Umbi Sente Berpotensi Besar Dikembangkan sebagai Komoditas Ekspor
Umbi sente atau talas Belitung sangat besar potensinya untuk dikembangkan. Selain memenuhi pasar dalam negeri, komunitas petani umbi sente di Pandeglang, Banten, mulai membidik pasar ekspor.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Umbi sente atau talas Belitung banyak dikembangkan komunitas petani di Pandeglang, Banten. Selain diolah menjadi keripik dan makanan ringan, umbi sente pun berpotensi untuk diekspor untuk mengisi pasar sereal ke Jepang.
Penggerak petani talas Belitung yang juga Ketua Koperasi Pamatang Kembang Mandiri (PKM) Hendra Pranova mengungkapkan, potensi umbi sente belum digarap optimal. Dengan diresmikan gerakan petani umbi sente menjadi berbadan hukum koperasi, tentu akan membuat semua petani menjadi lebih percaya diri.
Hendra mengatakan, setelah sekian lama menggeluti bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan domba di Pandeglang sejak 2009, sekitar satu setengah tahun lalu dirinya mulai menggarap komoditas talas atau umbi sente. Anggota kelompok tani yang merupakan cikal-bakal berdirinya koperasi ini mulai diarahkan menanam umbi sente, karena ada permintaan dari beberapa industri makanan.
Sedikitnya ada tiga industri besar yang mulai menyerap umbi sente hasil produksi 47 petani yang tergabung dalam koperasi ini. Ketiga industri itu adalah PT Maxindo (Bogor) yang menggunakan umbi sente untuk bahan pembuatan makanan ringan (snack), PT Endho Yushin (Bogor) untuk industri pembuatan keripik, dan CV Arista selaku perusahaan pemasok umbi sente untuk dipasarkan ke Jepang.
”Hasil produksi koperasi kami salah satunya dikirim untuk mengisi pasar sereal di Jepang,” ujar Hendra seusai menerima sertifikat badan hukum koperasi dari Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Arif Rahman Hakim di Kampung Cinyurup, Kabupaten Pandeglang, Banten, akhir pekan lalu.
Para petani mengaku beruntung. Sebab, selain ketiga industri besar itu berperan sebagai off taker, mereka juga mau berbagi ilmu dan pengetahuan cara menanam umbi sente. Memang, pada awal mengirim contoh hasil umbi sente, sempat mengalami penolakan beberapa kali.
Kemudian, pihak industri besar itu mau mengajarkan cara menanam umbi sente hingga menghasilkan kualitas produk yang masuk kualifikasi pabrikan.
Meski demikian, Hendra mengakui bahwa kapasitas produksi petani di Pandeglang ini belum mampu memenuhi kebutuhan pabrikan. Dari kebutuhan 10 ton per minggu, Koperasi PKM baru bisa memenuhi sebanyak 3 ton. Sebagai solusinya, pihaknya sudah mendapat lampu hijau dari Perhutani untuk menambah lahan 50 hektar.
”Produksi 3 ton per minggu itu dihasilkan dari lahan seluas 75 hektar. Perhutani sudah menyiapkan lahan khusus umbi sente seluas 117 hektar, tetapi kami mengambil 50 hektar terlebih dahulu untuk menggarapnya,” jelas Hendra.
Koperasi PKM sendiri memiliki total lahan seluas 75 hektar. Dari luas lahan itu, 25 hektar dimiliki oleh anggota koperasi, sedangkan 50 hektar milik Perhutani lewat program Perhutanan Sosial.
Kemenkop dan UKM meyakini, komunitas petani umbi sente ini bakal lebih besar lagi melalui lembaga koperasi, baik dari sisi kapasitas produksi maupun kualitas produknya. Peluang bisnis umbi sente masih sangat besar.
Arif mengatakan, model bisnis sesungguhnya sudah mulai berjalan dengan baik. Ada komunitas petani, koperasi, off taker hingga pihak-pihak pendukung lainnya, termasuk swasta. Koperasi PKM ini berpotensi besar akan semakin maju.
Kemenkop dan UKM berjanji memberi dukungan bagi perkuatan kelembagaan koperasi, termasuk pelatihan-pelatihan perkoperasian untuk pengurus dan anggota sehingga koperasi ini bisa lebih menyejahterakan petani sebagai anggotanya. Diharapkan, program Perhutanan Sosial di Kampung Cinyurup semakin berkembang dengan mendorong pertumbuhan wisata agro dan desa wisata.
”Ini semua menggambarkan bagusnya sinergi antara pemerintah pusat, daerah, Perhutani, dan stakeholders lainnya,” ujar Arif.
Industri olahan
Hendra, yang juga Dosen Statistik dan Ilmu Ekonomi di Universitas Mathlaul Anwar (Pandeglang), mengungkapkan impiannya untuk menyejahterakan petani umbi sente. Setelah sisi hulunya diperkuat, Koperasi PKM bakal masuk ke sisi hilir dengan membangun industri olahan umbi sente menjadi tepung, produk rebusan, hingga sereal. Umbi sente juga bisa diolah menjadi pengganti nasi bagi penderita diabetes.
Terkait harga umbi sente, Hendra menjelaskan, pabrik membeli dari koperasi seharga Rp 3.000 per kilogram. Hitungan koperasi berbagi keuntungan dengan petani disepakati seimbang 50:50. Meski demikian, keuntungan 50 persen yang diperoleh koperasi nantinya juga dikembalikan kepada petani sebagai anggota koperasi. Dengan berkoperasi, Hendra berjanji akan berlaku adil, karena usaha ini merupakan usaha bersama atau dari anggota untuk anggotanya kembali. ”Keuntungan harus bisa dinikmati bersama,” kata Hendra.
Hendra mengatakan, pengurus dan anggota Koperasi PKM tetap membutuhkan pelatihan perkoperasian dari Kemenkop dan UKM. Sebab, selama ini jalannya berkoperasi masih dilakukan secara otodidak. Butuh pelatihan manajemen mengelola koperasi yang lebih baik dan benar.
Hendra berharap, adanya pelatihan perkoperasian, sumber daya manusia di Koperasi PKM dapat lebih teredukasi. Selain itu, pihaknya juga mengharapkan adanya penambahan literasi, khususnya terkait pupuk organik dan nonorganik lewat berbagai pelatihan.
Di samping itu, dalam pemasaran umbi sente dan produk pertanian lainnya, Koperasi PKM sudah mulai menerapkan digitalisasi dengan membuat lapak penjualan di PlayStore dengan nama Gudang Tani. ”Tak lama lagi akan berjalan. Sekarang ini kami masih tahap trial and error,” ujar Hendra.
Selain mengembangkan produk umbi sente, Koperasi KMP berencana untuk masuk ke komoditas pertanian lain, seperti wortel, umbi beneng, alpukat, duren, dan petai. Untuk pengembangan tersebut, faktor permodalan memang perlu mendapatkan perkuatan agar bisa lebih berkembang lagi.