Persoalan ketidakmampuan daya beli/sewa pekerja generasi milenial dan sesudahnya terhadap hunian tempat tinggal di Jakarta perlu dilihat secara holistik. Pemerintah bisa ambil bagian dengan memberikan insentif.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahalnya harga hunian di kawasan berorientasi transit (TOD) membuat pekerja generasi milenial yang berasal dari kelas menengah ke bawah sulit mengaksesnya. Apabila pemerintah ingin serius menyediakan hunian yang terjangkau melalui TOD bagi mereka, harus ada campur tangan, salah satunya berupa pemberian insentif.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eisha Maghfiruha, saat dihubungi pada Jumat (1/10/2021), di Jakarta, mengatakan, hunian di TOD berdampak positif terhadap pekerja yang memiliki mobilitas tinggi. Mereka bisa mengurangi ongkos transportasi umum ataupun ketergantungan terhadap kendaraan pribadi.
Menurut Eisha, sejauh ini belum ada insentif dalam bentuk subsidi buat hunian tempat tinggal di TOD. Subsidi yang biasanya diberikan pemerintah hanya untuk rumah susun. Insentif untuk hunian di TOD bisa berupa insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau subsidi bunga kredit. ”Intinya, segala jenis insentif bisa diaplikasikan pemerintah agar hunian tempat tinggal TOD terjangkau bagi kelas menengah ke bawah,” ujarnya.
Berdasarkan studi Asian Development Bank tahun 2019, seperti dikutip dari laporan Hunian Berbasis Transit (TOD): Tantangan & Potensinya (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2020), harga properti untuk hunian di area sekitar TOD sudah naik 30 persen. Kelompok masyarakat kelas menengah bawah tak mendapat subsidi harga untuk membeli hunian di area sekitar TOD ini.
Subsidi yang biasanya diberikan pemerintah hanya untuk rumah susun. Insentif untuk hunian di TOD bisa berupa insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau subsidi bunga kredit.
”Jika harga terus dilepas ke pasar, hunian tempat tinggal TOD dengan kelebihannya lokasi strategis akan selalu naik harganya. Akibatnya, kelas menengah ke bawah tetap susah mengakses,” kata Eisha.
Akses transportasi
Menurut Ferry Salanto, Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia, sebuah lembaga konsultan di bidang properti, pekerja kelompok generasi milenial dari kelas menengah ke atas tidak memiliki persoalan dalam hal daya beli hunian di pusat kota (urban) Jakarta. Latar belakang orangtua mereka yang umumnya sudah mapan mendukung secara finansial untuk membeli tempat hunian dengan beragam pilihan.
”Namun, situasi menjadi berbeda dengan yang dialami pekerja generasi milenial dari kelas menengah ke bawah. Oleh karena sulit menjangkau hunian di pusat kota atau dekat tempat mereka bekerja, pilihannya adalah hunian yang berlokasi di pinggiran (jauh dari pusat kota) karena harganya relatif terjangkau,” ucap Ferry.
Isu kemudahan akses transportasi sebagai hal yang penting bagi mereka yang memilih lokasi hunian di pinggiran. Akses ini menyangkut integrasi berbagai moda transportasi, termasuk kepastian waktu tempuh.
Kondisi tersebut, lanjut Ferry, menjadikan isu kemudahan akses transportasi sebagai hal yang penting bagi mereka yang memilih lokasi hunian di pinggiran. Akses ini menyangkut integrasi berbagai moda transportasi, termasuk kepastian waktu tempuh.
Menjawab persoalan akses transportasi, Direktur Pengembangan Bisnis PT MRT Jakarta Farchad H Mahfud mengatakan, isu hunian yang mahal bisa diatasi dengan cara perluasan akses transportasi yang terintegrasi hingga ke daerah pinggiran. Jaringan transportasi, seperti KRL, MRT, dan LRT, harus diperkuat. Pada saat bersamaan, jaringan akses seperti bus pengumpan yang sampai ke kompleks hunian pinggiran juga harus dibangun.