Pemerintah dinilai perlu memastikan investasi di sektor prioritas bisa menyerap tenaga kerja dari dalam negeri sehingga berdampak pada kualitas pertumbuhan ekonomi. Usaha mendongkrak kualitas angkatan kerja jadi urgen.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren penciptaan lapangan kerja melalui industri manufaktur terus turun. Pemerintah perlu memastikan investasi di sektor prioritas bisa menyerap tenaga kerja dari dalam negeri sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Seiring dengan hal itu, upaya transformasi di sektor manufaktur juga perlu dibarengi dengan pembangunan sumber daya manusia secara menyeluruh serta penciptaan lapangan kerja yang layak dan berkualitas.
Data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, capaian realisasi investasi di sektor jasa (tersier) masih mendominasi sepanjang semester I-2021 dengan nilai Rp 218,8 triliun atau setara 49,4 persen dari total investasi senilai Rp 442,8 triliun. Sementara itu, investasi di sektor manufaktur tercatat Rp 167,1 triliun atau setara 37,8 persen dari total nilai investasi.
Investasi di sektor industri pengolahan itu terus menurun sejak tahun 2017 dan lebih banyak berasal dari investor asing ketimbang investor dalam negeri.
Dampak penciptaan lapangan kerja dari investasi yang masuk pun tidak terlalu signifikan. Pada semester I-2021, Rp 442,8 triliun investasi yang masuk menyerap 623.715 pekerja. Meski meningkat dibandingkan dengan tahun lalu, tren tingkat serapan tenaga kerja dari investasi terus menurun dibandingkan dengan periode 2014-2016.
Untuk mendongkrak investasi, pemerintah telah menetapkan empat sektor sebagai prioritas. Pertama, industri padat karya berorientasi ekspor, yaitu sektor farmasi dan alat kesehatan, sektor otomotif, dan elektronik. Kedua, industri energi baru dan terbarukan. Ketiga, infrastruktur. Keempat, pertambangan yang menciptakan nilai tambah (hilirisasi).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal, Senin (4/10/2021), mengatakan, investasi di sektor-sektor prioritas itu harus dipastikan menciptakan lapangan kerja berkualitas dan menyerap tenaga kerja lokal agar investasi dan industrialisasi yang dipacu ikut berdampak pada kesejahteraan masyarakat setempat.
Untuk itu, sumber daya manusia (SDM) setempat juga perlu disiapkan agar bisa mengisi lapangan kerja yang nanti tercipta. ”Perlu ada keterkaitan antara investasi yang masuk dan peningkatan kapasitas SDM setempat. Selama ini, kebijakan investasi tidak terintegrasi dengan pengembangan SDM di daerah terkait,” katanya.
Ia mencontohkan, jika daerah Batang, Jawa Tengah, mau dijadikan pusat untuk industri baterai, SDM setempat sudah harus disiapkan sejak jauh-jauh hari. Penyiapan itu mulai dari pendidikan kejuruan/vokasi di sana hingga fasilitas balai latihan tenaga kerja (BLK) yang selaras.
”Kalau tidak ada linkage antara investasi dan SDM, yang terjadi seperti sekarang ini. Investor masuk, tetapi yang dipekerjakan adalah tenaga kerja dari negara asal si investor,” kata Faisal.
Selain dari aspek suplai di pasar kerja (pengembangan kualitas SDM), pemerintah juga perlu tegas terhadap sisi demand (investor). Perlu ada insentif dan disinsentif bagi pelaku industri yang tidak mempekerjakan tenaga kerja dalam negeri.
”Kalau masih ada sedikit perbedaan dari segi skill, di situ dijembatani dan dilatih lewat transfer teknologi. Investor jangan dibiarkan mengambil jalan pintas untuk terus-menerus mempekerjakan tenaga kerja dari negara asal,” ujarnya.
Senada dengan Faisal, Kepala Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, transformasi di sektor industri melalui hilirisasi dan pengembangan industri bernilai tambah perlu dibarengi dengan transformasi angkatan kerja dalam negeri.
Agar memberikan dampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi, investasi di sektor prioritas pertama-tama harus menjawab pertanyaan utama, yakni lapangan kerja seperti apa yang akan diciptakan. ”Karena bisa jadi yang bisa bekerja di industri itu hanya pekerja dengan kompetensi atau keterampilan tinggi dan itu yang harus disiapkan,” kata Andry.
Menurut dia, pembangunan kualitas SDM harus menyeluruh dari hulu sampai hilir. Mulai dari membenahi akses pendidikan serta akses teknologi digital agar lebih merata sampai skema-skema pelatihan kapasitas pekerja di sektor industri.
Pengembangan SDM jangan hanya berakhir menjadi semboyan atau target-target di atas kertas, tetapi perlu dijadikan sistem dan peta jalan nasional. ”Dengan arah investasi dan industrialisasi yang seperti itu, serta perkembangan industri yang semakin mengarah ke otomasi, mau diarahkan ke mana SDM kita?” kata Andry.
Sebelumnya, Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi Imam Soejoedi mengatakan, investasi manufaktur yang bersifat padat karya memang semakin menyusut. Semakin banyak pelaku usaha lebih memilih berinvestasi di sektor-sektor jasa yang bersifat padat modal.
Meski investasi di sektor manufaktur bertumbuh, para investor lebih memilih investasi yang padat teknologi. Penggunaan teknologi di industri itu mengurangi jumlah tenaga kerja. ”Perlu kita akui ada pengurangan serapan tenaga kerja, meskipun secara value, nilai investasi di manufaktur masih tinggi,” ujar Imam.
Solusi yang ditawarkan pemerintah adalah mendorong investor besar yang masuk untuk berkolaborasi dengan industri kecil menengah (IKM) dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) setempat yang menyerap banyak tenaga kerja. IKM dan UMKM itu harus diikutsertakan dalam rantai pasok industri besar.