).
Tumirah memiliki dua anak perempuan, masing-masing, duduk di bangku SD dan SMP. Bersama suaminya, Mistam (58), Tumirah memutuskan membuka kedai setelah dua tahun bekerja di salah satu rumah makan Padang.
”Ingin usaha sendiri meskipun kecil-kecilan daripada ikut orang terus,” ucapnya.
Selama bekerja di rumah makan Padang, Tumirah harus berangkat pukul 06.00 dan pulang pukul 18.00. Tenaganya pun habis sehingga tidak banyak waktu untuk bersua dengan kedua anaknya. Upahnya saat itu Rp 60.000 per hari.
Kini, dengan membuka kedai di depan rumah, ia bisa mencari nafkah sekaligus memiliki waktu lebih banyak untuk menemani anaknya. Penghasilannya juga meningkat, sekitar Rp 100.000 per hari.
”Harapannya, bisa ramai dan maju untuk biaya anak-anak dan keluarga. Apalagi, sebentar lagi anak saya yang besar mau masuk SMA,” kata Mistam.
Tidak jauh dari kedai Tumirah, sekitar 1 kilometer ke arah Purwokerto, berdiri pula Warung Mie Ayam Mbak Pur milik Saudatur (27). ”Warung ini baru buka lagi sekitar empat bulan. Dulu pernah buka, tapi anak saya masih bayi dan belum bisa ditinggal. Jadi, sempat tutup dua tahun,” katanya.
Saudatur bersama suaminya yang sehari-hari bekerja di bengkel memutuskan membuka warung mi ayam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ”Dulu saya pernah kerja di PT (perusahaan) rambut palsu hampir enam tahun. Kalau sama lembur, sebulan bisa (dapat upah) Rp 3 juta. Berangkat pagi pulang sore dan capek. Setelah menikah dan punya anak, lebih memilih usaha sendiri,” katanya.
Kini, dengan usaha berjualan mi ayam, Saudatur bisa mengumpulkan pemasukan Rp 100.000-Rp 200.000 sehari. Menunggu anak sambil menunggu warung menjadi pilihan Saudatur sembari berharap kawasan Jalan Raya Tidu itu makin ramai sehingga usahanya pun kian laris.
Inginnya bandara makin ramai, jalan dan pembeli juga makin ramai. (Saudatur)
Meski tidak secara langsung mendapatkan rezeki dari hadirnya bandara, baik Tumirah, Mistam, maupun Saudatur berharap perkembangan kawasan itu turut meningkatkan kesejahteraan mereka. ”Inginnya bandara makin ramai, jalan dan pembeli juga makin ramai,” ujar Saudatur.
Simpul ekonomi
Sebelumnya, Kepala Bidang UMKM Dinas Koperasi dan UMKM Purbalingga Adi Purwanto menyebutkan, setidaknya ada 17 rumah makan atau usaha kuliner yang tumbuh di sekitar bandara sepanjang 2021. Kehadiran usaha itu menjadi simpul penggerak ekonomi masyarakat di sana.
”Ke depan, kami akan melakukan pembinaan, misalnya terkait kebersihan makanan dan standardisasi harga,” kata Adi. Di Purbalingga ada 95.000 pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan sebanyak 19 persen di antaranya di bidang makanan atau kuliner.
Terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Purbalingga Rocky Junjungan mengatakan, kehadiran bandara memang akan membantu meningkatkan perjalanan bisnis para pembeli produk industri rambut serta bulu mata palsu. Namun, frekuensi penerbangan saat ini yang masih seminggu dua kali belum memadai untuk kebutuhan pebisnis.
Penerbangan komersial di bandara ini baru dilayani maskapai Citilink dengan jenis pesawat ATR-72. Dari Purbalingga, pesawat itu terbang menuju Halim Perdanakusuma, Jakarta. Kembali ke Purbalingga, pesawat terbang lagi ke Surabaya. Dalam seminggu, penerbangan dilakukan Kamis dan Sabtu. Selama pandemi, kuota penumpang pesawat hanya 60 kursi dari kapasitas 70 kursi (Kompas.id, 3/6/2021).
Rocky menilai, sejauh ini belum ada dampak signifikan dari kehadiran bandara komersial. Walakin, ia bersyukur karena adanya penerbangan komersial setidaknya bisa memangkas waktu tempuh perjalanan, khususnya bagi kalangan pebisnis. Di Purbalingga ada lebih dari 60 perusahaan yang menyerap sekitar 43.000 tenaga kerja.
Keberadaan bandara memang tidak serta-merta meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan daerah. Namun, setidaknya geliat ekonomi dan kemudahan bertransportasi via bandara ini juga dirasakan masyarakat sekitar Purbalingga, seperti Banyumas, Banjarnegara, Wonosobo, dan Cilacap.